Baru-baru ini, gw punya hobi baru. Apa itu? Bikin Fanfiction! Yup, semenjak kembali main game Ace Attorney, gw jadi ketagihan bikin Fanfic dari game ini, yang biasanya gw publish di situs Fanfiction.net atau Archive of Our Own. Bener deh, dua situs ini bikin nagih banget, soalnya member lain bisa ngasih review/masukan atas cerita yang kita buat, atau sekedar ngasih "kudos."
Buat kalian yang suka nulis, gw rekomendasiin banget kalian upload karya kalian ke dua situs ini!
Ini beberapa fanfic yang udah gw tulis dan selesai:
A Father's Love https://www.fanfiction.net/s/11874933/1/A-Father-s-Love
An Expensive Lesson https://www.fanfiction.net/s/11916121/1/An-Expensive-Lesson
Chaos in the House https://www.fanfiction.net/s/12046387/1/Chaos-in-the-House
I'm going to be strong https://www.fanfiction.net/s/11867821/1/I-m-going-to-be-strong-Revised-Story-from-titled-Wright-Sacrifice
If Tomorrow Never Comes https://www.fanfiction.net/s/12028861/1/If-Tomorrow-Never-Comes
Injured in Office https://www.fanfiction.net/s/11942397/1/Injured-In-Office
Papa's Promise https://www.fanfiction.net/s/11917256/1/Papa-s-Promise
Shattered Heart https://www.fanfiction.net/s/12081964/1/Shattered-Heart
Sleep Well, My Friend https://www.fanfiction.net/s/12067966/1/Sleep-Well-My-Friend
The Christmas Shirt https://www.fanfiction.net/s/11907698/1/The-Christmas-Shirt
The Sleeping Prince https://www.fanfiction.net/s/11905779/1/The-Sleeping-Prince
Turnabout Gunshot https://www.fanfiction.net/s/12066326/1/Turnabout-Gunshot
Ya kali-kali aja kalau teman sekalian lagi bosen dan ga ada kerjaan, mungkin dengan baca cerita-cerita gw bisa ngebunuh kebosanan kalian XD
Selamat datang di blog gw yang aneh ini, yah hanya media untuk membunuh kebosanan :D
Rabu, 03 Agustus 2016
Rabu, 29 Juni 2016
I'm going to be strong, cerita pendek berbahasa Inggris pertama gw
Gambar ini digambar oleh gw sendiri sebagai bentuk representasi dari fanfiction Phoenix Wright yang gw tulis
Oke, bagi yang belum pernah denger apa itu Phoenix Wright, game ini adalah game visual novel untuk Nintendo DS/3ds. Di dalam game ini, kita berperan sebagai seorang pengacara yang membela klien kita (atau biasa disebut jaksa pembela) dan di pengadilan, kita harus membuktikan kalau klien kita gak bersalah atas tuduhan yang ditujukan kepadanya. Di ruang sidang, kita harus menemukan kebohongan dari saksi disertai barang bukti. Game ini pertama kali diciptakan oleh Shu Takumi tahun 2001, dan menjadi salah satu game visual novel paling populer. Sejauh ini, game ini sudah punya 6 seri, dimana seri terbaru (Spirit of Justice) akan dirilis September 2016 mendatang. Saking populernya, game ini juga dibikin versi animenya yang tayang pertama kali tanggal 2 April 2016, juga film live action dengan judul Gyakuten Saiban yang rilis tahun 2012.
Nah, saking kecanduan dan saking sukanya sama karakter-karakter di game ini, gw akhirnya nulis Fanfiction game ini. Biasanya gw kalo nulis cerita, selalu dalam bahasa Indonesia, tapi karena orang Indonesia masih kurang familiar dengan game ini, maka gw bikin fanfictionnya dalam bahasa Inggris. Ini pertama kali gw nulis cerita dalam bahasa Inggris, dan tanpa ba-bi-bu lagi, inilah cerita yang gw tulis, judulnya "I'm going to be strong":
https://www.fanfiction.net/s/11867821/1/I-m-going-to-be-strong-Revised-Story-from-titled-Wright-Sacrifice
Ya kalo kawan-kawan sekalian mau dan tidak keberatan, tolong kritik dan sarannya, karena gw butuh banget itu.
Cheers!
Senin, 11 Januari 2016
LINE, Aplikasi yang mengajarkan memaafkan
Cerita ini adalah cerita yang saya tulis untuk mengikuti lomba LINE Story bulan Ramadhan 2015 lalu...silahkan membaca! :)
Rasyad dan Raffa adalah seorang kakak-adik yang tinggal di Bandung. Keduanya begitu akrab dan saling menyayangi. Rasyad, sang kakak, yang berusia 20 tahun, sangat lihai bermain gitar. Sang adik, Raffa , yang berusia 13 tahun memiliki bakat yang begitu luar biasa dalam bermain sepakbola. Mereka berdua begitu dekat, sangat jarang sekali bertengkar hingga membuat banyak orang iri.
Suatu hari, di hari pertama bulan Ramadhan, yang bertepatan juga dengan ulang tahun Raffa yang ke 14, Rasyad bermaksud untuk mengajak sang adik ke Dunia Fantasi, sambil menunggu waktu berbuka puasa. Kebetulan, ia mendapat dua voucher gratis masuk ke Dufan dari teman sekantornya. Tentu saja Raffa senang sekali, karena sudah lama ia memang ingin pergi ke dunia fantasi. Dengan antusias, Raffa sudah bersiap-siap dari siang hari. Ia memakai pakaian terbaiknya dan menunggu sang kakak pulang di ruang tamu.
Pukul 4 sore, Rasyad pulang dari kantor. Setengah geli ia melihat Raffa yang sudah sangat siap menunggunya di ruang tamu. “Sudah tidak sabar rupanya? Rapi sekali kau,” ujar Rasyad setengah menahan tawa. “Ya kan biar nanti tidak buru-buru. Ayo kak cepat ganti bajunya, nanti jalanan macet,” jawab Raffa polos sambil setengah meloncat. Masih dengan menahan tawa, Rasyad melangkah ke kamarnya dan bersiap-siap.
Setelah Rasyad bersiap-siap selama kurang lebih 10 menit, berangkatlah mereka. Rasyad menyetir mobilnya dengan sangat hati-hati. Benar dugaan Raffa, jalanan sudah lumayan macet dimana-mana. Dengan gelisah Rasyad berkali-kali melihat arlojinya. Kalau begini terus, bisa-bisa sampai ke Dufan sudah tutup, keluh Rasyad dalam hati.
“Raffa, kamu tidak keberatan kan kalau kita ambil jalur lain? Macet dimana-mana. Bisa-bisa nanti ketika kita sampai Dufan sudah tutup,” kata Rasyad lembut. Raffa menoleh. “Terserah kakak saja, yang penting kita ke Dufan,” jawabnya sambil tersenyum. Rasyad kemudian memutar setirnya dan mencari jalan alternatif lain. Cukup lama mereka berputar-putar mencari jalan lain. Berkali-kali Rasyad melirik adiknya yang tampak gelisah. Rasyad bertekad tidak akan mengecewakan sang adik di hari ulang tahunnya ini. Ia pun menambah kecepatan mobilnya.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Dari arah berlawanan melaju sebuah mobil sedan dengan kecepatan tinggi. Rasyad, yang sudah terlanjur mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tidak dapat menghentikannya. Dan... BRAK!!! Tabrakan pun tak dapat dielakkan lagi. Rasyad hanya mendengar jeritan sang adik setelah itu ia tak sadarkan diri dan tak ingat apa-apa lagi.
Perlahan-lahan Rasyad membuka matanya. Segalanya tampak putih. Apakah aku sudah mati? Apakah ini di surga? pikir Rasyad. Rasyad mengerjap beberapa kali, sampai akhirnya ia sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. Seorang perawat bertubuh mungil kemudian masuk. “Eh Nak Rasyad, sudah sadar, syukurlah..” ucap si perawat. Rasyad tidak dapat berpikir jernih. Tiba-tiba ia teringat dengan adiknya.
“Raffa! Raffa dimana, sus? Bagaimana keadaan adik saya?” tanyanya histeris. “Tenang Nak, kami rasa dia akan baik-baik saja. Memang dia belum sadar,” jawab sang suster lembut. “Saya mau melihatnya sus, dimana dia?” seru Rasyad. “Baiklah kalau begitu, akan kuantar kau kesana,” jawab sang suster dengan keibuan. Dengan dipapah sang suster, Rasyad berjalan terpincang-pincang ke kamar adiknya dirawat.
Alangkah terkejutnya Rasyad melihat sang adik yang terbaring lemah, penuh dengan luka dan lebam disana-sini. Rasyad meringis melihat berbagai macam selang dan infus dipasang di sekujur tubuh Raffa yang mungil. Perlahan-lahan, air mata Rasyad menetes. Ia membelai rambut adiknya dan berbisik, “Maafkan kakak ya de...” ucapnya lirih.
3 hari berlalu, Rasyad pun dinyatakan sehat dan boleh pulang ke rumah. Tapi Rasyad menolak karena ingin menjaga Raffa yang masih belum sadarkan diri. Dalam hatinya Rasyad tak henti-hentinya berdoa agar Allah tidak mengambil adik yang sangat ia sayangi.
Hari keempat di rumah sakit, Raffa akhirnya sadar, membuka matanya perlahan-lahan saat Rasyad sedang membacakan ayat-ayat Al-Quran di sampingnya. Hati Rasyad melonjak gembira saat melihat mata adiknya terbuka. “Alhamdulillah ya Allah Kau mengabulkan doaku,” ucap Rasyad lirih. Rasyad langsung mencium rambut adik kesayangannya itu. “Bagaimana perasaan kamu, de? Maafkan kakak ya...” bisik Rasyad. “Haus,” ucap Raffa pelan.
“Sebentar kakak ambilkan minum,” ujar Rasyad. Ia kemudian mengambilkan minum dan membantu Raffa menghabiskan minumannya. Tiba-tiba saja Raffa mengernyit.
“Ada apa, dik? Minumannya tidak enak?” tanya Rasyad cemas. Raffa menggeleng lemah. “Bukan, kak. Kakiku kok tidak bisa digerakkan sama sekali ya?” tanya Raffa polos. Bagai disambar petir Rasyad mendengar jawaban Raffa. “Apa?” pekiknya. “Coba gerakkan yang kiri, kemudian yang kanan,” kata Rasyad sambil memencet-mencet kaki sang adik. “Tidak bisa, kakak, kakiku seperti diikat di tempat tidur,” ucapnya. Masih terkejut, Rasyad memanggil dokter. Selama 20 menit Rasyad menunggu Raffa diperiksa oleh dokter. Rasyad berdoa dalam hati tidak akan terjadi apa-apa terhadap Raffa. Firasatnya tidak enak saat dokter keluar, karena wajah sang dokter tampak kusut.
“Apa yang terjadi pada adik saya, dok?” tanya Rasyad, takut mendengar jawaban sang dokter. “Tulang punggung adik kamu patah, Rasyad,” jawab sang dokter pelan. Rasyad menelan ludah. “Dan?” tanyanya takut. “Adikmu tidak akan bisa berjalan lagi. Ia lumpuh,” jawab dokter sambil menghela nafas.
Perlahan-lahan Rasyad merosot ke dinding. Ia tidak percaya apa yang didengarnya. Mengapa jadi seperti ini, ya Allah? Mengapa niat aku untuk menyenangkan adikku malah menjadi malapetaka seperti ini? batin Rasyad pedih.
BRAK! Tiba-tiba terdengar suara orang terjatuh. Dengan panik Rasyad berlari ke dalam kamar rawat Raffa. Didapatinya Raffa sudah tergeletak di lantai. Dengan sigap Rasyad menggendong Raffa. “Apa yang terjadi, Kak? Kenapa aku tidak bisa berdiri, malah terjatuh?” tanya Raffa polos saat sudah kembali berbaring di tempat tidur. Rasyad tidak tega untuk menjawab pertanyaan sang adik.
“Apa aku lumpuh, kak? Aku akan ditaruh di kursi roda?” desak Raffa lagi. Rasyad berpikir tidak ada gunanya menyembunyikan semuanya dari Raffa. Dengan pedih ia mengangguk pelan. Tak disangka-sangka, Raffa kemudian menarik tangannya dari tangan Rasyad. Rasyad tertegun.
“Ada apa, Raffa?” tanya Rasyad heran. “Jangan sentuh aku lagi, Kak! Aku tidak mau ketemu kakak lagi! Semua ini gara-gara kakak! Gara-gara kakak!! Keluar ! Keluar kak! Aku tidak mau melihat wajah kakak lagi!” jerit Raffa. Tercengang, Rasyad tetap terpaku pada tempatnya. Tidak lama kemudian, dokter yang mendengar jeritan Raffa tergopoh-gopoh masuk.
“Ada apa ini? Kenapa kau berteriak-teriak, Raffa?” tanya Pak Dokter dengan lembut. “Dia, dok! Aku tidak mau ketemu dia! Dia yang sudah membuat aku cacat seperti ini! Aku ingin dia keluar!” teriak Raffa sejadi-jadinya. Perlahan Pak Dokter menghampiri Rasyad dan meletakkan tangannya di atas bahu Rasyad.
“Nak, lebih baik kau keluar dulu, tunggu sampai adikmu tenang. Paling besok juga dia sudah tenang,” ucap Pak Dokter. “Tapi, Dok...” kata Rasyad pelan. Pak Dokter menggelengkan kepalanya. Akhirnya Rasyad mengalah dan melangkah ke luar.
Hari-hari berikutnya, Raffa ternyata masih belum bisa menerima Rasyad kembali. Ini membuat hati Rasyad merasa sangat terluka. Adiknya yang begitu akrab, tidak bisa dipisahkan, sekarang rasanya jauh sekali. Rasyad juga merasa sangat bersalah karena telah membuat adiknya lumpuh. Berbagai cara dilakukan Rasyad untuk meluluhkan kembali hati sang adik, dimulai dari memberikan bunga, coklat, dan mainan, tapi itu semua tidak berhasil. Raffa tetap tidak mau berbicara dengan Rasyad. Sungguh merana Rasyad dibuatnya. Ia ingin sekali bisa kembali berbicara dengan Raffa.
Suatu hari, Rasyad sedang mengutak-ngatik smartphonenya. Ketika sedang mengakses internet, ia membaca review tentang sebuah aplikasi Instant Messaging bernama “LINE.” Dalam review tersebut, aplikasi instant messaging ini sedang hits, memiliki banyak fitur, dan membantu orang-orang dalam berkomunikasi. Tertarik, Rasyad pun mendownload aplikasi LINE tersebut. Ia berharap dapat kembali berkomunikasi dengan sang adik melalui aplikasi ini.
Setelah menunggu beberapa menit, Rasyad selesai menginstall aplikasi LINE dalam smartphonenya. Dengan iseng, ia pergi ke tombol “Add Friends” kemudian ia mencari nama adiknya, siapa tahu adiknya memakai aplikasi LINE juga. Dan... tara! Ternyata ID adiknya ditemukan. Rasyad kemudian meng-add-as friend Raffa.
Dengan jempol gemetar, Rasyad menulis pesan yang berbunyi, “Adikku yang tersayang, Please Forgive Me. I don’t know what I do. Please forgive me, I can’t stop loving you.” Rasyad kemudian mengirimkan pesan itu kepada id LINE Raffa.
Tring! Hp Raffa berbunyi. Raffa yang tidak pernah lepas dari handphone nya, langsung mengecek. Cukup terkejut ia melihat pesan LINE dari kakaknya. Raffa membacanya, tapi ia masih sangat marah. Ia langsung menghapus pesan itu.
Sementara itu, Rasyad yang gelisah menunggu balasan dari Raffa, tidak henti-hentinya mengecek handphone nya. Alangkah sedihnya ia saat melihat pesan yang ia kirim sudah berstatus “Read”. Rasyad tidak menyerah. Ia tetap berusaha minta maaf kepada Raffa. Ia kembali mengetikkan pesan untuk Raffa.
“Dear Raffa my lovely brother... kakak tahu kakak bersalah, sangat bersalah karena telah membuat kamu tidak bisa berjalan lagi.. tapi kakak mohon, maafkan kakak, kakak ingin kita seperti dulu lagi, bermain bersama, jalan-jalan bersama, kakak ingin melihat kehangatan mata kamu lagi, dik. Kakak mohon bukakan pintu maafmu untuk kakak, karena kakak sendiri tidak ingin kejadian seperti ini terjadi...” Sambil mengelap ingusnya, Rasyad kembali mengirimkan pesan LINE kepada Raffa.
Tring! Handphone Raffa kembali berbunyi. Raffa tetap tidak menghiraukan pesan LINE Rasyad. Ia hanya membacanya namun tetap enggan membalasnya. Rasyad pantang menyerah. Ia terus mengirimkan pesan LINE yang berisikan permohonan maaf, juga stiker-stiker lucu yang akhirnya membuat Raffa tertawa. Tapi tetap saja, Raffa tidak mau membalas pesan Rasyad. Karena jengkel, Raffa bermaksud memblock LINE Rasyad.
Sebelum memblock LINE sang kakak, Raffa kemudian iseng-iseng melihat timeline LINE nya. Raffa memang memiliki hobi melihat-lihat timeline LINE nya karena isinya banyak yang lucu-lucu dan bagus-bagus. Begitu pula dengan kali ini. Raffa dibuat senyum-senyum sendiri karena banyak yang mengucapkan semoga lekas sembuh untuknya di timeline LINE nya. Sampai akhirnya matanya terhenti pada sebuah status yang dishare oleh salah satu temannya.
Status itu berbunyi: “Tidaklah halal seorang muslim menjauhi kawannya lebih dari tiga hari. Jika telah lewat waktu tiga hari itu, maka berbicaralah dengan dia dan beri dia salam, jika dia telah menjawab salam, maka keduanya bersama-sama mendapat pahala,dan jika dia tidak membalasnya, maka sungguh dia kembali dengan membawa dosa, sedang orang yang memberi salam telah keluar dari dosa karena menjauhi itu.” Dikutip dari Riwayat Abu Daud.
Bagai ditampar Raffa membaca status LINE tersebut. Ia akhirnya sadar bahwa ia telah berdosa karena telah menolak memaafkan. Setelah membaca status itu, Raffa akhirnya sadar bahwa memaafkan adalah perbuatan mulia yang akan diganjar pahala oleh Allah SWT, apalagi ini perihal memaafkan kakak kandungnya sendiri, terlebih lagi bulan suci Ramadhan sedang berlangsung. Air mata Raffa menetes dan ia mengusapnya secara perlahan. Hati Raffa akhirnya luluh.
Raffa kemudian memaksakan diri turun dari tempat tidurnya. Ia kemudian memaksakan diri ngesot keluar dari kamar rawatnya untuk menemui Rasyad. “Kakak!” seru Raffa sambil tersendu-sendu. Rasyad, yang masih asyik mengotak-ngatik smartphonenya, kaget bukan kepalang, mendengar namanya dipanggil. Ia sangat terkejut melihat Raffa yang sekarang terduduk di lantai.
“Kak, maafin Raffa sudah mengabaikan permintaan maaf kakak. Raffa sudah tidak marah lagi sama Kakak. Ini semua bukan salah kakak, tapi rencana Allah. Maafin Raffa kak, sudah jahat sekali sama kakak. Kakak adalah kakak terbaik yang Raffa punya,” seru Raffa sambil menangis.
Rasyad, yang wajahnya bersimbah air mata sekarang, berlari menghampiri Raffa dan menggendongnya. Ia kemudian memeluk Raffa dan menciumi rambutnya. “Tentu saja kakak maafkan Raffa... Raffa, kakak sayang sekali sama Raffa, lebih dari apapun,” bisik Rasyad sambil memeluk adik kesayangannya itu. Kedua kakak-adik itu pun bertangis-tangisan, membuat para dokter dan suster menghambur keluar dan ikut terharu.
Raffa merasa bersyukur sekali, berkat LINE lah, hatinya dibukakan untuk memberikan maaf kepada sang kakak. Mungkin jika Raffa tidak pernah menginstall aplikasi LINE di handphonenya, ia tidak akan pernah membaca status LINE tentang hadits saling memaafkan yang mengantarkannya untuk memberikan maaf kepada kakaknya. Terima kasih, LINE, pikir Raffa lega.
Seminggu kemudian, Raffa diizinkan keluar dari rumah sakit. Meski sekarang ia harus duduk di kursi roda, tapi itu semua tidak menyulitkan karena Raffa tinggal mengirim pesan LINE kepada sang kakak atau pembantunya apabila ia membutuhkan bantuan. Tidak perlu repot-repot berteriak atau membunyikan bel. LINE memang luar biasa!
-THE END-
Rasyad dan Raffa adalah seorang kakak-adik yang tinggal di Bandung. Keduanya begitu akrab dan saling menyayangi. Rasyad, sang kakak, yang berusia 20 tahun, sangat lihai bermain gitar. Sang adik, Raffa , yang berusia 13 tahun memiliki bakat yang begitu luar biasa dalam bermain sepakbola. Mereka berdua begitu dekat, sangat jarang sekali bertengkar hingga membuat banyak orang iri.
Suatu hari, di hari pertama bulan Ramadhan, yang bertepatan juga dengan ulang tahun Raffa yang ke 14, Rasyad bermaksud untuk mengajak sang adik ke Dunia Fantasi, sambil menunggu waktu berbuka puasa. Kebetulan, ia mendapat dua voucher gratis masuk ke Dufan dari teman sekantornya. Tentu saja Raffa senang sekali, karena sudah lama ia memang ingin pergi ke dunia fantasi. Dengan antusias, Raffa sudah bersiap-siap dari siang hari. Ia memakai pakaian terbaiknya dan menunggu sang kakak pulang di ruang tamu.
Pukul 4 sore, Rasyad pulang dari kantor. Setengah geli ia melihat Raffa yang sudah sangat siap menunggunya di ruang tamu. “Sudah tidak sabar rupanya? Rapi sekali kau,” ujar Rasyad setengah menahan tawa. “Ya kan biar nanti tidak buru-buru. Ayo kak cepat ganti bajunya, nanti jalanan macet,” jawab Raffa polos sambil setengah meloncat. Masih dengan menahan tawa, Rasyad melangkah ke kamarnya dan bersiap-siap.
Setelah Rasyad bersiap-siap selama kurang lebih 10 menit, berangkatlah mereka. Rasyad menyetir mobilnya dengan sangat hati-hati. Benar dugaan Raffa, jalanan sudah lumayan macet dimana-mana. Dengan gelisah Rasyad berkali-kali melihat arlojinya. Kalau begini terus, bisa-bisa sampai ke Dufan sudah tutup, keluh Rasyad dalam hati.
“Raffa, kamu tidak keberatan kan kalau kita ambil jalur lain? Macet dimana-mana. Bisa-bisa nanti ketika kita sampai Dufan sudah tutup,” kata Rasyad lembut. Raffa menoleh. “Terserah kakak saja, yang penting kita ke Dufan,” jawabnya sambil tersenyum. Rasyad kemudian memutar setirnya dan mencari jalan alternatif lain. Cukup lama mereka berputar-putar mencari jalan lain. Berkali-kali Rasyad melirik adiknya yang tampak gelisah. Rasyad bertekad tidak akan mengecewakan sang adik di hari ulang tahunnya ini. Ia pun menambah kecepatan mobilnya.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Dari arah berlawanan melaju sebuah mobil sedan dengan kecepatan tinggi. Rasyad, yang sudah terlanjur mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tidak dapat menghentikannya. Dan... BRAK!!! Tabrakan pun tak dapat dielakkan lagi. Rasyad hanya mendengar jeritan sang adik setelah itu ia tak sadarkan diri dan tak ingat apa-apa lagi.
Perlahan-lahan Rasyad membuka matanya. Segalanya tampak putih. Apakah aku sudah mati? Apakah ini di surga? pikir Rasyad. Rasyad mengerjap beberapa kali, sampai akhirnya ia sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. Seorang perawat bertubuh mungil kemudian masuk. “Eh Nak Rasyad, sudah sadar, syukurlah..” ucap si perawat. Rasyad tidak dapat berpikir jernih. Tiba-tiba ia teringat dengan adiknya.
“Raffa! Raffa dimana, sus? Bagaimana keadaan adik saya?” tanyanya histeris. “Tenang Nak, kami rasa dia akan baik-baik saja. Memang dia belum sadar,” jawab sang suster lembut. “Saya mau melihatnya sus, dimana dia?” seru Rasyad. “Baiklah kalau begitu, akan kuantar kau kesana,” jawab sang suster dengan keibuan. Dengan dipapah sang suster, Rasyad berjalan terpincang-pincang ke kamar adiknya dirawat.
Alangkah terkejutnya Rasyad melihat sang adik yang terbaring lemah, penuh dengan luka dan lebam disana-sini. Rasyad meringis melihat berbagai macam selang dan infus dipasang di sekujur tubuh Raffa yang mungil. Perlahan-lahan, air mata Rasyad menetes. Ia membelai rambut adiknya dan berbisik, “Maafkan kakak ya de...” ucapnya lirih.
3 hari berlalu, Rasyad pun dinyatakan sehat dan boleh pulang ke rumah. Tapi Rasyad menolak karena ingin menjaga Raffa yang masih belum sadarkan diri. Dalam hatinya Rasyad tak henti-hentinya berdoa agar Allah tidak mengambil adik yang sangat ia sayangi.
Hari keempat di rumah sakit, Raffa akhirnya sadar, membuka matanya perlahan-lahan saat Rasyad sedang membacakan ayat-ayat Al-Quran di sampingnya. Hati Rasyad melonjak gembira saat melihat mata adiknya terbuka. “Alhamdulillah ya Allah Kau mengabulkan doaku,” ucap Rasyad lirih. Rasyad langsung mencium rambut adik kesayangannya itu. “Bagaimana perasaan kamu, de? Maafkan kakak ya...” bisik Rasyad. “Haus,” ucap Raffa pelan.
“Sebentar kakak ambilkan minum,” ujar Rasyad. Ia kemudian mengambilkan minum dan membantu Raffa menghabiskan minumannya. Tiba-tiba saja Raffa mengernyit.
“Ada apa, dik? Minumannya tidak enak?” tanya Rasyad cemas. Raffa menggeleng lemah. “Bukan, kak. Kakiku kok tidak bisa digerakkan sama sekali ya?” tanya Raffa polos. Bagai disambar petir Rasyad mendengar jawaban Raffa. “Apa?” pekiknya. “Coba gerakkan yang kiri, kemudian yang kanan,” kata Rasyad sambil memencet-mencet kaki sang adik. “Tidak bisa, kakak, kakiku seperti diikat di tempat tidur,” ucapnya. Masih terkejut, Rasyad memanggil dokter. Selama 20 menit Rasyad menunggu Raffa diperiksa oleh dokter. Rasyad berdoa dalam hati tidak akan terjadi apa-apa terhadap Raffa. Firasatnya tidak enak saat dokter keluar, karena wajah sang dokter tampak kusut.
“Apa yang terjadi pada adik saya, dok?” tanya Rasyad, takut mendengar jawaban sang dokter. “Tulang punggung adik kamu patah, Rasyad,” jawab sang dokter pelan. Rasyad menelan ludah. “Dan?” tanyanya takut. “Adikmu tidak akan bisa berjalan lagi. Ia lumpuh,” jawab dokter sambil menghela nafas.
Perlahan-lahan Rasyad merosot ke dinding. Ia tidak percaya apa yang didengarnya. Mengapa jadi seperti ini, ya Allah? Mengapa niat aku untuk menyenangkan adikku malah menjadi malapetaka seperti ini? batin Rasyad pedih.
BRAK! Tiba-tiba terdengar suara orang terjatuh. Dengan panik Rasyad berlari ke dalam kamar rawat Raffa. Didapatinya Raffa sudah tergeletak di lantai. Dengan sigap Rasyad menggendong Raffa. “Apa yang terjadi, Kak? Kenapa aku tidak bisa berdiri, malah terjatuh?” tanya Raffa polos saat sudah kembali berbaring di tempat tidur. Rasyad tidak tega untuk menjawab pertanyaan sang adik.
“Apa aku lumpuh, kak? Aku akan ditaruh di kursi roda?” desak Raffa lagi. Rasyad berpikir tidak ada gunanya menyembunyikan semuanya dari Raffa. Dengan pedih ia mengangguk pelan. Tak disangka-sangka, Raffa kemudian menarik tangannya dari tangan Rasyad. Rasyad tertegun.
“Ada apa, Raffa?” tanya Rasyad heran. “Jangan sentuh aku lagi, Kak! Aku tidak mau ketemu kakak lagi! Semua ini gara-gara kakak! Gara-gara kakak!! Keluar ! Keluar kak! Aku tidak mau melihat wajah kakak lagi!” jerit Raffa. Tercengang, Rasyad tetap terpaku pada tempatnya. Tidak lama kemudian, dokter yang mendengar jeritan Raffa tergopoh-gopoh masuk.
“Ada apa ini? Kenapa kau berteriak-teriak, Raffa?” tanya Pak Dokter dengan lembut. “Dia, dok! Aku tidak mau ketemu dia! Dia yang sudah membuat aku cacat seperti ini! Aku ingin dia keluar!” teriak Raffa sejadi-jadinya. Perlahan Pak Dokter menghampiri Rasyad dan meletakkan tangannya di atas bahu Rasyad.
“Nak, lebih baik kau keluar dulu, tunggu sampai adikmu tenang. Paling besok juga dia sudah tenang,” ucap Pak Dokter. “Tapi, Dok...” kata Rasyad pelan. Pak Dokter menggelengkan kepalanya. Akhirnya Rasyad mengalah dan melangkah ke luar.
Hari-hari berikutnya, Raffa ternyata masih belum bisa menerima Rasyad kembali. Ini membuat hati Rasyad merasa sangat terluka. Adiknya yang begitu akrab, tidak bisa dipisahkan, sekarang rasanya jauh sekali. Rasyad juga merasa sangat bersalah karena telah membuat adiknya lumpuh. Berbagai cara dilakukan Rasyad untuk meluluhkan kembali hati sang adik, dimulai dari memberikan bunga, coklat, dan mainan, tapi itu semua tidak berhasil. Raffa tetap tidak mau berbicara dengan Rasyad. Sungguh merana Rasyad dibuatnya. Ia ingin sekali bisa kembali berbicara dengan Raffa.
Suatu hari, Rasyad sedang mengutak-ngatik smartphonenya. Ketika sedang mengakses internet, ia membaca review tentang sebuah aplikasi Instant Messaging bernama “LINE.” Dalam review tersebut, aplikasi instant messaging ini sedang hits, memiliki banyak fitur, dan membantu orang-orang dalam berkomunikasi. Tertarik, Rasyad pun mendownload aplikasi LINE tersebut. Ia berharap dapat kembali berkomunikasi dengan sang adik melalui aplikasi ini.
Setelah menunggu beberapa menit, Rasyad selesai menginstall aplikasi LINE dalam smartphonenya. Dengan iseng, ia pergi ke tombol “Add Friends” kemudian ia mencari nama adiknya, siapa tahu adiknya memakai aplikasi LINE juga. Dan... tara! Ternyata ID adiknya ditemukan. Rasyad kemudian meng-add-as friend Raffa.
Dengan jempol gemetar, Rasyad menulis pesan yang berbunyi, “Adikku yang tersayang, Please Forgive Me. I don’t know what I do. Please forgive me, I can’t stop loving you.” Rasyad kemudian mengirimkan pesan itu kepada id LINE Raffa.
Tring! Hp Raffa berbunyi. Raffa yang tidak pernah lepas dari handphone nya, langsung mengecek. Cukup terkejut ia melihat pesan LINE dari kakaknya. Raffa membacanya, tapi ia masih sangat marah. Ia langsung menghapus pesan itu.
Sementara itu, Rasyad yang gelisah menunggu balasan dari Raffa, tidak henti-hentinya mengecek handphone nya. Alangkah sedihnya ia saat melihat pesan yang ia kirim sudah berstatus “Read”. Rasyad tidak menyerah. Ia tetap berusaha minta maaf kepada Raffa. Ia kembali mengetikkan pesan untuk Raffa.
“Dear Raffa my lovely brother... kakak tahu kakak bersalah, sangat bersalah karena telah membuat kamu tidak bisa berjalan lagi.. tapi kakak mohon, maafkan kakak, kakak ingin kita seperti dulu lagi, bermain bersama, jalan-jalan bersama, kakak ingin melihat kehangatan mata kamu lagi, dik. Kakak mohon bukakan pintu maafmu untuk kakak, karena kakak sendiri tidak ingin kejadian seperti ini terjadi...” Sambil mengelap ingusnya, Rasyad kembali mengirimkan pesan LINE kepada Raffa.
Tring! Handphone Raffa kembali berbunyi. Raffa tetap tidak menghiraukan pesan LINE Rasyad. Ia hanya membacanya namun tetap enggan membalasnya. Rasyad pantang menyerah. Ia terus mengirimkan pesan LINE yang berisikan permohonan maaf, juga stiker-stiker lucu yang akhirnya membuat Raffa tertawa. Tapi tetap saja, Raffa tidak mau membalas pesan Rasyad. Karena jengkel, Raffa bermaksud memblock LINE Rasyad.
Sebelum memblock LINE sang kakak, Raffa kemudian iseng-iseng melihat timeline LINE nya. Raffa memang memiliki hobi melihat-lihat timeline LINE nya karena isinya banyak yang lucu-lucu dan bagus-bagus. Begitu pula dengan kali ini. Raffa dibuat senyum-senyum sendiri karena banyak yang mengucapkan semoga lekas sembuh untuknya di timeline LINE nya. Sampai akhirnya matanya terhenti pada sebuah status yang dishare oleh salah satu temannya.
Status itu berbunyi: “Tidaklah halal seorang muslim menjauhi kawannya lebih dari tiga hari. Jika telah lewat waktu tiga hari itu, maka berbicaralah dengan dia dan beri dia salam, jika dia telah menjawab salam, maka keduanya bersama-sama mendapat pahala,dan jika dia tidak membalasnya, maka sungguh dia kembali dengan membawa dosa, sedang orang yang memberi salam telah keluar dari dosa karena menjauhi itu.” Dikutip dari Riwayat Abu Daud.
Bagai ditampar Raffa membaca status LINE tersebut. Ia akhirnya sadar bahwa ia telah berdosa karena telah menolak memaafkan. Setelah membaca status itu, Raffa akhirnya sadar bahwa memaafkan adalah perbuatan mulia yang akan diganjar pahala oleh Allah SWT, apalagi ini perihal memaafkan kakak kandungnya sendiri, terlebih lagi bulan suci Ramadhan sedang berlangsung. Air mata Raffa menetes dan ia mengusapnya secara perlahan. Hati Raffa akhirnya luluh.
Raffa kemudian memaksakan diri turun dari tempat tidurnya. Ia kemudian memaksakan diri ngesot keluar dari kamar rawatnya untuk menemui Rasyad. “Kakak!” seru Raffa sambil tersendu-sendu. Rasyad, yang masih asyik mengotak-ngatik smartphonenya, kaget bukan kepalang, mendengar namanya dipanggil. Ia sangat terkejut melihat Raffa yang sekarang terduduk di lantai.
“Kak, maafin Raffa sudah mengabaikan permintaan maaf kakak. Raffa sudah tidak marah lagi sama Kakak. Ini semua bukan salah kakak, tapi rencana Allah. Maafin Raffa kak, sudah jahat sekali sama kakak. Kakak adalah kakak terbaik yang Raffa punya,” seru Raffa sambil menangis.
Rasyad, yang wajahnya bersimbah air mata sekarang, berlari menghampiri Raffa dan menggendongnya. Ia kemudian memeluk Raffa dan menciumi rambutnya. “Tentu saja kakak maafkan Raffa... Raffa, kakak sayang sekali sama Raffa, lebih dari apapun,” bisik Rasyad sambil memeluk adik kesayangannya itu. Kedua kakak-adik itu pun bertangis-tangisan, membuat para dokter dan suster menghambur keluar dan ikut terharu.
Raffa merasa bersyukur sekali, berkat LINE lah, hatinya dibukakan untuk memberikan maaf kepada sang kakak. Mungkin jika Raffa tidak pernah menginstall aplikasi LINE di handphonenya, ia tidak akan pernah membaca status LINE tentang hadits saling memaafkan yang mengantarkannya untuk memberikan maaf kepada kakaknya. Terima kasih, LINE, pikir Raffa lega.
Seminggu kemudian, Raffa diizinkan keluar dari rumah sakit. Meski sekarang ia harus duduk di kursi roda, tapi itu semua tidak menyulitkan karena Raffa tinggal mengirim pesan LINE kepada sang kakak atau pembantunya apabila ia membutuhkan bantuan. Tidak perlu repot-repot berteriak atau membunyikan bel. LINE memang luar biasa!
-THE END-
Label:
bulan Ramadhan,
cerita pendek,
cerpen,
LINE
Minggu, 10 Januari 2016
Janji Seorang Sahabat
JANJI SEORANG SAHABAT
Di Bandung, hidup dua orang yang bersahabat karib sekali sejak kecil, mereka adalah Joshua Rendy dan Hans Santoso. Joe adalah seseorang yang cerdas dan hidup sendiri tanpa orang tua. Sedangkan Hans adalah anak keluarga berada yang kurang beruntung karena memiliki penyakit yang mematikan, yaitu hemofilia .Namun persahabatan mereka tidak terhalangi oleh perbedaan itu. Keduanya sama-sama menyukai sulap. Mereka berdua sering sekali mempraktikkan trik-trik sulap bersamaan. Pada suatu hari, Joe yang sedang duduk santai di rumahnya, tidak sengaja melihat iklan audisi “Magic Grand Prix” yang diadakan salah satu stasiun televisi swasta. Joe yang sangat menyukai sulap, sangat bersemangat dan tertarik untuk mengikuti kompetisi tersebut. Dengan cepat ia berkunjung ke rumah Hans, dan memberitahukan tentang kompetisi itu. Hans tentu saja tertarik dan menyambutnya dengan antusias. “Ini saatnya kita menggapai mimpi kita, Hans! Menjadi pesulap professional!” kata Joe dengan riang gembira. “Kapan Joe mulai audisinya?” tanya Hans dengan antusias. “Tanggal 5.. 2 minggu lagi. Audisinya di Jakarta…bisa kau bayangkan bila kita menang, Hans? Kita akan terkenal… orang-orang mengelu-elukan kita.. bahkan kita bisa tampil di London Teater!” seru Joe gembira. Hans tertawa terbahak-bahak. “Baiklah, aku akan memberitahu orangtua aku. Semoga mereka mengizinkan aku ikut kompetisi itu!” Joe mengedipkan matanya. “Beritahu aku setelah itu, ok?” kemudian Joe pulang ke rumahnya.
Waktu makan malam pun tiba. Hans dengan takut-takut menceritakan tentang kompetisi “Magic Grand Prix” tersebut. Ternyata, orangtua Hans sama sekali tidak suka dan tidak mengizinkan Hans untuk mengikuti audisinya. Tentu saja, Hans merasa kecewa sekali dengan kedua orangtuanya. “Mama dan Papa memang tidak pernah mengerti aku!” serunya,, dan ia masuk ke dalam kamarnya, dan membanting pintunya. Kedua orangtuanya hanya bisa diam melihat kekecewaan anaknya itu. Keesokan harinya, seperti biasa Joe mampir ke rumah Hans. Joe dengan riang menceritakan bahwa tabungannya sudah cukup untuk pergi ke Jakarta. Ia membicarakan apa yang akan ia persiapkan untuk audisi nanti. Hans mendengarkan dengan murung. Joe akhirnya berhenti berbicara. “Kenapa kau, teman?” tanyanya. Joe menepuk pundak Hans. “Ayolah, hari ini cerah sekali! Kenapa mukamu mendung seperti itu?”
“Joe, orangtuaku tidak mengizinkan aku untuk pergi ke Jakarta dan mengikuti audisi Magic Grand Prix,” jawab Hans pelan. Joe tertegun. Ia merasa sangat iba dengan kawannya itu. Ia tidak tahu harus berkata apa. “Kau pergi saja kesana… jangan gara-gara aku kau jadi tidak bisa menggapai mimpimu,” kata Hans. “Aku akan selalu mendukungmu”. Joe hanya terdiam. Ia sebenarnya sangat ingin mengikuti audisi kompetisi itu bersama-sama dengan Hans. Mereka berdua memang tidak terpisahkan. Tapi jika orangtua Hans tidak mengizinkan, apa boleh buat. Joe tidak bisa memaksa, ia juga tidak bisa berbuat apapun, ia juga maklum akan keputusan orangtua Hans, mengingat Hans memang sangat lemah, dan penyakit hemofilianya bisa merenggut nyawanya kapan saja. Joe mengangguk pelan. “Kalau itu keputusan orangtuamu, baiklah kawan, aku bisa mengerti,” ujar Joe. “Tapi kau harus janji padaku,” jawab Hans. “Berjanjilah kau akan memenangkan kompetisi itu! Kalau tidak aku akan sangat marah kepadamu!” kata Hans diiringi gelak tawa Joe. Mereka berdua kemudian mengaitkan kelingking mereka. “Best Friends Forever!”kekeh keduanya.
Hari demi hari pun berlalu. Joe dengan giat berlatih untuk audisi Magic Grand Prix. Ia selalu berlatih bersama Hans. Tak terasa, tiba-tiba saja hari audisi akan tiba dalam kurun waktu 4 hari lagi. Joe semakin merasa tegang. “Permainan sulapmu sudah sangat bagus Joe, tidak usah khawatir,” ujar Hans, ia geli melihat sahabatnya begitu gugup, padahal waktu audisi masih 4 hari lagi. “Kau akan datang dan mendukungku di audisi nanti kan?” tanya Joe penuh harap. Hans mengangguk mantap. “Tentu saja” ujarnya. Joe tersenyum, kemudian mengacak rambut Hans. “Kau memang sahabat terbaikku!” serunya sambil terkekeh.
Keesokan harinya, Joe kembali mampir ke rumah Hans. Ia ingin menyiapkan kebutuhan untuk audisi bersama Hans. Namun, alangkah herannya Joe, saat ia melihat ada mobil ambulans diparkir di rumah Hans. Perasaan Joe sangat tidak enak. Setengah berlari ia menghampiri rumah Hans, ketika tiba-tiba Pak Andre, ayah Hans, menghampirinya. “Joe…..Hans meninggal saat sedang tidur,” bisiknya sedih. Bagai disambar petir Joe mendengar kata-kata Pak Andre. Kemudian secara refleks ia berlari ke dalam ambulans tersebut. Dengan cepat Joe kemudian menyibakkan kain putih yang menutupi ranjang di dalam ambulans. Setelah menyibakkan kainnya, Joe tertegun. Tampak di depannya,sahabat terbaiknya, Hans, sudah terbujur kaku, memakai piama, wajahnya begitu pucat, matanya terpejam dan tangannya mendekap. Bibirnya tersenyum. Wajahnya terlihat begitu damai. Kalau tidak ada setetes darah kering yang muncul di ujung bibirnya dan ujung lubang hidungnya, Hans bisa disangka sedang tidur. Joe dilanda shock. Meski ia mengetahui tentang penyakit Hans, tetap saja Joe tidak siap untuk kehilangan sahabatnya. Perlahan-lahan ia jatuh berlutut.
2 hari kemudian, hari pemakaman Hans pun tiba. Joe masih tidak percaya sahabat terbaiknya di dunia telah meninggalkan ia untuk selama-lamanya. Joe berusaha tampak tegar meski hatinya sakit sekali. Ia berjalan ke ruang depan rumah duka dengan langkah lesu, kemudian ia duduk. Ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha agar air matanya tidak keluar.
“Joe?” panggil seseorang. Joe menoleh perlahan. Ternyata yang memanggilnya adalah Pak Andre. “Bolehkah aku duduk?” tanya Pak Andre lembut. Joe mengangguk perlahan, kemudian menggeser posisi duduknya. Ia berusaha keras untuk tidak menatap wajah Pak Andre.
Selama beberapa menit, terdapat kesunyian yang canggung di antara mereka berdua. “Kau harus menang dalam kompetisi Magic Grand Prix itu, Joe. Jika kau tidak menang, Hans tidak akan pernah memaafkanmu,” gumam Pak Andre memecah keheningan. Joe hanya diam saja, ia tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya menggigit bibirnya, berusaha keras agar tidak menangis di hadapan Pak Andre.
Kemudian, secara tiba-tiba dan tak sadar, Joe menabrakkan kepalanya ke dada Pak Andre. “Hans bilang ia akan datang ke audisiku dan mendukungku! Tapi ia tidak menepati janjinya!” seru Joe tergagap, air matanya menetes secara perlahan ke kerah kemeja Pak Andre. Pak Andre memeluk dan membelai rambut Joe, layaknya Joe adalah seorang putranya sendiri. “Joe sayang, tenang Nak, Hans sudah lama sakit, kau tahu itu! Tak ada gunanya menangis. Hans tidak akan kembali! Ia sudah tidak kesakitan lagi,” ujar Pak Andre pelan. “Hapus air matamu Nak.” Joe melepaskan diri dari pelukan Pak Andre. Ia merasa malu karena tidak bisa mengontrol emosinya. “Bolehkah aku melihat Hans untuk terakhir kali?” tanya Joe masih dengan suara sengau. “Bicara apa kau, Nak? Tentu saja boleh!” kata Pak Andre lembut.
. Joe kemudian masuk ke dalam rumah duka itu. Jenazah Hans masih berbaring disana, tangannya mendekap, matanya tertutup dan tersenyum. Wajahnya terlihat damai sekali. Ia bisa disangka sedang tidur. Perlahan-lahan Joe menatap jenazah sahabatnya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kancing atas kemeja Hans terbuka. Joe kemudian mengancingkan kancing itu dengan pelan.
Secara perlahan-lahan, Joe kemudian menekukkan lututnya. Ia ingin bicara untuk yang terakhir kali kepada sahabat karibnya itu. Meski Joe tahu, tindakannya ini bodoh. Kepala Joe telah sejajar dengan kepala jenazah Hans sekarang. Joe kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Hans. “Hey ini aku, jagoan bodoh,” bisik Joe.
“Kau egois, eh? Katanya kau akan menemaniku sampai kapanpun. Kau bilang, kau akan selalu mendukungku. Kau bilang, kau akan datang ke audisiku. Tapi kau malah enak-enakan tidur disini,” gumamnya. Joe kemudian tertawa kecil. Ia kemudian menyedot ingus yang perlahan keluar dari hidungnya.
“Kau tahu, aku benci padamu. Aku benci kau melanggar janji kita untuk bersama selamanya. Aku benci kau tidak menepati janjimu untuk datang ke audisiku, ” lanjutnya lagi dengan suara yang sangat sengau. “Kau pergi begitu saja tanpa pamit. Tahukah kau itu perbuatan yang sangat tidak sopan?” Joe memaksakan diri untuk tertawa. “Aku benci kau, Hans. Aku benci kau meninggalkanku sendirian begitu saja seperti ini.” gumam Joe lagi. Selama sepersekian detik, Joe hanya menatap jenazah Hans dengan tatapan yang sangat kosong. Tiba-tiba di benaknya, terlintas sesuatu. Joe melepas sebelah sepatu Hans dengan sangat hati-hati. Ia kemudian melepas sebelah sepatunya juga. Kemudian Joe mengeluarkan spidol dari sakunya. Ia kemudian menulis inisial namanya dan nama Hans di sepatu mereka masing-masing. Dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan, Joe memakaikan kembali sepatu yang telah ia tulisi dengan inisial namanya dan nama Hans ke kaki jenazah Hans. Sekarang jenazah Hans tampak agak ganjil dengan mengenakan sepatu yang berbeda, dengan masing-masing sepatu bertuliskan huruf “JR” dan “HS”. Tanpa disadarinya, ia tersenyum. “Pergilah ke surga, biar para malaikat menjagamu kawan,” bisiknya. “Sampaikan salamku terhadap papa dan mama kalau kalian bertemu di surga.”
Joe akhirnya berangkat ke Jakarta dengan ditemani oleh Pak Andre dan Bu Rita. Tampak banyak sekali pesulap yang mengikuti audisi tersebut, mungkin jumlahnya ribuan. Joe mengambil nomor antrian dengan gugup, kemudian duduk di ruang tunggu. “Tenang saja, sulapmu kan sudah hebat Nak, aku yakin kau pasti berhasil,” kata Pak Andre sambil menepuk punggung Joe. Joe hanya bisa tersenyum kecil, ia tidak bisa berkata apa-apa saking tegangnya. Sambil membunuh waktu, Joe kemudian mengeluarkan beberapa alat sulap dari tasnya. Karena terlalu bersemangat, akhirnya alat-alat sulap tersebut berserakan di lantai. Joe kemudian membungkuk dan mengambil kembali alat-alat sulapnya yang berceceran.
Saat tengah merapikan alat-alat sulapnya, tiba-tiba Joe menemukan sebuah foto. Dengan heran ia mengambil foto tersebut. Ternyata, foto itu adalah foto ia dan Hans. Joe sama sekali tidak ingat pernah menyimpan foto ini. Tampak di dalam foto itu Hans kelihatan sehat dan sangat tampan dengan memakai jersey Manchester United berwarna biru. Tangannya yang diperban merangkul Joe yang terlihat sedikit menutup mata dalam foto itu. Joe menatap foto itu dengan seksama. Tangannya langsung bergetar. Secara perlahan Joe membalik foto itu. Ada sebuah pesan yang ditulis tangan oleh Hans. Dengan tangan bergetar Joe membaca pesan itu.
Dear Joshua Rendy aka David Copporfield gadungan super,
Selamat ulang tahun! Sukses terus! Panjang umur! Sehat selalu……(jangan seperti aku yang bolak-balik ke rumah sakit terus seperti setrikaan).. Cepat menikah! Cepat dapat jodoh! Cepat cari pendamping hidup! Buatlah bangga terus almarhum kedua orang tuamu! Buat mereka tersenyum dari surga! (jangan seperti aku yang cuma bisa menyusahkan kedua orang tua ku dan membuat mereka sedih terus) Maaf aku cuma bisa beri kau kado ulang tahun ini. Supaya kau ingat aku terus, hahahaha!!! Maaf juga aku menaruhnya diam-diam di dalam tasmu!
Wish you all the best, my best friend and my best brother!
Dari temanmu yang tampan
Hans Santoso
Mata Joe menyusuri bagian bawah belakang foto itu. Tampak sebuah gambar yang digambar oleh Hans. Joe kemudian memperhatikannya dengan baik-baik. Ternyata gambar tersebut adalah karikatur ia dan Hans. Dalam karikatur tersebut, Hans tampak mengangkat Joe di atas pundaknya. Di sebelahnya terdapat tulisan “JOE SI JUARA MAGIC GRAND PRIX”.
Joe menggigit bibirnya. Dadanya terasa sesak sekali, yang tidak ada hubungannya dengan asap rokok yang kini menjalar dari peserta lain di ruangan. Dalam hatinya ia merasa sangat tolol. Bagaimana mungkin ia baru mengetahui kalau Hans memberikan kado ulang tahun ini setelah Hans tiada? Ia tidak bisa mengucapkan terima kasih atau mengacak rambut Hans karena telah memberikan ini untuknya. Ia juga tidak bisa meledek gambar Hans yang seperti gambar anak usia kelas 6 SD. Dengan perlahan Joe memasukkan foto itu ke dalam sakunya. Foto itu memberikan kekuatan untuk Joe. Joe akhirnya mengikuti audisi Magic Grand Prix. Dari sejak audisi, Joe sudah membuat para juri terpukau.. Perjalanan Joe cukup panjang di kompetisi Magic Grand Prix tersebut. Sampai akhirnya malam final tiba, dan Joe dinobatkan menjadi juara. Saat dinobatkan menjadi juara, Joe melihat kursi yang kosong, dalam hatinya ia berpikir, kursi kosong itu seharusnya diduduki oleh Hans.
“Untuk siapa kemenangan ini kau persembahkan?” tanya pembawa acara Magic Grand Prix tersebut. Joe menghela nafas. “Untuk sahabat saya, Hans Santoso. Seharusnya ia juga berdiri disini bersama saya, tapi kini ia telah tiada. Seharusnya ia mendukung saya di kompetisi Magic Grand Prix ini, tapi ia pergi mendahului saya. Untuk itu, saya persembahkan kemenangan saya ini untuk mengenang persahabatan kami yang tak akan lekang oleh waktu,” kata Joe.
Seluruh hadirin bertepuk tangan sambil berdiri. Sebagian bahkan ada yang mencucurkan air mata. Joe menatap ke atas... Hans pasti sedang mengawasinya dari surga sana... Dirinya tidak akan lekang oleh waktu.. Dan saat itu, Joe baru menyadari bahwa Hans tidak pernah benar-benar pergi, melainkan akan selalu hidup di dalam hatinya.
Di Bandung, hidup dua orang yang bersahabat karib sekali sejak kecil, mereka adalah Joshua Rendy dan Hans Santoso. Joe adalah seseorang yang cerdas dan hidup sendiri tanpa orang tua. Sedangkan Hans adalah anak keluarga berada yang kurang beruntung karena memiliki penyakit yang mematikan, yaitu hemofilia .Namun persahabatan mereka tidak terhalangi oleh perbedaan itu. Keduanya sama-sama menyukai sulap. Mereka berdua sering sekali mempraktikkan trik-trik sulap bersamaan. Pada suatu hari, Joe yang sedang duduk santai di rumahnya, tidak sengaja melihat iklan audisi “Magic Grand Prix” yang diadakan salah satu stasiun televisi swasta. Joe yang sangat menyukai sulap, sangat bersemangat dan tertarik untuk mengikuti kompetisi tersebut. Dengan cepat ia berkunjung ke rumah Hans, dan memberitahukan tentang kompetisi itu. Hans tentu saja tertarik dan menyambutnya dengan antusias. “Ini saatnya kita menggapai mimpi kita, Hans! Menjadi pesulap professional!” kata Joe dengan riang gembira. “Kapan Joe mulai audisinya?” tanya Hans dengan antusias. “Tanggal 5.. 2 minggu lagi. Audisinya di Jakarta…bisa kau bayangkan bila kita menang, Hans? Kita akan terkenal… orang-orang mengelu-elukan kita.. bahkan kita bisa tampil di London Teater!” seru Joe gembira. Hans tertawa terbahak-bahak. “Baiklah, aku akan memberitahu orangtua aku. Semoga mereka mengizinkan aku ikut kompetisi itu!” Joe mengedipkan matanya. “Beritahu aku setelah itu, ok?” kemudian Joe pulang ke rumahnya.
Waktu makan malam pun tiba. Hans dengan takut-takut menceritakan tentang kompetisi “Magic Grand Prix” tersebut. Ternyata, orangtua Hans sama sekali tidak suka dan tidak mengizinkan Hans untuk mengikuti audisinya. Tentu saja, Hans merasa kecewa sekali dengan kedua orangtuanya. “Mama dan Papa memang tidak pernah mengerti aku!” serunya,, dan ia masuk ke dalam kamarnya, dan membanting pintunya. Kedua orangtuanya hanya bisa diam melihat kekecewaan anaknya itu. Keesokan harinya, seperti biasa Joe mampir ke rumah Hans. Joe dengan riang menceritakan bahwa tabungannya sudah cukup untuk pergi ke Jakarta. Ia membicarakan apa yang akan ia persiapkan untuk audisi nanti. Hans mendengarkan dengan murung. Joe akhirnya berhenti berbicara. “Kenapa kau, teman?” tanyanya. Joe menepuk pundak Hans. “Ayolah, hari ini cerah sekali! Kenapa mukamu mendung seperti itu?”
“Joe, orangtuaku tidak mengizinkan aku untuk pergi ke Jakarta dan mengikuti audisi Magic Grand Prix,” jawab Hans pelan. Joe tertegun. Ia merasa sangat iba dengan kawannya itu. Ia tidak tahu harus berkata apa. “Kau pergi saja kesana… jangan gara-gara aku kau jadi tidak bisa menggapai mimpimu,” kata Hans. “Aku akan selalu mendukungmu”. Joe hanya terdiam. Ia sebenarnya sangat ingin mengikuti audisi kompetisi itu bersama-sama dengan Hans. Mereka berdua memang tidak terpisahkan. Tapi jika orangtua Hans tidak mengizinkan, apa boleh buat. Joe tidak bisa memaksa, ia juga tidak bisa berbuat apapun, ia juga maklum akan keputusan orangtua Hans, mengingat Hans memang sangat lemah, dan penyakit hemofilianya bisa merenggut nyawanya kapan saja. Joe mengangguk pelan. “Kalau itu keputusan orangtuamu, baiklah kawan, aku bisa mengerti,” ujar Joe. “Tapi kau harus janji padaku,” jawab Hans. “Berjanjilah kau akan memenangkan kompetisi itu! Kalau tidak aku akan sangat marah kepadamu!” kata Hans diiringi gelak tawa Joe. Mereka berdua kemudian mengaitkan kelingking mereka. “Best Friends Forever!”kekeh keduanya.
Hari demi hari pun berlalu. Joe dengan giat berlatih untuk audisi Magic Grand Prix. Ia selalu berlatih bersama Hans. Tak terasa, tiba-tiba saja hari audisi akan tiba dalam kurun waktu 4 hari lagi. Joe semakin merasa tegang. “Permainan sulapmu sudah sangat bagus Joe, tidak usah khawatir,” ujar Hans, ia geli melihat sahabatnya begitu gugup, padahal waktu audisi masih 4 hari lagi. “Kau akan datang dan mendukungku di audisi nanti kan?” tanya Joe penuh harap. Hans mengangguk mantap. “Tentu saja” ujarnya. Joe tersenyum, kemudian mengacak rambut Hans. “Kau memang sahabat terbaikku!” serunya sambil terkekeh.
Keesokan harinya, Joe kembali mampir ke rumah Hans. Ia ingin menyiapkan kebutuhan untuk audisi bersama Hans. Namun, alangkah herannya Joe, saat ia melihat ada mobil ambulans diparkir di rumah Hans. Perasaan Joe sangat tidak enak. Setengah berlari ia menghampiri rumah Hans, ketika tiba-tiba Pak Andre, ayah Hans, menghampirinya. “Joe…..Hans meninggal saat sedang tidur,” bisiknya sedih. Bagai disambar petir Joe mendengar kata-kata Pak Andre. Kemudian secara refleks ia berlari ke dalam ambulans tersebut. Dengan cepat Joe kemudian menyibakkan kain putih yang menutupi ranjang di dalam ambulans. Setelah menyibakkan kainnya, Joe tertegun. Tampak di depannya,sahabat terbaiknya, Hans, sudah terbujur kaku, memakai piama, wajahnya begitu pucat, matanya terpejam dan tangannya mendekap. Bibirnya tersenyum. Wajahnya terlihat begitu damai. Kalau tidak ada setetes darah kering yang muncul di ujung bibirnya dan ujung lubang hidungnya, Hans bisa disangka sedang tidur. Joe dilanda shock. Meski ia mengetahui tentang penyakit Hans, tetap saja Joe tidak siap untuk kehilangan sahabatnya. Perlahan-lahan ia jatuh berlutut.
2 hari kemudian, hari pemakaman Hans pun tiba. Joe masih tidak percaya sahabat terbaiknya di dunia telah meninggalkan ia untuk selama-lamanya. Joe berusaha tampak tegar meski hatinya sakit sekali. Ia berjalan ke ruang depan rumah duka dengan langkah lesu, kemudian ia duduk. Ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha agar air matanya tidak keluar.
“Joe?” panggil seseorang. Joe menoleh perlahan. Ternyata yang memanggilnya adalah Pak Andre. “Bolehkah aku duduk?” tanya Pak Andre lembut. Joe mengangguk perlahan, kemudian menggeser posisi duduknya. Ia berusaha keras untuk tidak menatap wajah Pak Andre.
Selama beberapa menit, terdapat kesunyian yang canggung di antara mereka berdua. “Kau harus menang dalam kompetisi Magic Grand Prix itu, Joe. Jika kau tidak menang, Hans tidak akan pernah memaafkanmu,” gumam Pak Andre memecah keheningan. Joe hanya diam saja, ia tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya menggigit bibirnya, berusaha keras agar tidak menangis di hadapan Pak Andre.
Kemudian, secara tiba-tiba dan tak sadar, Joe menabrakkan kepalanya ke dada Pak Andre. “Hans bilang ia akan datang ke audisiku dan mendukungku! Tapi ia tidak menepati janjinya!” seru Joe tergagap, air matanya menetes secara perlahan ke kerah kemeja Pak Andre. Pak Andre memeluk dan membelai rambut Joe, layaknya Joe adalah seorang putranya sendiri. “Joe sayang, tenang Nak, Hans sudah lama sakit, kau tahu itu! Tak ada gunanya menangis. Hans tidak akan kembali! Ia sudah tidak kesakitan lagi,” ujar Pak Andre pelan. “Hapus air matamu Nak.” Joe melepaskan diri dari pelukan Pak Andre. Ia merasa malu karena tidak bisa mengontrol emosinya. “Bolehkah aku melihat Hans untuk terakhir kali?” tanya Joe masih dengan suara sengau. “Bicara apa kau, Nak? Tentu saja boleh!” kata Pak Andre lembut.
. Joe kemudian masuk ke dalam rumah duka itu. Jenazah Hans masih berbaring disana, tangannya mendekap, matanya tertutup dan tersenyum. Wajahnya terlihat damai sekali. Ia bisa disangka sedang tidur. Perlahan-lahan Joe menatap jenazah sahabatnya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kancing atas kemeja Hans terbuka. Joe kemudian mengancingkan kancing itu dengan pelan.
Secara perlahan-lahan, Joe kemudian menekukkan lututnya. Ia ingin bicara untuk yang terakhir kali kepada sahabat karibnya itu. Meski Joe tahu, tindakannya ini bodoh. Kepala Joe telah sejajar dengan kepala jenazah Hans sekarang. Joe kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Hans. “Hey ini aku, jagoan bodoh,” bisik Joe.
“Kau egois, eh? Katanya kau akan menemaniku sampai kapanpun. Kau bilang, kau akan selalu mendukungku. Kau bilang, kau akan datang ke audisiku. Tapi kau malah enak-enakan tidur disini,” gumamnya. Joe kemudian tertawa kecil. Ia kemudian menyedot ingus yang perlahan keluar dari hidungnya.
“Kau tahu, aku benci padamu. Aku benci kau melanggar janji kita untuk bersama selamanya. Aku benci kau tidak menepati janjimu untuk datang ke audisiku, ” lanjutnya lagi dengan suara yang sangat sengau. “Kau pergi begitu saja tanpa pamit. Tahukah kau itu perbuatan yang sangat tidak sopan?” Joe memaksakan diri untuk tertawa. “Aku benci kau, Hans. Aku benci kau meninggalkanku sendirian begitu saja seperti ini.” gumam Joe lagi. Selama sepersekian detik, Joe hanya menatap jenazah Hans dengan tatapan yang sangat kosong. Tiba-tiba di benaknya, terlintas sesuatu. Joe melepas sebelah sepatu Hans dengan sangat hati-hati. Ia kemudian melepas sebelah sepatunya juga. Kemudian Joe mengeluarkan spidol dari sakunya. Ia kemudian menulis inisial namanya dan nama Hans di sepatu mereka masing-masing. Dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan, Joe memakaikan kembali sepatu yang telah ia tulisi dengan inisial namanya dan nama Hans ke kaki jenazah Hans. Sekarang jenazah Hans tampak agak ganjil dengan mengenakan sepatu yang berbeda, dengan masing-masing sepatu bertuliskan huruf “JR” dan “HS”. Tanpa disadarinya, ia tersenyum. “Pergilah ke surga, biar para malaikat menjagamu kawan,” bisiknya. “Sampaikan salamku terhadap papa dan mama kalau kalian bertemu di surga.”
Joe akhirnya berangkat ke Jakarta dengan ditemani oleh Pak Andre dan Bu Rita. Tampak banyak sekali pesulap yang mengikuti audisi tersebut, mungkin jumlahnya ribuan. Joe mengambil nomor antrian dengan gugup, kemudian duduk di ruang tunggu. “Tenang saja, sulapmu kan sudah hebat Nak, aku yakin kau pasti berhasil,” kata Pak Andre sambil menepuk punggung Joe. Joe hanya bisa tersenyum kecil, ia tidak bisa berkata apa-apa saking tegangnya. Sambil membunuh waktu, Joe kemudian mengeluarkan beberapa alat sulap dari tasnya. Karena terlalu bersemangat, akhirnya alat-alat sulap tersebut berserakan di lantai. Joe kemudian membungkuk dan mengambil kembali alat-alat sulapnya yang berceceran.
Saat tengah merapikan alat-alat sulapnya, tiba-tiba Joe menemukan sebuah foto. Dengan heran ia mengambil foto tersebut. Ternyata, foto itu adalah foto ia dan Hans. Joe sama sekali tidak ingat pernah menyimpan foto ini. Tampak di dalam foto itu Hans kelihatan sehat dan sangat tampan dengan memakai jersey Manchester United berwarna biru. Tangannya yang diperban merangkul Joe yang terlihat sedikit menutup mata dalam foto itu. Joe menatap foto itu dengan seksama. Tangannya langsung bergetar. Secara perlahan Joe membalik foto itu. Ada sebuah pesan yang ditulis tangan oleh Hans. Dengan tangan bergetar Joe membaca pesan itu.
Dear Joshua Rendy aka David Copporfield gadungan super,
Selamat ulang tahun! Sukses terus! Panjang umur! Sehat selalu……(jangan seperti aku yang bolak-balik ke rumah sakit terus seperti setrikaan).. Cepat menikah! Cepat dapat jodoh! Cepat cari pendamping hidup! Buatlah bangga terus almarhum kedua orang tuamu! Buat mereka tersenyum dari surga! (jangan seperti aku yang cuma bisa menyusahkan kedua orang tua ku dan membuat mereka sedih terus) Maaf aku cuma bisa beri kau kado ulang tahun ini. Supaya kau ingat aku terus, hahahaha!!! Maaf juga aku menaruhnya diam-diam di dalam tasmu!
Wish you all the best, my best friend and my best brother!
Dari temanmu yang tampan
Hans Santoso
Mata Joe menyusuri bagian bawah belakang foto itu. Tampak sebuah gambar yang digambar oleh Hans. Joe kemudian memperhatikannya dengan baik-baik. Ternyata gambar tersebut adalah karikatur ia dan Hans. Dalam karikatur tersebut, Hans tampak mengangkat Joe di atas pundaknya. Di sebelahnya terdapat tulisan “JOE SI JUARA MAGIC GRAND PRIX”.
Joe menggigit bibirnya. Dadanya terasa sesak sekali, yang tidak ada hubungannya dengan asap rokok yang kini menjalar dari peserta lain di ruangan. Dalam hatinya ia merasa sangat tolol. Bagaimana mungkin ia baru mengetahui kalau Hans memberikan kado ulang tahun ini setelah Hans tiada? Ia tidak bisa mengucapkan terima kasih atau mengacak rambut Hans karena telah memberikan ini untuknya. Ia juga tidak bisa meledek gambar Hans yang seperti gambar anak usia kelas 6 SD. Dengan perlahan Joe memasukkan foto itu ke dalam sakunya. Foto itu memberikan kekuatan untuk Joe. Joe akhirnya mengikuti audisi Magic Grand Prix. Dari sejak audisi, Joe sudah membuat para juri terpukau.. Perjalanan Joe cukup panjang di kompetisi Magic Grand Prix tersebut. Sampai akhirnya malam final tiba, dan Joe dinobatkan menjadi juara. Saat dinobatkan menjadi juara, Joe melihat kursi yang kosong, dalam hatinya ia berpikir, kursi kosong itu seharusnya diduduki oleh Hans.
“Untuk siapa kemenangan ini kau persembahkan?” tanya pembawa acara Magic Grand Prix tersebut. Joe menghela nafas. “Untuk sahabat saya, Hans Santoso. Seharusnya ia juga berdiri disini bersama saya, tapi kini ia telah tiada. Seharusnya ia mendukung saya di kompetisi Magic Grand Prix ini, tapi ia pergi mendahului saya. Untuk itu, saya persembahkan kemenangan saya ini untuk mengenang persahabatan kami yang tak akan lekang oleh waktu,” kata Joe.
Seluruh hadirin bertepuk tangan sambil berdiri. Sebagian bahkan ada yang mencucurkan air mata. Joe menatap ke atas... Hans pasti sedang mengawasinya dari surga sana... Dirinya tidak akan lekang oleh waktu.. Dan saat itu, Joe baru menyadari bahwa Hans tidak pernah benar-benar pergi, melainkan akan selalu hidup di dalam hatinya.
Label:
cerita pendek,
cerpen,
persahabatan
Sabtu, 09 Januari 2016
Untuk adikku, Intan.
Intan Permata. Yup, itulah namanya. Rasanya baru kemarin, 7 tahun lalu, tepatnya Oktober 2009, saat aku membuka akun Facebook ku dan menemukan sebuah permintaan pertemanan dengan nick "Intan Permata Cleonova." Karena aku selalu senang jika ada orang yang meng-add Facebookku, dengan cepat aku menerima permintaan pertemanan itu. Aku tidak begitu ingat bagaimana awalnya kami bisa akrab, berbagi cerita tanpa canggung walau tidak pernah bertemu di dunia nyata. Yang aku ingat adalah, kita sama-sama penggemar talent show The Master, mungkin itu yang menyebabkan kami cepat akrab.
Awalnya aku tidak mengira dia masih duduk di kelas 6 SD ketika itu. Ketika dia berbicara tentang umurnya, alangkah terkejutnya aku, karena bahasanya sangat terstruktur, rapi, dan dewasa tidak seperti anak SD pada umumnya. Lalu ia bercerita bahwa ia ngefans berat dengan Robert Stevan, salah satu finalis The Master Season 2.
Aku yang saat itu masih kuliah di Bandung, dan memang saat itu sering bertemu dengan kak Robert (begitulah aku biasa memanggilnya) bertekad untuk menyenangkan anak ini, yang sudah menjadi teman curhatku dengan sangat menyenangkan. Maka aku pergi ke Istana Plaza, tempat biasa kak Robert nongkrong. Aku kemudian menelepon ke ponselnya Intan, kuberikan ponselku, agar Intan dapat berbicara dengan idolanya. Sungguh geli aku saat ia tergagap mendengar suara idolanya.
Intan sepertinya sangat berterima kasih kepadaku. Padahal apa yang aku lakukan, menurutku biasa saja. Ia menjadi sangat peduli padaku, membuatku jatuh sayang padanya, aku seperti menemukan seorang adik lewat Facebook.
Bahkan setelah 7 tahun berlalu, aku dan Intan tidak pernah putus komunikasi. Jika ia ada masalah, ia kerap curhat kepadaku. Dan bila aku update status di bbm yang menyiratkan moodku tidak enak, Intan pasti langsung bertanya ada apa denganku. Saat papaku meninggal, Intan-lah orang paling cepat kedua yang mengucapkan belasungkawa. Padahal ia hanya melihat statusku saja. Teman-temanku di dunia nyata bahkan kebanyakan tidak mengatakan apa-apa walaupun mereka sudah kukabari. Sangat membuatku terharu. Padahal siapa aku? Bukan kakaknya, bukan darah dagingnya, perbuatan baik yang pernah kulakukan kepadanya hanyalah membuat ia bisa berbicara di telepon dengan idolanya. Kadang aku ingin tahu, sebenarnya apa rencana Tuhan dibalik mempertemukan aku dengan Intan lewat media Facebook 7 tahun lalu? Pastinya sebuah rencana indah.
Hidup ini aneh memang. Orang yang tiap hari bertemu, dulu sangat akrab, bisa tiba-tiba putus komunikasi begitu saja, seakan-akan kita tidak pernah saling mengenal. Orang yang hanya kita kenal melalui dunia maya, justru menjaga betul silaturahmi, bahkan lebih peduli kepada kita.
Untuk adikku Intan, terima kasih ya sudah menjadi teman curhat kaka yang asyik. Terima kasih selalu peduli dan memperhatikan kakak, bahkan lebih perhatian dari teman-teman kakak di dunia nyata. Semoga suatu saat kita bisa bertemu secara langsung ya de. Dan semoga komunikasi kita tidak pernah putus. Dan semoga Intan juga bisa tabah menghadapi kepergian Bapak.
Dari kakakmu, Kak Manda.
Langganan:
Postingan (Atom)