Jumat, 15 November 2013

just share some of my photographs :D









Dari Orang Tua untuk Anaknya

Di saat aku dengan pikunnya mengulang terus-menerus ucapan yang membosankanmu.
Bersabarlah mendengarkanku. Jangan memotong ucapanku.
Di masa kecilmu, aku harus mengulang dan mengulang terus sebuah cerita yang telah saya ceritakan ribuan kali hingga dirimu terbuai dalam mimpi.


Di saat aku membutuhkanmu untuk memandikanku. Janganlah menyalahkanku.
Ingatkah di masa kecilmu, bagaimana aku dengan berbagai cara membujukmu untuk mandi?


Di saat aku kebingungan menghadapi hal-hal baru dan teknologi modern.
Janganlah menertawaiku. Renungkanlah bagaimana aku dengan sabarnya menjawab setiap “mengapa” yang kau ajukan saat itu.


DI saat kedua kakiku terlalu lemah untuk berjalan.
Ulurkanlah tanganmu yang muda dan kuat untuk memapahku, seperti bagaimana di masa kecilmu aku menuntunmu melangkahkan kaki untuk berjalan


Di saat aku melupakan topik pembicaraan kita.
Berilah sedikit waktu padaku untuk mengingatnya. Sebenarnya, topik pembicaraan bukanlah hal yang penting bagiku. Asalkan engkau berada di sisiku untuk mendengarkanku. Aku telah merasa bahagia.


Di saat engkau melihat diriku menua, janganlah bersedih.
Maklumilah diriku, dukunglah aku, seperti ketika aku menghadapimu belajar bagaimana menapaki kehidupan ini.


Dulu aku menuntunmu menapaki jalan kehidupan ini.
Kini temanilah aku hingga akhir jalan hidupku.
Berilah aku cinta kasih dan kesabarnmu.
aku akan menerimanya dengan senyuman penuh syukur.
Di dalam senyumku tertanam kasihku yang tak terhingga padamu

Seorang Miskin Membangun Mesjid Paling Aneh Di Dunia

Di sebuah kawasan Al-Fateh, di pinggiran kota Istanbul ada seorang yang wara’ dan sangat sederhana, namanya Khairuddin Afandi. Setiap kali ke pasar ia tidak membeli apa-apa. Saat merasa lapar dan ingin makan atau membeli sesuatu, seperti buah, daging atau manisan, ia berkata pada dirinya: Anggap saja sudah makan yang dalam bahasa Turkinya “ Shanke Yadem”

Nah, apa yang dia lakukan setelah itu? Uang yang seharusnya digunakan untuk membeli keperluan makanannya itu dimasukkan ke dalan kotak (tromol)… Begitulah yang dia lakukan setiap bulan dan sepanjang tahun. Ia mampu menahan dirinya untuk tidak makan dan belanja kecuali sebatas menjaga kelangsungan hidupnya saja.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun Khairuddin Afandi konsisten dengan amal dan niatnya yang kuat untuk mewujudkan impiannya membangun sebuah masjid. Tanpa terasa, akhirnya Khairuddin Afandi mampu mengumpulkan dana untuk membangun sebuah masjid kecil di daerah tempat tinggalnya. Bentuknyapun sangat sederhana, sebuah pagar persegi empat, ditandai dengan dua menara di sebelah kiri dan kanannya, sedangkan di sebelah arah kiblat ditengahnya dibuat seperti mihrab.

Akhirnya, Khairuddin berhasil mewujudkan cita-ciatanya yang amt mulia itu dan masyarakat di sekitarnyapun keheranan, kok Khairuddin yang miskin itu di dalam dirinya tertanam sebuah cita-cita mulia, yakni membangun sebuah masjid dan berhasil dia wujudkan. Tidak bayak orang yang menyangka bahwa Khairud ternyata orang yang sangat luar biasa dan banyak orang yang kaya yang tidak bisa berbuat kebaikan seperti Khairuddin Afandi.

Setelah masjid tersebut berdiri, masyarakat penasaran apa gerangan yang terjadi pada AKhiruddin Afandi. Mereka bertanya bagaimana ceritana soerang yang miskin bisa membangun masjid. Setelah mereka mendengar cerita yang sangat menakjubkan itu, merekapun sepakat memberi namanya dengan: “Shanke yadem” (Angap Saja Saya Sudah Makan).

Subhanallah! Sekiranya orang-orang kaya dan memiliki penghasilan lebih dari kaum Muslimin di dunia ini berfikir seperti Khairuddin, berapa banyak dana yang akan terkumpul untuk kaum fakir miskin? Berapa banyak masjid, sekolah, rumah sakit dan fasilitas hidup lainnya yang dapat dibangun? Berapa banyak infra struktur yang dapat kita realisasikan, tanpa harus meminjam ke lembaga dan Negara yang memusuhi Islam dan umatnya?

Dari buku “Keajaiban Sejarah Ustmani”, oleh : Ust. Urkhan Mohamad Ali

Senin, 04 November 2013

A Letter From God, Tetaplah Berlari Anakku!

AnakKu yang terkasih, Aku hampir tidak percaya ketika membaca suratmu. Bukankah baru beberapa minggu yang lalu engkau berjanji tidak akan menyerah?Aku tahu, mungkin minggu-minggu ini terasa sangat sulit bagimu,tapi, anakKu, kuatkan hatimu.Tetaplah berlari dalam track yang sudah kusediakan karena Aku tahu yang terbaik bagimu.Bila kau merasa lelah, berhentilah sejenak,ambil roti dan air hidup yang PutraKu telah tawarkan dan makanlah.Aku yakin, setelah kau mendapatkan keduanya, kau akan merasa segar kembali.Setelah itu, tarik nafas dalam-dalam dan mulai langkahkan kakimu untuk bergerak maju.Fokuskan pandanganmu pada apa yang ada di depanmu, pada tujuanyang kau miliki, yaitu menyelesaikan perlombaan dan menjadi juara.Buanglah kemarahan dan sakit hati yang menghantui pikiranmu.Amarah dan sakit hati itu tidak ada gunanya,hanya menguras tenaga dan menghambatmu mencapai tujuan.Terkadang Aku mengijinkan hal-hal yang buruk terjadi karena Aku ingin melatihmu.Aku ingin kaki-kakimu menjadi lebih kuat daripada sebelumnya.Dengan begitu engkau dapat berlari dengan lebih cepat.

Berhentilah mengasihani dirimu sendiri, berdirilah tegap, dan punyailah mental seorang pemenang.Seorang pemenang, bukan dilihat dari berapa kali ia sukses meraih gelar juara.Di mataKu,seorang pemenang adalah seorang yang tidak pernah menyerah terhadap kegagalan,yang mau bangkit setiap kali ia jatuh.

Karena itu,jangan pernah menyerah ketika kau jatuh tersandung kerikil-kerikil disepanjang jalanmu. Jangan pula kau merasa malu terhadap dirimu sendiri.Angkat kepalamu dan teruskan perjalananmu mencapai finish.
Ketika pertandingan dimulai,Kuharap kau bisa mengacuhkan omongan orang-orang yang menonton di bangku stadion.Jangan merasa sombong karena pujian atau karena kau diunggulkan.Pujian dan pengagungan yang keluar dari mulut mereka terkadang hanya sekedar basa-basi di depan para juara.

Tak jarang, kata-kata manis itu akan segera berubah menjadi kritikan pedas dan kecaman ketika para juara itu gagal.Karena itu, kau juga tidak perlu risau ketika mendengar pernyataan-pernyataan skeptis yang mengatakan engkau pasti kalah.Kau bukan bertanding atas kemauan mereka.Kau juga tidak hidup berdasarkan omongan mereka.Pelari yang berpengalaman tahu akan hal itu.Karena itu, tidak usah pusing dengan perkataan-perkataan mereka. Fokuskan pikiranmu pada tujuan yang semula, bukan untuk mendapatkan pujian atau penghargaan dari orang lain, tapi untuk menyelesaikan pertandingan.

Aku, Pelatihmu, tidak pernah meragukan kemampuan yang kau miliki.Aku tahu seberapa besar potensi yang ada padamu dan Aku tahu kau pasti bisamencapai garis finish dengan gemilang. Selamat berjuang anakKu, Aku menunggumu di garis finish.

Yang mengasihimu,

Ayahmu, Pelatihmu, Sahabatmu, Penonton setiamu

Sepenggal Cerita tentang perilaku positif

Dahulu kala ada 2 orang kakak beradik. Ketika ayahnya meninggal sebelumnya berpesan dua hal: - Pertama :Jangan pernah menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadamu, - Kedua: Jika mereka pergi dari rumah ke toko jangan sampai mukanya terkena sinar matahari. 

Waktu berjalan terus. Dan kenyataan terjadi, bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu menjadi semakin miskin. Ibunya yang masih hidup menanyakan hal itu kepada mereka. Jawab anak yang bungsu: "Ini karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, akibatnya modalku susut karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih". "Juga Ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong, padahal sebetulnya saya bisa berjalan kaki saja, tetapi karena pesan ayah itu, akibatnya pengeluaranku bertambah banyak". 

Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, ibupun bertanya hal yang sama.Jawab anak sulung: "Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena Ayah berpesan supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya tidak pernah menghutangkan sehingga dengan demikian modal tidak susut". "Juga Ayah berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam. Karenanya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup." "Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris ,karena mempunyai jam kerja lebih lama". 

Kisah diatas menunjukkan bagaimana sebuah kalimat di tanggapi dengan presepsi yang berbeda. Jika kita melihat dengan positive attitude maka segala kesulitan sebenarnya adalah sebuah perjalanan membuat kita sukses tetapi kita bisa juga terhanyut dengan adanya kesulitan karena rutinitas kita .. pilihan ada di tangan anda. 'Berusahalah melakukan hal biasa dengan cara yang luar biasa'.

Minggu, 03 November 2013

Perempuan Yang Dicintai Suamiku

Kehidupan pernikahan kami awalnya baik2 saja menurutku. Meskipun
menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario
tampak baik dan lebih menuruti apa mauku.


Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan
pergi ke kantornya bekerja sampai subuh, baru pulang kerumah, mandi,
kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannya
pun sedikit. Aku pikir dia workaholic.


Dia menciumku maksimal 2x sehari, pagi menjelang kerja, dan saat dia
pulang kerja, itupun kalau aku masih bangun. Karena waktu pacaran dia
tidak pernah romantis, aku pikir, memang dia tidak romantis, dan tidak
memerlukan hal2 seperti itu sebagai ungkapan sayang.


Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang pergi nonton berdua,
bahkan makan berdua diluar pun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di
meja makan berdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami, bukan
obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok
garpu.


Kalau hari libur, dia lebih sering hanya tiduran dikamar, atau main
dengan anak2 kami, dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat
pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.


Aku mengira rumah tangga kami baik2 saja selama 8 tahun pernikahan kami.
Sampai suatu ketika, di suatu hari yang terik, saat itu suamiku tergolek
sakit di rumah sakit, karena jarang makan, dan sering jajan di kantornya,
dibanding makan dirumah, dia kena typhoid, dan harus dirawat di RS,
karena sampai terjadi perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU,
seorang perempuan datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama
Meisha, temannya Mario saat dulu kuliah.


Meisha tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah
melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya
bersinar indah, penuh kehangatan dan penuh cinta, ketika dia berbicara,
seakan2 waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat2nya
yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki2 maupun perempuan bahkan
mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia
bercerita.


Meisha tidak pernah kenal dekat dengan Mario selama mereka kuliah dulu,
Meisha bercerita Mario sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang
akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu, karena ada pekerjaan kantor mereka
yang mempertemukan mereka. Meisha yang bekerja di advertising akhirnya
bertemu dengan Mario yang sedang membuat iklan untuk perusahaan
tempatnya bekerja.


Aku mulai mengingat2 5 bulan lalu ada perubahan yang cukup drastis pada
Mario, setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam
sehari bisa menciumku lebih dari 3x. Dia membelikan aku parfum baru, dan
mulai sering tertawa lepas. Tapi di saat lain, dia sering termenung
di depan komputernya. Atau termenung memegang Hp-nya. Kalau aku tanya,
dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.


Suatu saat Meisha pernah datang pada saat Mario sakit dan masih dirawat
di RS. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan wajah
kesal, karena Mario tidak juga mau aku suapi. Meisha masuk kamar, dan
menyapa dengan suara riangnya,


"Hai Rima, kenapa dengan anak sulungmu yang nomor satu ini ? Tidak mau
makan juga? Uhh... dasar anak nakal, sini piringnya," lalu dia terus
mengajak Mario bercerita sambil menyuapi Mario, tiba2 saja sepiring nasi
itu sudah habis ditangannya. Dan... aku tidak pernah melihat tatapan
penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak
pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun!


Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika dia membalikkan tubuhnya
membelakangi aku saat aku memeluknya dan berharap dia mencumbuku. Lebih
sakit dari rasa sakit setelah operasi caesar ketika aku melahirkan
anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia tidak mau memakan
masakan yang aku buat dengan susah payah. Lebih sakit daripada sakit
ketika dia tidak pulang ke rumah saat ulang tahun perkawinan kami
kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia lebih suka mencumbu
komputernya dibanding aku.


Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat perempuan itu. Meisha
begitu manis, dia bisa hadir tiba2, membawakan donat buat anak2, dan
membawakan eggrol kesukaanku. Dia mengajakku jalan2, kadang mengajakku
nonton. Kali lain, dia datang bersama suami dan ke-2 anaknya yang lucu2.


Aku tidak pernah bertanya, apakah suamiku mencintai perempuan berhati
bidadari itu? Karena tanpa bertanya pun aku sudah tahu, apa yang
bergejolak di hatinya.


Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta, aku tidak pernah
menyangka, hatiku pun akan mendung, bahkan gerimis kemudian.


Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya
keriting ikal dan cerdasnya sama seperti ayahnya. Dia berhasil membuka
password email Papanya, dan memanggilku, "Mama, mau lihat surat papa
buat tante Meisha?"


Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat elektronik itu,



"Dear Meisha,

Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung
hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada
Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan aku
mencintainya, karena dia ibu dari anak2ku.

Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh2
mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku
memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku
tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika
konflik2 terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa, tapi aku
tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku
cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa,
meskipun aku menikahinya.

Aku tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti
ketika cinta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon2 beringin yang
tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti
pepohonan di hutan2 belantara yang tidak pernah minta disirami, namun
tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.

Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik
orang lain dan aku adalah laki2 yang sangat memegang komitmen pernikahan
kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa, asal aku bisa
melihat Rima bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan segala yang dia
inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh
hartaku dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu.
Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa
engkau mengerti, you are the only one in my heart.

yours,


Mario"



Mataku terasa panas. Jelita, anak sulungku memelukku erat. Meskipun baru
berusia 7 tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan
menyayangiku.


Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah bahagia bersamaku.
Dia mencintai perempuan lain.


Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku menulis surat hampir setiap
hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan di amplop, dan aku letakkan di
lemari bajuku, tidak pernah aku berikan untuknya.


Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan
tabunganku yang kusimpan dari sisa2 uang belanja, lalu aku belikan motor
untuk mengantar dan menjemput anak2ku. Mario merasa heran, karena aku
tidak pernah lagi bermanja dan minta dibelikan bermacam2 merek tas dan
baju. Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku
karena aku malu terlalu lama pacaran, sedangkan teman2ku sudah menikah
semua. Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku menjadi
istrinya.


Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga seorang
perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya? Kenapa
dia tidak mengatakan saja, bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak
menginginkan aku? Itu lebih aku hargai daripada dia cuma diam dan
mengangguk dan melamarku lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku.


Mario terus menerus sakit2an, dan aku tetap merawatnya dengan setia.
Biarlah dia mencintai perempuan itu terus di dalam hatinya. Dengan pura2
tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu.
Kebahagiaan Mario adalah kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu
mencintainya.



**********



Setahun kemudian...


Meisha membuka amplop surat2 itu dengan air mata berlinang. Tanah
pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.



"Mario, suamiku....

Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja
di kantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona
padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku
tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu posesif ingin
memilikimu seutuhnya. Aku sering marah, ketika kamu asyik bekerja, dan
tidak memperdulikan aku. Aku merasa di atas angin, ketika kamu hanya diam
dan menuruti keinginanku... Aku pikir, aku si puteri cantik yang
diinginkan banyak pria, telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terlalu
mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku.....

Ternyata aku keliru.... aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan
kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor
dulu yang aku tahu sebenarnya menyukai Mario.

Aku melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, "kenapa Rima?
Kenapa kamu mesti cemburu? Dia sudah menikah, dan aku sudah memilihmu
menjadi istriku?"

Aku tidak perduli, dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya.

Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia
bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah
wanita yang sempurna yang engkau inginkan.

Istrimu,


Rima"



Di surat yang lain,



"......... Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi
sedingin es. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak
pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat
cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat
memandang Meisha...... "



Disurat yang kesekian,



"....... Aku bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku.

Aku telah berubah, Mario. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah2
padamu, aku tidak lagi suka membanting2 barang dan berteriak jika emosi.
Aku belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai. Aku
tidak lagi boros, dan selalu menabung. Aku tidak lagi suka bertengkar
dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang kerumah. Dan aku
selalu meneleponmu, untuk menanyakan sudahkah kekasih hatiku makan siang
ini? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak
mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur disamping tempat tidurmu,
dirumah sakit saat engkau dirawat, karena penyakit pencernaanmu yang
selalu bermasalah.......

Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap
berusaha dan menantinya........"



Meisha menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata
indahnya... dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu disampingnya.


Disurat terakhir, pagi ini...



".............. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang
ke-9. Tahun lalu engkau tidak pulang ke rumah, tapi tahun ini aku akan
memaksamu pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling
enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya dirumah Bude Tati, sampai
kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujannya deras sekali,
dan aku hanya mengendarai motor.

Saat aku tiba dirumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran
di matamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya
tidak sakit.

Tahukah engkau suamiku,

Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir
9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu
dari matamu, inikah tanda2 cinta mulai bersemi dihatimu? ........."



Jelita menatap Meisha dan bercerita,



"Siang itu Mama menjemputku dengan motornya, dari jauh aku melihat
keceriaan di wajah mama, dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku.
Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama seperti
siang itu, dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah2 kepadaku, tapi
aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya di seberang jalan,
Ketika mama menyeberang jalan, tiba2 mobil itu lewat dari tikungan
dengan kecepatan tinggi...... aku tidak sanggup melihatnya terlontar,
Tante..... aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak lagi
bergerak......" Jelita memeluk Meisha dan terisak-isak. Bocah cantik
ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat
dewasa.


Meisha mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Mario
mengirimkan email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rima
membacanya.



"Dear Meisha,

Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi
marah2 dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang
dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan
memeluknya. Tiba2 aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki
dia. Hatiku mulai bergetar.... Inikah tanda2 aku mulai mencintainya?

Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Meisha.
Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan
mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana.
Bukan karena dia ibu dari anak2ku, tapi karena dia belahan jiwaku...."



Meisha menatap Mario yang tampak semakin ringkih, yang masih terduduk
di samping nisan Rima. Di wajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah
terjadi, Mario. Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika
seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.



Yesterday is a history.
Tomorrow is a mystery.
Today is a gift.
That's why it's called "present".

Janji Ayah, Short Story written by me




Alkisah, di suatu kota, tepatnya di Bandung, hidup sebuah keluarga yang sangat bahagia. Keluarga itu adalah keluarga Santoso, yang terdiri dari Abu, sang kepala keluarga, Deasy, sang istri, dan Adrian, sang anak. Abu adalah seorang musisi yang sangat lihai memainkan gitar, sedangkan Deasy adalah seorang wanita sangat cantik yang kecantikannya pasti membuat iri wanita manapun. Sedangkan Adrian adalah anak laki-laki gagah yang sangat lihai bermain bola. Ia juga sangat menyukai musik. Bisa dibilang, keluarga Santoso adalah keluarga ideal yang sempurna.
“Ayah, tangkap!” seru Adrian yang sedang asyik bermain bola di halaman rumah. Ia menendang bolanya begitu kencang, nyaris menghantam kaca jendela rumah. Dengan sigap Abu menangkap bola itu. “Jika bolamu sampai memecahkan kaca jendela rumah kita, siapkan pelindung, Ibu mu pasti akan berubah menjadi monster api,” gumam Abu. Adrian tertawa terbahak-bahak.
“Hmmm kudengar ada yang membicarakanku?” ujar Deasy yang sekarang muncul di teras. “Ayah yang membicarakan Ibu, bukan aku,” ujar Adrian takut-takut. “Tidak, bukan aku yang membicarakan kau, tapi duplikatku yang membicarakan kau, istriku,” sahut Abu sambil tersenyum jahil. Deasy memutar-mutar bola matanya. “Kau ini memang paling bisa ngeles. Ayo masuk, makanan sudah siap,” ujar Deasy.
“Kau dengar itu, putraku? Ayo kita serbu masakan Ibu!” seru Abu sambil mengangkat Adrian tinggi-tinggi dan membawanya masuk ke dalam rumah. Kontan saja Adrian meronta-ronta. “Ayah, ayah, turunkan dong! Malu! Aku kan sudah 11 tahun, sudah besar!” seru Adrian disambut gelak tawa dari Abu dan Deasy. “Tapi bagi Ayah kau tetap his little boy,” gumam Deasy jahil, membuat sebuah bantal hampir mendarat di kepalanya. “Ih Ibu, berhenti menggodaku!” seru Adrian.
Keluarga bahagia itu pun kemudian duduk di meja makan. Abu memimpin doa sebelum makan. “Ya Tuhan Ku, terima kasih atas pemberian makanan yang begitu lezat ini melalui istriku yang cantik jelita, semoga makanan yang aku, istriku, dan anakku hari ini menjadi berkah,” ucap Abu memimpin doa, disambut dengan ucapan “AMIN” yang lantang dari Adrian dan Deasy secara bersamaan.
Dalam sekejap saja, rumah yang mungil itu dihiasi dengan gelak tawa dan candaan dari keluarga kecil tersebut. Deasy menceritakan lelucon-lelucon yang membuat Abu serta Adrian tidak henti-hentinya tertawa.
“Ayah,” kata Adrian tiba-tiba, memotong lelucon yang dilontarkan oleh Deasy, “Lusa aku tanding. Semi final. Penentuan untuk ke final. Ayah bisa menonton aku kan? Jangan Ibu terus yang menonton,” pinta Adrian dengan nada suara yang sangat memelas.
“Lusa tanggal 10 ya? Maka kau anak paling beruntung sedunia, Nak! Ayah off tanggal itu,” jawab Abu sambil mengedipkan matanya. Sinar kegembiraan langsung terpancar dari wajah Adrian. “World greatest dad! You are my hero! Nanti Ayah akan lihat betapa jagonya anakmu ini yah, melebihi skill Cristiano Ronaldo!” seru Adrian girang sambil memeluk Abu erat-erat.
“Sstt….Ayah tahu kau itu jago tapi tidak usah dipublikasikan seperti itu,” sahut Abu geli. “Ngomong-ngomong, ouch, ayah kecekik nih, pelukanmu terlalu erat,” sambung Abu lagi. Deasy tergelak melihat tingkah laku anak dan suaminya itu. Ia kemudian menoleh ke jam. “Sudah pukul 9, Adrian, sudah saatnya tidur!” perintah Deasy. Abu mengangguk menyetujui.
“Tapi aku mau dibacakan cerita dulu sama Ayah sebelum tidur,” pinta Adrian, kemudian memasang tampang memelas. Wajahnya menjadi begitu menggemaskan. Abu mencubit pipi putra semata wayangnya itu keras-keras. “Tadi kau Ayah gendong tak mau, sekarang malah minta dibacakan cerita,” godanya. “Aduuh…. Ayah…sakit tahu!” seru Adrian, kemudian memukul Abu dengan bantal sofa. “Itu pembalasan untuk pelukanmu yang erat tadi,” goda Abu lagi.
“Sudah, sudah, sudah malam ini, kalau tetangga dengar ada kegaduhan dari rumah kita, mereka mungkin menyangka kita sedang berusaha mengusir ular dari rumah,” kelakar Deasy lagi. Abu tergelak, kemudian mengepit Adrian di ketiaknya, dan membawa Adrian masuk ke dalam kamarnya.
“Jadi……Ayah akan membacakan cerita tentang King Arthur,” kata Abu sambil menurunkan Adrian ke tempat tidurnya. Abu kemudian mengambil buku cerita yang sudah using di rak.  “Siapakah King Arthur itu, Ayah?” tanya Adrian bersemangat. “Ia adalah seorang raja asal Inggris, raja yang sangat bijaksana,” jawab Abu. Kemudian Abu mulai membacakan cerita tentang King Arthur. Tak terasa, setengah jam pun berlalu.
“Akhirnya….. pedang itu berhasil dicabut oleh Arthur. Seluruh penduduk mengelu-elukannya, dan mereka menobatkannya sebagai raja. Mulai saat itu, ia dipanggil ‘King Arthur’,” kata Abu menutup ceritanya. “Dan sekarang, waktunya kau tidur, phyton cilik,” sambung Abu lagi sambil mengetukkan buku tersebut dengan pelan ke kepala Adrian. Perlahan-lahan Abu berdiri, kemudian mematikan lampu kamar Adrian.
Abu perlahan-perlahan keluar dan hendak menutup pintu kamar saat Adrian memanggilnya dengan pelan. “Ayah?” panggil Adrian. Abu menoleh. “Ya Nak?” tanya Abu dengan suara yang rendah. “Aku menyayangimu, Ayah. Sangat menyayangimu,” sahut Adrian malu-malu. Abu mendengus tertawa. “I love you too, son,” jawabnya geli. “Nah sekarang tidur dan jangan berkata apa-apa lagi.” Abu kemudian menutup pintu kamar Adrian dengan pelan.
2 hari kemudian…….
Abu, Deasy, dan Adrian tengah bersiap-siap berangkat ke pertandingan Adrian ketika ponsel Abu tiba-tiba saja berbunyi. “Tunggu disini, aku mau menerima telepon dulu,” kata Abu sambil menyelipkan seragam tim Adrian ke dalam bagasi mobil.
“Ya, Noel ada apa?” kata Abu saat kembali masuk ke dalam rumah.
“Abu, kau sedang ada dimana? Bisa kah kau ke Jakarta sekarang? Seorang produser melihat video penampilan kita di Hard Rock Café dan ia sangat tertarik. Ia minta demo rekaman kita dan ingin bertemu dengan semua personil band kita,” sahut Noel, teman Abu di seberang.
Abu merasa bagai disambar petir. “Noel, kenapa kau mengabari begitu mendadak begini? Aku sudah janji kepada anakku untuk menonton pertandingannya,” ujar Abu gusar.
“Ini kesempatan sekali seumur hidup, Abu. Si produser tidak bisa bertemu kita lain hari. Kalau kau tidak mau ikut menemuinya itu terserah, tapi berarti kau bukan anggota band kita lagi,” ancam Noel. “Beri saja Adrian pengertian, dia pasti maklum,” sambung Noel. Abu menutup teleponnya dengan kasar. “Sial!” gumamnya kesal.
Dengan langkah gontai Abu melangkah keluar rumah dan menghampiri Deasy serta Adrian yang sedang bersandar pada mobil. “Lama sekali sih? Adrian bisa telat ke pertandingannya,” ujar Deasy. Abu menghela nafas dalam-dalam.  “Kenapa, ada apa Ayah?” tanya Adrian. Abu kembali menghela nafas, kemudian ia berjongkok agar tingginya sama dengan Adrian sekarang. “Nak, tadi om Noel menelepon,” ujar Abu sambil meletakkan tangannya di pundak Adrian. “Lalu?” tanya Adrian lagi.
“Seorang produser tertarik terhadap band Ayah. Dia ingin bertemu dengan semua personil band Ayah. Dia tidak bisa menemui kami lain hari, hanya hari ini,” kata Abu lagi sambil menatap Adrian dengan serius. “Jadi artinya?” tanya Adrian kaku. “Artinya, maaf sekali Nak, Ayah tidak bisa menonton pertandinganmu hari ini,” kata Abu pelan. “Maafkan Ayah, Nak, tapi ini demi masa depan keluarga kita yang lebih baik,” bujuk Abu mencoba memberi pengertian.
Tanpa disangka, Adrian kemudian membanting pluit yang diberikan Abu sebagai kado ulang tahunnya yang ke 10 ke kaki Abu. Ia kemudian membalikkan badan, dan hanya berkata, “Ibu, ayo. Kita naik bis saja ke tempat pertandingan,” Deasy melempar pandang mencela dan pasrah kepada Abu, lalu mengikuti putranya. Abu hanya bisa diam melihat kekecewaan sang istri dan sang anak.
Dengan langkah gontai Abu masuk ke dalam mobil dan mulai menyetir. Ia merasa bersalah sekali kepada Adrian. Sepanjang perjalanan ia hanya memikirkan bagaimana caranya untuk menebus rasa bersalahnya kepada Adrian.
Akhirnya Abu sampai di Jakarta. Noel menyambutnya dengan antusias. “Ah, Abu, akhirnya kau datang juga. Pak Samuel sudah menunggu,” kata Noel girang. Abu hanya mengangguk dengan kaku. Mereka kemudian masuk ke dalam.
“Perkenalkan, Pak Samuel, ini gitaris kami,” kata Noel memperkenalkan Abu kepada Pak Samuel. Mereka pun berjabat tangan.  “Ah ya, ini pasti Abu,” kata Pak Samuel ramah. “Saya sudah menonton video permainan anda saat bermain gitar. Sungguh skill yang luar biasa,” ujarnya. “Banyak terima kasih,” kata Abu, merasa sedikit tersanjung. “Saya juga sudah mendengarkan demo rekaman kalian. Sungguh musik yang luar biasa unik. Perpaduan slow rock dan keroncong, eh? Saya betul-betul ingin mengontrak kalian. Bisakah kalian minggu depan datang kembali ke sini, untuk negosiasi kontrak? Bawa demo rekaman kalian yang lain juga ya,” kata Pak Samuel.
Gumam bergairah terdengar dari semua anggota band Abu. Mereka kemudian berjabat tengan dengan Pak Samuel. “Adrian pasti tidak akan marah lagi setelah kau beri tahu kabar bagus ini,” kata Noel sambil menepuk-nepuk pundak Abu. Abu hanya tersenyum kecut. Ia kemudian masuk ke mobilnya dan menyetir menuju Bandung kembali.
            Hari sudah sangat larut saat Abu kembali tiba di Bandung. Ia menyangka Adrian sudah tidur, tapi ternyata tidak. Tampak Adrian menonton tv dengan wajah sangat kusam. “Nak?” panggil Abu pelan. Adrian menoleh perlahan. “Bagaimana pertandingannya? Pasti jagoan Ayah cetak gol kan?” kata Abu berusaha menggoda Adrian. Adrian tidak menjawab sama sekali. Ia mendadak bangkit, kemudian berkata, “aku benci kau! Pengingkar janji nomor satu di dunia!” serunya, kemudian berlari masuk ke dalam kamarnya. Abu hanya bisa menghela nafas dalam-dalam.
            “Pertandingannya gagal total. Adrian sangat kecewa kau tidak menontonnya. Ia menjadi bermain sangat buruk. Bahkan ia diejek teman-temannya karena ia satu-satunya anggota tim yang tidak ditonton oleh ayahnya,” Deasy menyahut dari balik koran. Abu semakin dihantui rasa bersalah yang amat mendalam.
            “Begitukah? Dengar, aku juga sangat ingin menontonnya. Tapi pertemuan tadi sangat berharga! Kau tahu? Akhirnya band aku akan dikontrak studio rekaman,” kata Abu. Ia mengira Deasy akan kegirangan dan meloncat-loncat gembira, tapi nyatanya tidak. Deasy hanya mengangkat bahunya. “Adrian hanya ingin kau melihatnya bermain bola, tidak lebih,” ujarnya.
            Abu merebahkan dirinya ke sofa. “Jadi apa yang mesti kulakukan untuk menebus kesalahanku padanya?” tanya Abu sambil memejamkan matanya dalam-dalam. “Beberapa hari lagi kan ia ulang tahun. Beri ia kado ulang tahun. Ia sudah lama ingin action figure The Dark Knight Rises, kalau kau belum lupa,” jawab Deasy.
Action Figure The Dark Knight? Bukannya dia sudah punya?” tanya Abu heran. “Ya, tapi yang dia punya kan Batman. Dia ingin action figure Joker,” sahut Deasy. Tiba-tiba Abu teringat sesuatu. Ia kemudian menepuk dahinya kencang-kencang. “Oh,” gumam Abu. “Aku baru ingat. Tahun lalu memang dia minta aku untuk membelikan action figure Joker itu untuk ulang tahunnya yang ke 12,” ujarnya. Deasy tersenyum kecil. “Kalau begitu, tepati janjimu. Jangan kau ingkari lagi,” sahut Deasy. Abu mengangguk mantap. “Semoga ia memaafkanku jika aku membelikannya action figure itu,” gumamnya.
“Ngomong-ngomong, minggu depan aku harus menemui kembali Pak Samuel, produser yang mau mengontrak bandku untuk nego kontrak,” kata Abu lagi. Deasy hanya mengangguk. “Ya semoga sukses, aku hanya bisa mendoakanmu dari sini,” jawabnya.
Beberapa hari telah berlalu, tapi Adrian masih saja marah kepada Abu. Abu merasa sangat sedih atas sikap anaknya itu. Mereka yang tadinya begitu akrab, kini berjauhan hanya karena Abu ingkar janji sekali. Bujukan Deasy pun tidak mempan untuk Adrian, yang dasarnya memang sangat keras kepala.
Akhirnya, hari dimana Abu harus menemui Pak Samuel untuk negosiasi kontrak pun datang. Dengan tergesa-gesa Abu berpakaian, memakai setelan jas terbaiknya. Adrian yang sedang bermain Nintendo DS, sama sekali tidak menghiraukan Abu, bahkan bertanya dan menyapanya pun tidak.
“Barang-barang yang diperlukan sudah kukemas di dalam tasmu,” kata Deasy. “Semoga beruntung sayang, semoga lancar semuanya.” sambungnya lagi. Deasy kemudian merendahkan suaranya dengan sangat pelan, membuat Abu harus sedikit menunduk untuk mendengar apa yang dikatakannya. “Dan jangan lupa, action figure Joker,” bisik Deasy. “Pasti,” jawab Abu mantap. Setengah berlari ia mencoba menghampiri Adrian.
“Jagoan, Ayah berangkat dulu ya,” kata Abu sambil mencoba mengecup rambut Adrian. Tapi bukannya menjawab, Adrian malah mendorong Abu menjauh dan hampir membuat Abu terjungkal. Spontan saja Deasy langsung menegur Adrian. “Adrian, apa-apaan sih kau ini! Lihat ayahmu hampir saja terjatuh!” seru Deasy gusar. Adrian hanya mendelik dan kembali memainkan Nintendo DS nya.
“Tidak apa-apa kok,” gumam Abu, memaksakan diri untuk tersenyum, meski hatinya merasa sangat sedih. “Sudah ya, aku berangkat dulu,” sambung Abu lagi, kemudian melangkah keluar rumah dan menuju mobilnya dengan sangat gontai.
Saat menyetir, Abu tidak dapat berkonsentrasi sama sekali. Ia terus memikirkan Adrian. Hatinya benar-benar gundah karena sudah seminggu Adrian tidak mau berbicara kepadanya dan terus menerus bersikap kasar. Ia menjadi tidak sabar untuk segera membeli action figure Joker dan memberikannya kepada Adrian.
Tik…tik….tik…. hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Petir pun menggelegar-gelegar. “Duh!” gerutu Abu, merasa jengkel karena tidak bisa memacu mobilnya dengan kencang akibat hujan deras. Hujan makin lama makin deras, membuat kaca depan jendela mobil Abu menjadi sangat berembun. Abu menjadi kesulitan untuk melihat.
Hujan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Malah semakin deras dengan petir yang maha dahsyat. Kaca jendela mobil Abu sudah berubah menjadi putih sekarang. Dengan panik ia memencet-mencet tombol pengaktif wiper mobilnya. Wipernya macet dan tidak berfungsi. Abu tidak dapat melihat apapun sekarang, ia hanya bisa mendengar suara klakson dari mobil lain.
Dengan panik Abu membanting setir ke kanan. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Karena tidak dapat melihat apapun, mobil Abu pun menabrak trotoar, dan terguling, diiringi jeritan para pengendara dan pejalan kaki yang menyaksikannya.
Tepat pada saat itu, Deasy yang tengah mencuci piring tidak sengaja menjatuhkan piringnya sehingga menimbulkan suara PRANG yang memekakkan telinga. Adrian kemudian tergopoh-gopoh keluar dari ruang keluarga.
“Ibu, ada apa?” tanya Adrian. “Tidak apa-apa Nak, Ibu tidak sengaja memecahkan piring,” jawab Deasy. “Bermainlah kembali.” Adrian menggeleng-gelengkan kepalanya. “Makanya kalau cuci piring jangan sambil melamun,” godanya, kemudian melangkah kembali ke ruang keluarga. Deasy tidak menanggapi. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak. Wajar saja, karena sebelumnya Deasy tidak pernah menjatuhkan piring saat sedang mencuci. Ya Tuhan, batinnya. Apakah terjadi sesuatu kepada suamiku? Lindungilah ia selalu, Tuhan, batin Deasy.
Sementara itu, di lokasi kecelakaan Abu……..
Polisi beserta ambulans telah datang. Orang-orang merubung untuk menyaksikan. Mereka meringis melihat mobil Abu yang sudah ringsek dan penyok. Polisi berkali-kali harus berteriak dan memerintah massa untuk mundur agar proses evakuasi lancar. “Mundur, saudara-saudara, tolong mundur agar tidak memperlambat proses evakuasi,” seru salah satu polisi hampir habis sabar.
Seorang polisi berbadan tegap kemudian berusaha mengecek mobil. Ia menyisiri dari depan hingga belakang dengan cemas dan hati-hati. “Sudah ketemu penumpang mobil itu?” tanya sang pimpinan dari sebrang. Si polisi menggeleng putus asa. “Tidak ada. Kosong,” ujarnya.
“Kalau begitu telusuri sekitarnya. Mungkin ada yang terlempar,” perintah sang kepala polisi. Polisi berbadan tegap mengangguk mantap. “Siap, Komandan!” serunya. Kemudian dengan langkah perlahan dan sangat hati-hati, sang polisi menyusuri jalan di sekitar bangkai mobil Abu. Ia memicingkan matanya dan menoleh ke setiap sudut.
Tak berapa lama, tercium bau amis yang ia yakini adalah darah. Ia terus melangkah dengan pelan. Benar saja. Baru beberapa langkah, sang polisi menemukan tubuh Abu tertelungkup di sekitar rerumputan. Kemejanya telah robek, dilumuri darah disana – sini, wajahnya pun dipenuhi dengan luka gores.
Dengan hati-hati sang polisi membalikkan tubuh Abu dan memeriksa denyut nadinya. Abu sudah meninggal. “Komandan!” serunya. “Aku menemukannya! Penumpang mobil itu!” serunya lagi. Sang atasan kemudian berlari menghampirinya. “Ada tanda pengenal? Siapa tahu pria ini memiliki keluarga,” ucap sang komandan. Mereka kemudian menyusuri sekitar Abu kembali dengan hati-hati sampai akhirnya menemukan dompet Abu. Para polisi itu kemudian menelepon nomor yang tertera di dompet Abu.
Di rumah keluarga Santoso…….
Kriiing…….kriiiing……..kriiing…….telepon rumah berdering. “Adrian, tolong angkat teleponnya,” seru Deasy yang sedang menjemur pakaian di halaman rumah. Adrian yang tengah asyik bermain Nintendo DS, menggerutu panjang pendek dan bangkit dari kursinya. Dengan ogah ia mengangkat telepon itu. “Kediaman keluarga Santoso disini, Adrian berbicara,” kata Adrian kaku. “Ah jadi benar ya ini nomor rumah keluarga Santoso. Maaf Nak, kalau boleh tahu, apakah anda mengenal Abu Marlo Santoso?” tanya suara dalam itu.
“Tentu saja. Dia ayah saya,” jawab Adrian kaku. “Kalau boleh tahu anda siapa ya?” tanya Adrian lagu. “Nak, kami dari kepolisian dengan sangat menyesal harus memberimu kabar ini. Ayahmu mengalami kecelakaan dan sudah meninggal. Sekarang jenazahnya ada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Kami turut berduka cita.”
Perlu beberapa detik bagi Adrian untuk mencerna kata-kata tersebut. “A—a—a—pa Bapak bilang?” tanyanya lagi gugup. “Ayahmu kecelakaan Nak. Kami sangat menyesal. Bisa kami bicara dengan Ibu mu?” tanya polisi itu lagi. Masih shock, Adrian menaruh gagang telepon dan memanggil Deasy. Mendadak saja wajahnya basah dipenuhi air mata.
“Adrian, kau kenapa Nak? Telepon dari siapa?” tanya Deasy bingung. Adrian tidak menjawab, ia hanya menyeret Deasy dan menyuruhnya untuk mengangkat gagang telepon itu. “Disini Deasy Santoso berbicara, ada apa?” tanya Deasy. “Apakah Anda adalah istri dari Bapak Abu Marlo Santoso?” tanya si polisi lagi. “Betul, ada apa?” tanya Deasy, perasaannya diliputi kecemasan. “Kami dari kepolisian. Dengan sangat menyesal kami harus mengabarkan bahwa suami anda mengalami kecelakaan dan telah meninggal dunia. Sekarang jenazahnya ada di RS Cipto Mangunkusumo,” sahut si polisi lagi.
Deasy merasa seperti tersambar petir. Ia tidak sanggup berbicara. Lututnya langsung lemas seketika. Jadi inilah jawaban atas perasaan tidak enaknya tadi. “B-b-b-a-i-k kalau begitu, terima kasih sudah mengabari,” ujarnya pelan, kemudian menutup teleponnya. Deasy menoleh kepada Adrian, dan, tiba-tiba saja mereka sudah berpelukan dan saling bertangis-tangisan.


3 hari kemudian….
Pemakaman Abu dilaksanakan. Bila Deasy tak henti-hentinya menangis, maka kebalikannya dengan Adrian. Ia tidak menangis, tidak menjerit, maupun berkata apapun. Ia hanya duduk, merengut, dan memandang ke arah lantai. Tak ada seorang pun yang tahu betapa terlukanya hati Adrian dan betapa ia sangat merasa bersalah. Ia sangat menyesal telah bersikap kasar terhadap Abu belakangan ini.
Saat para pelayat pulang, rumah terasa sepi sekali. Adrian masih tidak beranjak dari tempat ia duduk. Ia masih saja diam dan merengut. Deasy kemudian duduk di sebelah Adrian. “Aku memiliki banyak kesalahan kepada Ayah. Aku belum sempat minta maaf.” ucap Adrian lirih, pertama kalinya ia berbicara semenjak pemakaman.
“Ayah sudah memaafkanmu dari dulu. Sebelum ia berangkat, kau tahu ia mengatakan apa?” tanya Deasy sambil memandang wajah putranya itu dalam-dalam. Adrian menggeleng. “Dia mau membelikanmu action figure Joker yang telah lama kau impi-impikan itu. Dia bilang, dia sudah janji kepadamu,” kata Deasy.
Adrian mendongakkan kepalanya. “Benarkah dia berkata seperti itu? Dia memang janji mau membelikannya untukku tahun lalu. Tahun lalu aku memang minta kepadanya untuk membelikan action figure Joker sebagai hadiah ulang tahunku yang ke 12,” ujar Adrian pelan. “Kalau begitu, Ibu, aku yakin dia akan menepati janjinya.”
Deasy tersenyum simpul. “Adrian, ayahmu sudah tiada, jangan berpikiran konyol,” kata Deasy sambil membelai rambut Adrian. Deasy kemudian bangkit dari kursi dan menyiapkan makan malam. Adrian sendiri tidak bisa menjelaskan kenapa di dalam hatinya ia merasa bahwa Abu akan kembali untuk menepati janjinya.
Waktu semakin berlalu, tidak terasa telah 4 bulan semenjak kepergian Abu. Deasy sudah bisa mengikhlaskan kepergian suaminya, bahkan ia telah belajar untuk melupakan Abu. Tapi tidak untuk Adrian. Hari ulang tahunnya yang ke 13 hanya tinggal sebulan lagi, dan keyakinan bahwa Abu akan kembali untuk menepati janjinya memberikan hadiah action figure Joker kepadanya semakin kuat. Ia berulang kali mengatakan hal ini kepada Deasy, membuat Deasy yang tadinya kasihan menjadi kesal.
“Adrian, lupakan Ayah!” seru Deasy sambil membanting garpu saat Adrian untuk kesekian kalinya mengatakan bahwa Abu akan kembali, membuat Adrian terlonjak. “Kau harus menerimanya! Ayah sudah bersama Tuhan dan tidak akan pernah kembali lagi!” seru Deasy dengan nada suara yang cukup tinggi. Adrian menatap ibu nya dengan mata berkaca-kaca. Selama beberapa menit, terjadi kesunyian yang canggung di antara mereka berdua.
“Maafkan Ibu, Nak, Ibu kasar, Ibu juga sangat merindukannya. Tapi kita harus ikhlas dengan kepergian Ayah,” bisik Deasy. Adrian hanya diam. Kemudian ia tiba-tiba bersuara memecah keheningan. “2 minggu lagi kan Ayah ulang tahun Bu. Aku ingin kita merayakannya, boleh kan Bu?” pinta Adrian dengan suara memelas.
“Baiklah, boleh saja,” jawab Deasy. “Dengan syarat, kau membantu Ibu membersihkan barang-barang Ayah sekarang,” sambungnya lagi. “Tentu, Bu, baiklah,” kata Adrian. Mereka berdua kemudian masuk ke dalam ruangan dimana Abu biasa berlatih dengan teman-teman band nya. Ruangan itu tampak berantakan, dengan pick guitar dan alat musik dimana-mana.
Adrian dan Deasy mulai membersihkan ruangan itu. Perlu memakan waktu cukup lama karena ruangan itu telah dipenuhi debu dimana-mana. Saat menyapu ruangan, Adrian menemukan sebuah buku tebal yang berjudul “Cara Jitu Menjadi Gitaris Jagoan”. Dengan iseng Adrian membuka buku tersebut. Alangkah terkejutnya ia saat melihat foto ia dan Deasy diselipkan di bagian paling depan buku tersebut.
“Ibu, lihat ini,” kata Adrian dengan penuh semangat dan menunjukkan buku itu kepada Deasy. “Ayah menyelipkan foto kita di halaman paling depan buku ini. Ia selalu melihat kita Bu!” Deasy ikut memandangi foto itu. Kemudian ia tersenyum kecil. “Dia memang pria paling sempurna di dunia,” gumamnya.
Malam hari pun tiba. Karena kelelahan setelah membersihkan ruang latihan Abu, Adrian tertidur pulas dengan cepat. Ia kemudian bermimpi. Tiba-tiba saja ia sedang berada di taman. Ia sedang duduk dengan santainya. Ketika matanya menyusuri sekitar taman, tampak seorang pria berbadan jangkung sedang berjalan membelakanginya dari kejauhan.
“Ayah!” panggil Adrian. Pria itu tidak menoleh sama sekali. “Ayah!” seru Adrian lagi, tidak menyerah. Pria itu terus berjalan. Dengan tergesa-gesa Adrian melompat bangkit dari bangku taman dan mengejar pria itu. “AYAH!” teriak Adrian sekencang-kencangnya. Pria itu perlahan-lahan menoleh. Benar, pria tersebut ternyata adalah Abu.
Dengan mendadak Adrian melompat ke pelukan Abu. Abu mencium rambut putranya itu keras-keras. “Ayah, maafkan aku, sudah bersikap kasar kepadamu,” bisik Adrian lirih. Abu tidak menjawab apa-apa. Ia kemudian menurunkan Adrian. Kemudian berbalik, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. “Ayah!” seru Adrian. “Tunggu!” Tapi Abu keburu menghilang. Adrian perlahan-lahan membuka matanya. Mimpi yang sangat indah, dapat memeluk ayahnya kembali. Mimpi tadi semakin menguatkan keyakinan Adrian bahwa Abu akan kembali untuk menepati janjinya.
2 minggu kemudian……..
Hari itu adalah tanggal 24 Maret. Hari dimana Abu berulang tahun. Sesuai dengan permintaan Adrian sebelumnya, Deasy menyiapkan kue untuk merayakan ulang tahun Abu. Dengan penuh semangat Adrian menaburkan krim bertuliskan “SELAMAT ULANG TAHUN AYAH” di atas kue dan menaruh lilin di atasnya.
“Ibu, nyalakan koreknya!” seru Adrian antusias. Dengan pasrah Deasy menyalakan korek dan menyalakan lilin yang ada di atas kue. Kemudian, dengan penuh semangat Adrian membawa kue tersebut ke jendela. “Selamat ulang tahun Ayah! Aku sangat menyayangimu!” seru Adrian sambil menengadah menatap langit. Perasaan Deasy campur aduk antara geli dan tersentuh melihat tingkah laku anaknya itu.
Tanpa disangka-sangka, angin bertiup dan memadamkan lilin yang ada di atas kue ulang tahun itu. Deasy ternganga tak percaya. “Itu tidak mungkin,” bisiknya. “Ibu, Ayah meniup lilinnya, ayah meniupnya!” seru Adrian lantang. Belum habis akan keterkejutan Deasy, terdengar derap suara langkah kaki. Deasy dan Adrian sangat mengenali suara derap langkah kaki itu. Dengan ngeri mereka membalikkan badan.
Tampak Abu berdiri tegap, gagah seperti biasanya. Ia memakai setelan jas berwarna putih-putih, dan sepatu bot berwarna putih. Di tangannya ia memegang sebuah action figure Joker dengan tinggi 15 cm yang dibungkus oleh sebuah plastik.
“AYAH!” seru Adrian, ia kemudian berlari dan menghambur ke pelukan Abu. “Aku tahu Ayah akan kembali! Aku tahu Ayah pasti akan menepati janji Ayah!” seru Adrian. Abu tersenyum. “Aku tidak akan mengingkari janjiku untuk yang kedua kali,” bisik Abu. Deasy yang hanya menonton dari tadi, akhirnya ikut menghambur ke pelukan Abu. Tangis Adrian dan Deasy pun pecah. “Jangan tinggalkan kami lagi, ku mohon,” bisik Deasy dengan suara sengau.
Abu kemudian menaruh action figure Joker itu ke dalam tangan Adrian. “Aku tidak bisa lama-lama,” gumamnya. Abu melepaskan diri dari pelukan Deasy dan Adrian, kemudian berjalan menuju pintu, melangkah keluar, kemudian dalam sekejap sudah menghilang. “Lihat Bu! Sudah ku bilang, Ayah pasti kembali! Ayah pasti menepati janjinya!” seru Adrian sambil mengangkat action figure Jokernya tinggi-tinggi. Deasy mengangguk, hatinya dipenuhi perasaan haru.
Adrian membuka plastik yang membungkus action figure Joker itu. Di belakangnya terdapat tulisan “Jagoan Ayah, ini kado untukmu. Jangan pernah lupakan Ayah ya?” Entah mengapa Adrian langsung tersenyum melihat tulisan itu. Ia baru sadar, bahwa sang Ayah akan selalu hidup di dalam jiwa dan raganya.

--TAMAT--

Catatan Harian Seorang Pramugari

Saya adalah seorang pramugari biasa dari China Airline. Karena bergabung dengan perusahaan penerbangan hanya beberapa tahun dan tidak mempunyai pengalaman yang mengesankan, setiap hari hanya melayani penumpang dan melakukan pekerjaan yang monoton. Pada tanggal 7 Juni yang lalu saya menjumpai suatu pengalaman yang membuat perubahan pandangan saya terhadap pekerjaan maupun hidup saya. Hari ini jadwal perjalanan kami adalah dari Shanghai menuju Peking, penumpang sangat penuh pada hari ini. Di antara penumpang saya melihat seorang kakek dari desa, merangkul sebuah karung tua dan terlihat jelas sekali gaya desanya. Pada saat itu saya yang berdiri di pintu pesawat menyambut penumpang, kesan pertama dari pikiran saya ialah zaman sekarang sungguh sudah maju seorang dari desa sudah mempunyai uang untuk naik pesawat.


Ketika pesawat sudah terbang, kami mulai menyajikan minuman. Ketika melewati baris ke 20, saya melihat kembali kakek tua tersebut. Dia duduk dengan tegak dan kaku ditempat duduknya dengan memangku karung tua bagaikan patung. Kami menanyakannya mau minum apa, dengan terkejut dia melambaikan tangan menolak. Kami hendak membantunya meletakan karung tua di atas bagasi tempat duduk juga ditolak olehnya, lalu kami membiarkannya duduk dengan tenang. Menjelang pembagian makanan kami melihat dia duduk dengan tegang di tempat duduknya, kami menawarkan makanan juga ditolak olehnya. Akhirnya kepala pramugari dengan akrab bertanya kepadanya apakah dia sakit, dengan suara kecil dia mejawab bahwa dia hendak ke toilet tetapi dia takut apakah di pesawat boleh bergerak sembarangan, takut merusak barang di dalam pesawat. Kami menjelaskan kepadanya bahwa dia boleh bergerak sesuka hatinya dan menyuruh seorang pramugara mengantar dia ke toilet.


Pada saat menyajikan minuman yang kedua kali, kami melihat dia melirik ke penumpang di sebelahnya dan menelan ludah. Dengan tidak menanyakannya kami meletakan segelas minuman teh di meja dia, ternyata gerakan kami mengejutkannya. Dengan terkejut dia mengatakan tidak usah, tidak usah, kami mengatakan engkau sudah haus minumlah. Pada saat itu dengan spontan dari sakunya dikeluarkan segenggam uang logam yang disodorkan kepada kami, kami menjelaskan padanya minumannya gratis, dia tidak percaya. Katanya saat dia dalam perjalanan menuju bandara, dia merasa haus dan meminta air kepada penjual makanan di pinggir jalan, dia tidak diladeni malah diusir. Pada saat itu kami mengetahui demi menghemat biaya perjalanan dari desa dia berjalan kaki sampai mendekati bandara baru naik mobil. Karena uang yang dibawa sangat sedikit, hanya dapat meminta minunam kepada penjual makanan di pinggir jalan. Itupun kebanyakan ditolak dan dianggap sebagai pengemis. Setelah kami membujuk dia akhirnya dia percaya dan duduk dengan tenang meminum secangkir teh, kami menawarkan makanan tetapi ditolak olehnya.


Dia menceritakan bahwa dia mempunyai dua orang putra yang sangat baik, putra sulung sudah bekerja di kota dan yang bungsu sedang kuliah tingkat tiga di Peking. Anak sulung yang bekerja di kota menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersama di kota tetapi kedua orang tua tersebut tidak biasa tinggal di kota akhirnya pindah kembali ke desa. Saat ini orang tua tersebut hendak menjenguk putra bungsunya di Peking. Anak sulungnya tidak tega orang tua tersebut naik mobil begitu jauh, sehingga membeli tiket pesawat dan menawarkan menemani bapaknya bersama-sama ke Peking. Tetapi ditolak olehnya karena dianggap terlalu boros dan tiket pesawat sangat mahal, dia bersikeras dapat pergi sendiri akhirnya dengan terpaksa disetujui anaknya. Dengan merangkul sekarung penuh ubi kering yang disukai anak bungsunya, ketika melewati pemeriksaan keamanan di bandara, dia disuruh menitipkan karung tersebut di tempat bagasi tetapi dia bersikeras membawa sendiri. Katanya jika ditaruh di tempat bagasi ubi tersebut akan hancur dan anaknya tidak suka makan ubi yang sudah hancur. Akhirnya kami membujuknya meletakan karung tersebut di atas bagasi tempat duduk, akhirnya dia bersedia dengan hati-hati dia meletakan karung tersebut.


Saat dalam penerbangan kami terus menambah minuman untuknya, dia selalu membalas dengan ucapan terima kasih yang tulus. Tetapi dia tetap tidak mau makan, meskipun kami mengetahui sesungguhnya dia sudah sangat lapar. Saat pesawat hendak mendarat dengan suara kecil dia menanyakan kepada saya apakah ada kantong kecil dan meminta saya meletakan makanannya di kantong tersebut. Dia mengatakan bahwa dia belum pernah melihat makanan yang begitu enak, dia ingin membawa makanan tersebut untuk anaknya, kami semua sangat kaget. Menurut kami yang setiap hari melihat makanan yang begitu biasa, di mata seorang desa menjadi begitu berharga. Dengan menahan lapar disisihkan makanan tersebut demi anaknya, dengan terharu kami mengumpulkan makanan yang masih tersisa yang belum kami bagikan kepada penumpang, ditaruh di dalam sebuah kantong yang akan kami berikan kepada kakek tersebut. Tetapi diluar dugaan dia menolak pemberian kami, dia hanya menghendaki bagian dia yang belum dimakan dan tidak menghendaki yang bukan miliknya sendiri. Perbuatan yang tulus tersebut benar-benar membuat saya terharu dan menjadi pelajaran berharga bagi saya.


Sebenarnya kami menganggap semua hal tersebut sudah berlalu, tetapi siapa menduga pada saat semua penumpang sudah turun dari pesawat, dia yang terakhir berada di pesawat. Kami membantunya keluar dari pintu pesawat, sebelum keluar dia melakukan suatu hal yang sangat tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya, yaitu dia berlutut dan menyembah kami. Mengucapkan terima kasih dengan bertubi-tubi, dia mengatakan bahwa kami semua adalah orang yang paling baik yang dia jumpai. Kami di desa hanya makan sehari sekali dan tidak pernah meminum air yang begitu manis dan makanan yang begitu enak. Hari ini kalian tidak memandang hina terhadap saya dan meladeni saya dengan sangat baik, saya tidak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih kepada kalian. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, dengan menyembah dan menangis dia mengucapkan perkataannya. Kami semua dengan terharu memapahnya dan menyuruh seorang anggota yang bekerja di lapangan membantunya keluar dari lapangan terbang.

Selama 5 tahun bekerja sebagai pramugari, beragam-ragam penumpang sudah saya jumpai, yang banyak tingkah, yang cerewet dan lain-lain. Tetapi belum pernah menjumpai orang yang menyembah kami. Kami hanya menjalankan tugas kami dengan rutin dan tidak ada keistimewaan yang kami berikan, hanya menyajikan minuman dan makanan. Tetapi kakek tua yang berumur 70 tahun tersebut sampai menyembah kami mengucapkan terima kasih. Sambil merangkul karung tua yang berisi ubi kering dan menahan lapar menyisihkan makanannya untuk anak tercinta, dan tidak bersedia menerima makanan yang bukan bagiannya. Perbuatan tersebut membuat saya sangat terharu dan menjadi pengalaman yang sangat berharga buat saya di masa datang. Yaitu jangan memandang orang dari penampilan luar tetapi harus tetap menghargai setiap orang dan mensyukuri apa yang kita dapat.