Kamis, 11 Juni 2009

Not Every Gift Is A Blessing, short story written by me

NOT EVERY GIFT IS A BLESSING
Part 1

Tidak semua bakat dan suatu kelebihan merupakan berkah. Tidak semua orang dapat menikmati kelebihan yang mereka miliki… Seperti yang terjadi pada Manuel. Kelebihannya justru membuat ia ada dalam malapetaka..

Bandung, 1980.

Angin besar tidak henti-hentinya berhembus. Petir menggelegar, hujan turun dengan sangat deras. Pohon-pohon pun secara tidak ramah bertumbangan.

Seorang laki-laki dengan panik membawa istrinya yang sedang hamil ke rumah sakit. Sang istri terus mengerang kesakitan, ia mengalami pendarahan. Lelaki yang bernama David itu kemudian memasuki rumah sakit dan berteriak minta tolong.

Tim medis dengan sigap langsung menolong istri pria itu. Sang istri tidak henti-hentinya menjerit kesakitan.

“Keluarkan! Tekan! Ayoo!” seru Dokter. Dengan wajah berkeringat, sang istri terus mendorong bayinya agar keluar. Sang suami, David, terus menunggu di luar dengan cemas. Terdengar teriakan sang istri terus menerus, David tak henti-hentinya berdoa dalam hati…

Setelah beberapa menit, akhirnya terdengar suara tangisan sang bayi. Dokter keluar dan membawa 2 kabar sekaligus: baik dan buruk. Kabar baiknya, anaknya ternyata seorang anak laki-laki. Kabar buruknya, istrinya sudah meninggal.

David merasa sedih sekali… Namun apa daya, ia harus menjadi ayah yang baik bagi Manuel, si bayi tampan tersebut.

Dua hari setelah pemakaman istrinya, David membawa Manuel pulang. Ia menimang-nimang putranya itu dengan penuh kasih sayang.

“Sekarang hanya ada kau dan Ayah. Kita akan menjadi tim yang hebat,” kata David sambil mengelus-elus rambut Manuel. Manuel yang masih bayi itu hanya bisa tersenyum sambil menggigit bibirnya.

Tiba-tiba, pintu rumah David menjeblak terbuka. Dua orang berpakaian serba hitam muncul. David sangat terkejut. Ia menelan ludah.

“Mau apa kalian, Master Deddy, Master Romi?” tanyanya gugup.

Master Deddy tertawa kecil. “Kau sudah membuat kesepakatan. Kami sudah melihat lewat bola kristal kami, anakmu sudah lahir kan? Serahkan anakmu. Kau sudah janji akan menyerahkan anakmu jika ia lahir. Tentu kau tahu balas budi, kau sudah kami sembuhkan dari penyakitmu, dan, serahkan anakmu.” Katanya tenang.
David berubah menjadi pucat. “Tapi.. aku ingin merawatnya.. Tidakkah terlalu dini mengambil dia untuk dijadikan magician hitam? Anakku masih bayi… Nanti saja kau ambil jika dia sudah agak besar sedikit untuk menjadi pasukanmu,” kata David takut-takut.

“Perjanjian tetap perjanjian.” Kata Master Romi kalem. Kemudian ia mengangkat tangannya. “Berikan dia.”

“Tapi Manuel masih bayi! Tolonglah! Biarkan dia merasakan kasih sayangku selama beberapa tahun!” pinta David lemas.

“Kau tidak memberi kami pilihan,” kata Master Deddy geram. Ia kemudian menunjuk David. Sinar perak keluar dari telunjuk tangannya. David yang terkejut, terpelanting ke bawah. Ia hanya menjerit sedikit, kemudian matanya telah terbuka. David sudah meninggal.

Namun, Master Deddy ternyata tidak bisa memberhentikan sinar yang keluar dari tangannya. Sinar itu terus muncul dari telunjuknya, membuat Master Romi bingung.

“Hey!! Sudah, hentikan, kita bawa anak ini sekarang!” serunya.

“Aku juga ingin berhenti, tapi tidak bisa!” jawab Master Deddy. Sinar yang terus keluar dari tangannya itu sedikit demi sedikit menghancurkan barang-barang yang ada di rumah putih itu.

Master Romi berusaha memberhentikan sinar yang keluar dari tangan Deddy, tapi tidak berhasil. Ia tidak mendapatkan apapun selain berkali-kali tubuhnya terjengkang.

Master Deddy sangat panik. Ia juga tidak mengerti kenapa kekuatannya terus menerus keluar. Secara tak sengaja sinar yang keluar dari telunjuknya itu menghantam Manuel.

BRUM! Manuel yang masih ada di box bayi, terbang dan jatuh terpelanting. Ajaib, si bayi yang baru lahir itu sama sekali tidak menangis.

Master Romi memandang dengan ngeri… Bisa-bisa semua orang bangun mendengar suara barang-barang hancur yang begitu memekakkan telinga.

Benar saja, setelah beberapa jam, setelah usahanya yang sia-sia untuk menghentikan sinar yang keluar dari tangan Master Deddy, orang-orang berdatangan. Master Romi yang panik, langsung mengerudungkan jubahnya ke kepalanya, memegang Deddy sekencang-kencangnya, dan langsung menghilang. Orang-orang gagal menangkap mereka berdua. Ketika mereka masuk ke dalam, rumah sudah hancur, dan mereka hanya menemukan mayat David dan Manuel, si bayi tampan tersebut…

Bandung, 1990.

Manuel, sang bayi tampan yang sepuluh tahun lalu berada dalam rumah yang hancur itu, sekarang sudah tumbuh menjadi anak laki-laki yang begitu tampan. Rambutnya hitam, matanya coklat elang, dan kulitnya sangat putih sekali. Tubuhnya termasuk tinggi untuk anak seusianya. Kini ia tinggal di panti asuhan setelah ditemukan di rumahnya yang hancur.

Akibat kecelakaan sepuluh tahun yang lalu tersebut, Manuel kini memiliki sebagian dari kekuatan Master Deddy Corbuzier. Ia dapat menghancurkan barang-barang hanya dengan memejamkan matanya, dan apabila ia sedang emosi, ia dapat membunuh orang. Manuel tumbuh menjadi anak pendiam dan sangat pemalu. Ia tidak memiliki teman, karena banyak yang takut kepadanya dan menganggapnya aneh.

2 Juni 1990.

Hari itu adalah hari pertama Manuel duduk di kelas 5. Hari begitu cerah, burung-burung berkicau, dan tumbuh-tumbuhan melambai-lambai seakan-akan mengucapkan selamat pagi untuk hari yang sangat indah itu. Namun bagi Manuel,semua hari sama saja. Ia kemudian masuk ke ruang kelas 5, menyimpan tasnya, dan duduk.

Kepala sekolah SD The Master tersebut melangkah masuk, bersama dengan seorang pria berkaca mata. Dengan gembira ia memperkenalkan guru baru tersebut.

“Anak-anak, perkenalkan, ini adalah guru baru kalian. Namanya Joe Sandy, ia akan mengajar matematika dan Bahasa Indonesia. Bapak harap kalian bisa bekerja sama dengannya,” kata Kepala Sekolah sambil memperkenalkan Joe Sandy, si guru baru tersebut. Kemudian ia pergi meninggalkan ruang kelas tersebut.

Joe Sandy membungkukkan badannya. “Kehormatan bagi saya dapat mengajar kalian, anak-anak,” katanya. “Selamat Pagi!”

“Pagi, Bapak Joe,” kata anak-anak kelas 5 berbarengan, kecuali Manuel.

“Bagus sekali, bagus sekali. Nah, pelajaran kita hari ini adalah mengkali bilangan yang besar dengan bilangan yang besar juga,” kata Joe. Ia kemudian menulis angka-angka di papan tulis dengan spidol. “3165x228,” katanya sambil mengelap tangannya. “Ada yang bisa menjawab berapa hasilnya?” tanyanya dengan senyum yang manis.

Anak-anak lain sibuk mengkotret, kecuali Manuel. Manuel hanya memandangi Joe dengan tatapan mata yang sangat tajam. Joe yang sedari tadi tidak memperhatikan Manuel, mulai merasa tertarik. Kepala Sekolah tentu tidak tahu, bahwa selain guru, Joe juga memiliki kemampuan magic. Melihat mata Manuel, Joe merasa ada ikatan batin.

“Kau, Nak? Kau bisa menjawab berapa hasilnya? Mengapa kau tidak mengkotret?” tanya Joe berusaha ramah kepada Manuel.

“721620.” Jawab Manuel dingin. Anak-anak yang lain berhenti menghitung dan menoleh ke Manuel.

Joe terkesan sekali. “Bagus sekali, bagus sekali! Benar jawabannya , Nak! Bolehkah aku mengetahui namamu?” tanya Joe ramah.

“Manuel.” Jawab Manuel singkat. Joe langsung merasa bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan anak ini.

“Baiklah Manuel… karena kau dapat menghitung dengan cepat… maka kau layak mendapatkan ini,” kata Joe, kemudian ia membuka tasnya dan menyerahkan coklat putih panjang kepada Manuel.

Manuel menerima coklat itu, tapi ia tidak tersenyum, apalagi mengucapkan terima kasih.

Joe merasakan ada sesuatu yang aneh ketika Manuel menatap matanya. Ia merasa seakan-akan ia dicebur ke sebuah danau es.

Bel kemudian berbunyi. “Ah.. sepertinya kita harus mengakhiri pelajaran kita, sampai ketemu besok, anak-anak,” kata Joe.

Kelas yang tadinya sunyi itu sekarang begitu berisik dengan suara bangku berderit dan anak-anak yang merapikan buku-buku mereka.

Joe merasa ia tidak pernah menemui anak seperti Manuel sebelumnya. Joe melangkah keluar. Di lorong ia berpapasan dengan Darko, guru IPA. Mereka kemudian mengobrol sambil berjalan.

“Ah, kau pasti Joe Sandy kan? Guru baru? Kenalkan aku Darko,” kata Darko sambil mengulurkan tangannya dengan ramah. Joe tersenyum. “Ya, aku Joe. Senang bertemu dengan anda, Darko,” sahut Joe.

“Bagaimana hari pertama-mu mengajar?” tanya Darko sambil membawa buku-bukunya.

“Baik sekali. Mereka anak-anak yang hebat.. dan sungguh lucu-lucu. Dan ada satu anak yang membuat saya terkesan sekali. Namanya Manuel, sungguh luar biasa anak itu, dapat menjawab perkalian tanpa menghitungnya sama sekali.” Kata Joe riang.

Darko tersenyum. “Manuel yah.. Dia memang anak yang sangat pintar.. Guru-guru disini semua kagum akan kepintaran anak itu,” kata Darko.

“Tentu saja. Saya yang baru pertama mengajar dia saja langsung terkesan apalagi guru lain?” kata Joe. “Tapi, entah mengapa, dia terus menerus menatap saya dengan tajam…Kelihatannya dia jarang berbicara ya?” sambungnya lagi.

Darko mengangkat alis. “Ya.. memang dia itu anak yang misterius. Bermain bersama teman-temannya pun tidak pernah. Ia juga jarang berbicara. Selama 5 tahun mengajarnya, saya juga tidak pernah melihat dia tertawa atau tersenyum,” kata Darko menjelaskan.

Joe menatapnya dengan heran. “Oh ya? Bukankah anak seumuran dia seharusnya penuh keceriaan?” tanyanya.

“Saya pikir mungkin karena masa lalunya.. Ia yatim piatu. Ibunya meninggal ketika melahirkannya dan ayahnya dibunuh oleh entah siapa. Orang – orang menemukannya terjatuh dari boxnya pada malam ayahnya meninggal. Rumahnya hancur. Ia tinggal dip anti asuhan,” kata Darko panjang lebar.

“Oh.” Gumam Joe. “Kasihan sekali.” Ia merasa semakin tertarik dengan Manuel.

Part 2

Keesokan harinya, Joe kembali mengajar di kelas 5A. Kali ini ia mengajar bahasa Indonesia.

“Nah anak-anak… Bapak ingin kalian membuat sebuah puisi. Temanya bebas, tentang apa saja. Tuliskan di buku kalian dan Bapak akan menyuruh kalian membaca karya kalian… waktu 30 menit dari sekarang, mulai!” seru Joe.

Anak-anak kemudian dengan hening menulis puisi di buku mereka masing-masing. Joe berjalan berkeliling. Ia berhenti agak lama di tempat Manuel, karena sesuatu menarik perhatiannya. Joe yakin sekali sepintas ia melihat Manuel menggambar orang yang digantung, sebelum Manuel buru-buru menyingkirkan kertas itu dan menulis puisinya kembali.

Joe melihat jam tangannya. “Ya, waktunya habis anak-anak!” kata Joe. Ia kemudian mengambil daftar absen.

“Riko, bacakan puisimu!” perintah Joe. Anak yang bernama Riko berdiri dan memegang bukunya. Ia kemudian membacakan puisinya. Sebuah puisi lucu tentang kucing. Setelah Riko selesai membacakan puisinya, semua bertepuk tangan.

Setelah 3 anak, Joe kemudian menyuruh Manuel untuk membacakan puisinya.

Manuel berdiri. Joe memandangnya dengan sangat tertarik.

Terdengar Manuel menghela nafas. Kemudian ia berdehem dan membacakan puisinya.

“Maut. Di sana maut berada. Mengikutimu dari setiap langkah yang kau pijak. Mengurangi detik demi detik waktu hidupmu. Mengurangi menit demi menit jantungmu berdetak. Mengurangi setiap tetes darah yang mengalir dalam tubuhmu. Bersiaplah, jika maut datang, ingatlah selalu kepada-Nya.”

Hening sekali setelah Manuel membacakan puisinya. Joe tertegun… Ia memandang Manuel dalam-dalam. Benar dugaannya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan anak ini….

Setelah bel berbunyi, Joe masih berpikir tentang puisi yang dibuat Manuel tadi. Sama sekali tidak lazim anak berusia 10 tahun membuat puisi seperti itu…

Joe berjalan menyusuri halaman sekolah itu. Sinar matahari panas sekali, dan Joe merasa ingin cepat-cepat minum jus jeruk di rumahnya.

Tiba-tiba saja terdengar suara ribut-ribut. Dari kejauhan, Joe melihat sepertinya Manuel sedang bertengkar dengan 2 orang anak bertubuh besar. Dan, Joe berani bersumpah ia melihat mata Manuel mengeluarkan sinar seperti laser, dan menghantam kedua anak itu.

Joe yang masih tidak percaya dengan matanya, langsung menghampiri mereka.

“Anak-anak, ada apa ini? Ada apa ini?” seru Joe. Kedua anak yang tadi menatap Manuel dengan takut, kemudian berdiri. “Tidak ada apa-apa, Pak Joe!” kata mereka tergagap, kemudian berlari.

Joe langsung mencengkeram pundak Manuel. “Manuel, jujur kepada Bapak, kau apakan mereka sampai mereka berdarah seperti itu?” seru Joe, nada suaranya meninggi sekarang.

Manuel tidak menjawab. Ia menantang mata Joe. Aneh sekali, jika biasanya tatapan mata Manuel begitu dingin, sekarang matanya berkaca-kaca.

“Manuel. Jika kau ingin mengatakan sesuatu kepada Bapak, katakan saja!” kata Joe, sekarang membungkuk, agar tingginya sama dengan Manuel.

Manuel tetap diam. Ia kemudian menundukkan kepalanya. “Kau bisa berbicara kan Nak? Kau tidak bisu kan? Jawab pertanyaan Bapak, kau apakan mereka?” seru Joe terengah.

Manuel kemudian langsung melepas paksa pegangan Joe , kemudian berlari sekencang-kencangnya. Joe menghela nafas, dan menatap Manuel pergi.

Joe sama sekali tidak menyadari bahwa ada seseorang berjubah hitam sedang mengawasi mereka berdua sejak tadi….

Sosok berjubah hitam itu adalah Richard Rain, anak buah dari Master Deddy dan Master Romi. Bisa dibilang ia magician hitam termuda yang kekuatannya sangat hebat sekali. Rain tersenyum di bawah kerudung jubahnya. “Akhirnya kutemukan juga.. anak sialan itu… Master Deddy harus tahu.” Bisiknya kepada dirinya sendiri.

Dengan gerakan cepat, Rain menyelubungkan jubahnya ke badannya dan menghilang, kemudian ia sampai di tempat Master Deddy dan Master Romi.

Rain muncul dengan bunyi “puff” yang begitu halus. Teman-temannya, Abu Marlo, Angel, dan Aldi yang tengah bermain kartu menggeram sebal.

“Kami sedang bermain kartu, tidak bisa ya mencari landasan lain?” kata Abu kesal.
Rain tertawa bengis. “Dasar kau. Jika aku dapat memilih aku juga tidak mau mendarat di atas tumpukan kartu bodoh ini,” jawabnya kesal.

Abu mengangkat bahu. “Kau seperti mau luluran di pantai, mendarat dengan pose seperti itu,” katanya terkekeh. Rain mengernyit, sementara Aldi dan Angel terbahak-bahak.

“Diam,” katanya tegas sambil menjentikkan jarinya. Sinar emas keluar dari jentikan tangan Rain dan membakar seluruh kartu.

“Rain, kau memang tidak pernah bisa diajak bercanda,” kata Abu sebal, kemudian dengan santai ia melambaikan lengan jubahnya dan secara ajaib kartu itu telah utuh kembali.

“Sudah kubilang jangan main-main denganku,” sahut Rain. “Dimana Master Deddy dan Master Romi?” tanyanya.

“Ada di disana,” kata Angel. “Seperti biasa, mereka sedang menikmati masa senja,” katanya acuh tak acuh.

Rain mendengus, kemudian masuk ke ruang bawah tanah markas para magician hitam itu. Tampak Master Deddy duduk – duduk di kursi malas kesayangannya, sambil meminum ramuan.

Deddy kemudian menoleh ke arah Rain. “Ada apa Rain? Ada perlu apa?” tanya Deddy.

Rain tersenyum kecil. “Aku membawa kabar baik, Master.” Jawabnya sambil membungkukkan badan.

Master Romi mengangkat alisnya. “Kabar baik apa Rain? Tidak usah bertele-tele.” Katanya tidak sabar.

“Aku sudah menemukan anak itu. Manuel kan? Baru saja kulihat ia menyerang temannya dengan laser di matanya. Bukankah seperti itu sebagian kekuatanmu yang hilang, Master Deddy?” tanya Rain sambil tersenyum puas.

Deddy tersedak ramuannya. “Benarkah ? benarkah kau sudah menemukan anak sialan yang secara tidak sengaja kutransfer sebagian kekuatanku padanya?” tanya Deddy, matanya berkilat senang sekarang.

Rain kembali tersenyum. “Ya, Master. Aku yakin sekali… jadi… ini saatnya mengembalikan kembali kekuatanmu yang hilang Master, sehingga kau bisa kuat seperti dulu.” Kata Rain penuh kemenangan.
Deddy turun dari kursi malasnya, dan mengacak rambut Rain. “Kau memang anak buahku yang terhebat! Tidak seperti mereka yang kerjanya Cuma main kartu saja,” katanya sebal sambil melihat kea rah Abu, Aldi, dan Angel yang masih asyik bermain kartu.

“Jadi, apa rencana Master selanjutnya?” tanya Rain. “Ia bersekolah di SD The Master.”

Deddy tersenyum licik. “Kita akan menculik anak itu dan membunuhnya. Hanya itu satu-satunya jalan agar kekuatanku kembali. Dan kita kelompok magician hitam, akan berjaya kembali!”

Rain kembali tersenyum licik. “Kapan kita akan menculik anak itu?” tanyanya dengan suaranya yang dingin.

“Secepat yang kita bisa.” sahut Deddy.

Keesokan harinya, di SD The Master…

Joe masih agak tidak konsentrasi untuk mengajar karena masih terbayang-bayang kejadian yang ia lihat kemarin siang. Sekarang ia berusaha keras tidak menatap wajah Manuel. Ia kemudian memberikan latihan kepada anak-anak tersebut, sampai bel akhirnya berbunyi.

Di halaman sekolah, Joe kembali bercakap-cakap dengan Darko. Walau ia tahu bahwa mungkin Darko tidak akan percaya kepadanya, namun Joe tetap menceritakan pengalaman dia kemarin.

Darko mendengarkan dengan diam sambil terus memakan permen jahenya. Joe akhirnya selesai bercerita. “Jadi, bagaimana menurut anda, Pak Darko? Apakah anda mempercayai saya?” tanya Joe.

Darko terdiam sejenak. “Tidak bisa dipungkiri memang kalau Manuel adalah anak aneh,” sahutnya sambil terus mengulum permen jahenya. “Tapi, jika ia mengeluarkan sinar laser dari matanya itu sangat tidak masuk akal. Kau salah lihat mungkin, Pak Joe.” Katanya lagi dengan sangat santai.

Joe mengangkat bahu. “Tapi begitulah yang saya lihat, Pak Darko, dan….” Perkataan Joe terpotong. 2 orang laki-laki kemudian menghampiri mereka.

“Oh hai Robert, hai Indra,” kata Darko ramah. “Hari yang cerah.”

“Joe, perkenalkan, mereka teman lamaku. Robert dan Indra.” Kata Darko memperkenalkan kedua orang itu. Joe berjabat tangan dengan Robert dan Indra.

Saat berjabat tangan, Joe merasakan ada sensasi aneh dalam perutnya. Tatapan mata mereka berdua begitu dingin, dan entah hanya perasaan atau tidak, Joe merasakan tangannya terasa panas setelah berjabat tangan dengan kedua orang itu. Mungkinkah mereka adalah magician juga? Pikirnya.

--TO BE CONTINUED—

Part 3

Joe melepaskan jabatan tangannya dari Robert dan Indra. Tiba-tiba Manuel melintas di hadapan mereka, tanpa bicara sama sekali. Secara spontan, Joe menarik tas Manuel. Manuel langsung cemberut.

“Ini pulpenmu Nak, tadi jatuh,” kata Joe lembut sambil menyerahkan pulpen Manuel yang jatuh di lantai tadi. Manuel hanya diam, kemudian mengulurkan tangannya untuk menerima pulpennya. Tampak bekas luka di tangannya ketika ia mengulurkan tangannya.

Saat Manuel mengulurkan tangannya, Robert dan Indra tertegun. Mereka kemudian saling bertukar pandang. Joe dan Darko menoleh dan memandangi mereka dengan heran.

“Kalian kenapa?” tanya Darko setelah Manuel pergi. Robert dan Indra kemudian menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Tidak ada apa-apa,” kata Robert gugup. “Kami harus pergi sekarang, senang bertemu dengan anda Joe,” kata Indra. Mereka kemudian berbalik dan pergi.

“Mereka kenapa sih?” tanya Joe heran. Darko mengangkat bahunya. “Sudah sore, Pak Joe, mari pulang,” ajak Darko.

Ternyata, Robert dan Indra adalah orang yang membawa Manuel keluar dari rumahnya yang hancur sepuluh tahun lalu. Mereka langsung bisa mengenali bekas luka yang ada di tangan Manuel.

“Dia anak itu,” kata Indra. Robert mengangguk. “Kita harus melindunginya. Master Deddy tidak mungkin tidak mengincar anak itu,” sambung Robert.

Indra mengangguk dengan tegas. “Robert, kita perlu memberitahu beberapa guru di sekolah itu. Terserah juga mereka mau percaya atau tidak. Yang penting, anak itu tidak boleh sampai terbunuh oleh Master Deddy,” kata Indra.

“Selama Master Deddy tidak tahu dimana keberadaan anak itu.. anak itu akan…” kata – kata Robert terpotong. Ia kemudian memegang kepalanya.

“Robert, kau kenapa?” tanya Indra cemas.

Robert membelalak. Di depannya terdapat bayangan Deddy dan Rain yang sedang bercakap, dan telinganya langsung mendengar “Kita harus membunuh anak itu!”

“Ia sudah mengetahui keberadaan anak itu.” Bisik Robert kepada Indra. Indra menatapnya. “Kau yakin? Gawat. Berarti anak itu tidak aman!” bisik Indra.

Robert mengiyakan. “Besok kita ke sekolah itu lagi.” Katanya tegas.

Keesokan harinya

Seperti biasa Joe mengajar kembali. Sesekali ia melirik ke Manuel. Anak itu tampak begitu menyedihkan.

Bel berbunyi. “Ya anak-anak, kalian boleh membereskan buku-buku kalian, kecuali Manuel, kau tetap disini, Bapak ingin bicara denganmu,” kata Joe sambil menatap wajah Manuel. Manuel hanya diam, tetapi ia menurut. Ia tidak meninggalkan kelas.

Joe kemudian menutup pintu kelas rapat-rapat. Joe kemudian menatap muridnya itu dengan campuran antara perasaan iba dan ngeri. Manuel tampak begitu gelisah.

“Tidak apa-apa, Nak. Bapak tidak akan menyakitimu,” kata Joe lembut sambil memegang pundak Manuel. Manuel hanya diam.

“Bapak hanya ingin tahu, mengapa engkau membuat puisi tentang kematian, dan kenapa engkau melukai 2 temanmu? Kau tahu kan, melukai teman itu tidak baik,” kata Joe lagi, masih memegang pundak Manuel.

Manuel yang sedari tadi hanya menunduk kemudian mengangkat wajahnya. “Mereka menggangguku.” Bisiknya rendah. Ini pertama kali Manuel mengucapkan kalimat panjang di luar puisi yang pernah ia bacakan.

“Jika memang begitu, tindakanmu salah, Nak” kata Joe sabar. “Jika mereka kenapa-kenapa, kan gawat,” kata Joe lagi dengan lembut.

Kelihatannya Manuel tidak senang dinasihati seperti itu. “Mereka menggangguku!” ulangnya. Matanya kemudian berubah menjadi merah, laser biru keluar dari matanya, menghantam kaki Joe. Joe terhuyung.

Joe mengatur keseimbangannya kembali. Kemudian ia tersenyum kecil. “Sudah kuduga.. ada yang tidak beres denganmu. Kau memiliki kemampuan ya? Aku juga bisa.” Kata Joe. Joe kemudian mengepalkan tangannya dan membukanya. Saat ia membuka kepalan tangannya, sebuah asap keluar dan menghancurkan meja.

Manuel tampak terkejut. “Magician?” tanyanya pendek. Joe mengangguk perlahan. “Ya. Tapi aku adalah magician putih.” Jawabnya.

Joe merasa kaget sekali ketika senyum tipis mendadak terukir di wajah Manuel. Pertama kalinya Joe melihat anak itu tersenyum…

“Aku kira, Cuma aku yang seperti ini. Aku selalu takut. Aku selalu kesal kenapa aku aneh.” Kata Manuel.

Joe tersenyum penuh simpati. “Tidak usah takut. Kau bisa mengandalkanku… Kita bisa berteman sekarang, Manuel.” Kata Joe sambil memamerkan giginya.

Manuel tersenyum, kemudian mengangguk. Joe merasa lega, kemudian mempersilahkan Manuel untuk keluar dari kelas.


Saat Joe merapikan bukunya, terdengar suara geraman dan kekesalan. Terdengar orang yang sedang berdebat. Dengan penasaran, Joe melangkah keluar.

Ternyata Darko, Robert, dan Indra. Joe langsung merentangkan tangannya.
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Joe sopan.
“Ah kebetulan sekali, Pak Joe. Dua orang ini sedang mengarang-ngarang cerita.” Kata Darko, memandang sebal Robert dan Indra.
“Ini bukan cerita! Kami hanya ingin memperingatkan!” sahut Robert tidak sabar.
“Sabar, sabar. Memang ada apa jika boleh saya tahu, Robert, Indra?” tanya Joe lagi dengan sangat sopan.
“Muridmu Manuel. Ini tentang dia,” jawab Indra.
“Manuel?” tanya Joe heran. “Apa kaitannya dengan Manuel?”
“Anak itu memiliki kekuatan. Master Deddy, sang raja magician hitam lah yang secara tak sengaja mentransfer sebagian kekuatannya kepada anak itu. Indra keenam saya mengatakan bahwa, Master Deddy sudah mengetahui keberadaan anak itu. Ia akan membunuh anak itu untuk mendapatkan kekuatannya kembali secara utuh.” Jelas Robert panjang lebar.
Joe tertegun. Darko tertawa sinis. “Cerita yang hebat. Benar-benar hebat. Tuangkan dalam skrip, dan lamarlah diri anda untuk menjadi penulis skenario sinetron Sinemart.” Ujar Darko jengkel.
Joe, yang sesama magician juga tentu percaya dengan kata-kata Robert dan Indra. “Tunggu. Kalian magician juga?” tanyanya heran. Robert dan Indra mengangguk bersamaan. Darko mendengus. “Apa-apaan sih ini, magician segala? Hoi, kalian manusia normal kan?” ujar Darko dengan nada yang sangat jengkel.
Joe tidak menghiraukan Darko. Ia kembali mengepalkan tangan dan membuka tangannya. Saat tangannya dibuka, api keluar dari tangannya. Robert dan Indra tersenyum, sementara Darko menganga tak percaya.
“Jadi kau adalah dukun, Pak Joe?” seru Darko, terdapat nada kepanikan dalam suaranya.
Robert dan Indra tertawa. “Dukun? Dukun beda dengan magician. Kami sudah mengetahui dan merasakan bahwa anda magician juga, Pak Joe setelah kami berjabat tangan dengan anda,” kata Indra sambil nyengir.







Part 4

Darko masih memandangi mereka dengan tatapan mata tidak percaya. “Kalian tidak pernah memberitahuku, padahal kita teman lama!” protesnya. Robert dan Indra tertawa sinis. “Tadi saja kau tidak percaya, bagaimana jika kami mengatakan kami adalah magician?” Tanya Robert, kacamatanya berkilat sekarang. Indra melipat tangannya. “Jadi, “ kata Darko, menyerah, masih belum percaya 2 teman lamanya yang ia kenal sebagai eksekutif muda itu adalah magician, “Bagaimana dengan Manuel?” tanyanya.
Robert menoleh ke arah Darko. “Ya jelas kalian harus berhati-hati. Dan untuk berjaga-jaga, kami juga akan berpatroli disini. Kami akan memanggil kawan kami juga, Rom dan Sam.” Kata Robert.
Joe mengangguk perlahan. Semakin banyak magician yang berkeliaran akan semakin bagus.
“Baiklah, terima kasih atas pertemuan menyenangkan ini,” kata Robert dan Indra berbarengan. Mereka kemudian menyelubungkan jubah mereka ke tubuh mereka dan menghilang.
Darko memandangi Joe. “Jadi… berarti benar anak itu memiliki suatu kekuatan?” todongnya. Joe mengangguk. “Ya. Tadi ketika kami bicara empat mata, ia menghancurkan meja dengan laser di matanya.” Sahutnya. Darko tampak tidak percaya, namun tidak mengatakan apa-apa lagi.

Keesokan harinya

Joe kembali masuk ke ruang kelas 5A. Kali ini ia mengajar Bahasa Indonesia. Tampak Manuel memandangnya, dengan tatapan mata yang jauh lebih sopan dan riang.
Joe meletakkan bukunya. “Jadi anak-anak. Hari ini kita akan belajar tentang majas personifikasi.” Kata Joe sambil menulis di papan tulis. “Personifikasi adalah majas yang mengumpamakan benda-benda mati seolah-olah menjadi hidup. Contoh, angin melambai dalam su…” perkataan Joe terpotong. Terdengar bunyi DUAR yang sangat memekakkan telinga dan kaca pecah. Kaca langsung bersiweran. Anak-anak langsung menjerit.
Joe berusaha tetap tenang. Sebuah sosok berjubah hitam melompat masuk ke meja kelas. Anak-anak langsung menangis ketakutan. Richard Rain. Joe langsung mengenalinya, karena Rain adalah magician hitam yang membunuh adiknya.
Rain langsung membuka kerudung jubahnya. Ia tersenyum penuh kelicikan dan memandang Manuel. Seringai lebar langsung terpampang di bibirnya.

“Bersiaplah untuk kematianmu,” kata Rain sambil mendekati Manuel yang masi gemetaran di bawah mejanya.

“Jangan ganggu anak itu.” Kata Joe tenang.

Rain berbalik. “Ah ya… Joe Sandy… well.. well… Magician putih yang sok hebat… Adikmu sudah tenang kan di surga sana?” kata Rain terkekeh.

Joe tidak menjawab. “Lama tidak bersua, Rain.” Jawabnya kalem. Anak-anak kelas 5 A menonton dengan sangat takut.

“Kalau begitu…kau mungkin merindukan ini,” kata Rain. Ia menjentikkan jarinya, mengeluarkan serpihan kaca dari tangannya. Beruntung Joe berhasil menghindar.
Joe malah terlihat semakin tenang. Dengan santai ia mengepalkan tangannya kembali dan membukanya. Asap keluar dari tangannya, nyaris menghantam Rain, tapi luput. Asap itu malah menghantam rak buku. Rak buku langsung jatuh dan hancur.

Di ruang laboratorium IPA…

Darko yang tengah asik mengajarkan cara menyembelih kodok kepada anak-anak, juga dikagetkan dengan bunyi ledakan dan pecahan serpihan kaca. 4 sosok berjubah hitam masuk. Mereka adalah Aldi, Abu, Angel, dan Limbad.

Anak-anak yang sedang diajar Darko langsung berteriak ketakutan. Mereka semua langsung bersembunyi di belakang Darko.

“Siapa kalian?” serunya.

“Aldi, Abu, Angel, Limbad,” sahut Angel dengan tawa menggema. “Mana anak itu? Manuelito?” sambar Abu.

“Aku tidak tahu! Jangan tanya aku!” kata Darko, tubuhnya bergetar dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Nikmati ini dulu deh… Bermain-mainlah sedikit,” kata Abu terkekeh, kemudian mengibaskan lengan jubahnya. Sinar hitam keluar dari jubah itu, dan langsung menghancurkan peralatan laboratorium IPA.

“Anak-anak, merunduk!” seru Darko panik. Dalam sekejap, ruangan itu langsung dipenuhi oleh bunyi ledakan, suara PRANG, suara BUM, dan teriakan ketakutan anak-anak. Keempat magician itu tampak menikmati suasana tersebut.

Di ruang kelas 5 A..

Joe masih dalam keadaan tenang, meski hatinya dag-dig-dug tak keruan. Bagaimana pun juga, ia harus menyelamatkan anak-anak, terutama Manuel. Joe sedari tadi tak henti-hentinya mengeluarkan sinar berwarna biru muda dari tangannya, namun semua itu bisa ditangkis Rain hanya dengan satu jentikan jari saja. Serangan-serangan Joe sekarang malah senjata makan Tuan. Serangannya berbalik menghantam perutnya, dan Joe tiba-tiba merasa mual sekali.

Joe kemudian muntah. Namun apa yang dimuntahkan olehnya? Kelelawar! Ya! Tak henti-hentinya kelelawar keluar dari mulutnya. Anak-anak menjerit panik. Ruang kelas itu langsung penuh dengan kelelawar yang terbang kesana kemari. Rain tersenyum penuh kemenangan, kemudian dengan cepat ia menarik Manuel, membawanya ke balik jubahnya dan keluar dari ruangan kelas 5 A. Manuel meronta, berusaha menyerang Rain dengan laser di matanya, tapi Rain terlalu tangguh. Ia dengan santai dapat menangkis serangan Manuel.

Rain mengepit Manuel di ketiaknya, dan membawanya sambil berlari. Manuel menjerit keras-keras, membuat Rain sangat jengkel.

“Tutup mulutmu!” serunya sambil menjentikkan jari. Asap abu-abu muda menghantam mulut Manuel dan langsung membuat bibirnya tergores. Namun asap itu tidak membuat Manuel menjadi diam, melainkan menjerit semakin keras.

Rain terus berlari sambil mengepit Manuel ketika tiba-tiba sebuah sinar berwarna oranye membakar jubahnya. Rain yang merasa kaget akan serangan mendadak itu, tanpa sengaja melepaskan Manuel dari kempitannya.

Dengan geram ia menoleh ke belakang. Ternyata Robert lah yang menyerangnya.

”Manuel. Lari.” kata Robert tenang. Manuel tak perlu disuruh dua kali. Ia langsung berlari secepat kilat.

Robert dan Rain saling bertukar pandang penuh kebencian.

”Mau mencoba jadi pahlawan kesiangan, eh Robert?” kata Rain dingin, matanya menyala-nyala sekarang.

Robert tidak menjawab. Ia berusaha menyerang Rain. Ia mengeluarkan sinar berwarna ungu kehitaman dari tangannya, dan, sinar itu menghantam Rain.Rain tidak bergerak. Ia tersenyum licik.

”Robert, kau tetap seperti dulu,” kata Rain sambil menjentikkan jarinya. Robert langsung seperti ditinju oleh angin yang tidak terlihat.

Serangan Rain membuat Robert terpelanting jauh sekali. Ia kemudian terguling-guling jatuh dari tangga, dan pingsan. Rain menatap Robert dengan penuh kemenangan, kemudian kembali berlari.

Di ruang kelas 5 A

Joe berusaha mengusir kelelawar-kelelawar yang ia muntahkan. Dengan susah payah ia berusaha menghancurkan kelelawar-kelelawar yang memenuhi ruangan kelas itu dengan segala kekuatannya...

”Anak-anak, keluar! Keluar! Cepaaaaaaaaatttt!” teriak Joe. Anak-anak kelas 5 A yang masih ketakutan kemudian keluar dari ruangan itu, mereka tak henti-hentinya terisak. Sementara Joe berusaha keras bertarung sendirian dengan kelelawar yang ia muntahkan..
Kembali terdengar suara ”DUAR” yang memekakkan telinga. 3 orang masuk. Mereka bertiga masing-masing memegang sebuah pedang biru panjang. Joe langsung mengenali salah satunya. Indra.

”Tenang Joe. ” kata Indra. ”Ini Rom, ini Sam, Sam , Rom, ini Joe. Ok, sudah cukup berkenalannya.”

Indra. Rom, dan Sam menjentikkan jari mereka masing-masing kemudian mengetukkan jari mereka ke pedang berwarna biru tersebut. Petir menggelegar keluar dari ujung pedang mereka masing-masing, dan menghantam kelelawar-kelelawar tersebut satu persatu.

Kelelawar yang dimuntahkan Joe terlalu banyak jumlahnya. Dua kelelawar kemudian terbang dengan ganas ke arah Joe, dan menggigit telinga kanan Joe. Joe meraung kesakitan.

Di ruang laboratorium IPA..

Keempat magician itu telah mengunci pintu dan jendela ruang laboratorium IPA agar Darko dan anak-anak tidak bisa keluar.

”Tolong!! Hentikan serangan kalian! Mereka masih anak-anak!” seru Darko lemas.

Abu tertawa dingin. ”Tidak, jika anda tidak mau memberitahu dimana Manuelito, Pak Guru,” kekehnya. Abu kemudian menjentikkan jarinya. Ledakan langsung keluar setelah Abu menjentikkan jarinya. Ledakan itu menghantam model tengkorak yang ada di ruang laboratorium IPA, sehingga model tengkorak tersebut jatuh. Darko berusaha bersembunyi di balik meja.

”Kita tidak sedang bermain petak umpet,” kata Aldi geram, kemudian menjentikkan jarinya juga, dan dalam sekejap meja hancur. Anak-anak semakin menangis dan melolong ketakutan. Darko merasa panik sekali... Aargghhh! Bantuan, cepatlah datang! Batinnya. Keempat magician itu terlalu tangguh..

--TO BE CONTINUED--

Part 5

Di ruang kelas 5A...

Rom dan Sam yang melihat kelelawar yang bertengger di kuping Joe tersebut langsung menusuk kelelawar itu dengan pedang mereka. Darah hitam yang pekat dan menjijikkan langsung keluar setelah kelelawar itu ditusuk oleh pedang Rom dan Sam.Darah itu langsung muncrat mengenai muka Joe.

Indra, Rom, dan Sam, akhirnya berhasil memusnahkan kelelawar-kelelawar tersebut.

”Indra, Manuel dibawa oleh Rain.” Ujar Joe terengah-engah.

Indra mengangguk. “Kita berpencar. Aku akan menemanimu Joe, untuk mencari Rain dan Manuel. Dan kalian, Rom, Sam, cari anak-anak lain dan Darko serta Robert, bawa mereka keluar dari sini secepat yang kita bisa.” Kata Indra memberikan instruksi.

Rom dan Sam mengangguk. “Baik.” kata mereka, kemudian mengerudungkan jubah mereka kembali dan keluar dari ruangan.

Joe dan Indra mengangguk perlahan, kemudian keluar dari ruangan kelas 5 A tersebut.

Mereka berjalan setengah berlari. Saat menyusuri lorong di dekat kelas 4 B, Joe dan Indra menemukan Robert yang tergeletak di bawah tangga.

”Lihat!” seru Joe panik. Mereka langsung menuruni tangga.

”Robert! Bangun! Bangun!” seru Indra panik. Indra kemudian menyentuh muka Robert dengan tangannya. Sentuhan lembut Indra langsung membuat Robert terbangun.

”Manuel,” bisik Robert sambil berusaha berdiri.

”Kenapa dengan Manuel?” tanya Indra panik.
”Tadi aku diserang Rain. Manuel dibawa olehnya, tapi ia lolos, sekarang, aku tidak tahu mereka dimana...” kata Robert.
”Indra keenammu tidak berfungsi?” tanya Joe pasrah. Robert menggeleng.
”Sekarang apa yang kita harus lakukan?” tanya Joe lagi dengan pasrah.
”Kita selamatkan anak-anak. Mereka tidak boleh menjadi korban! Ayo!” perintah Indra, kemudian mereka kembali berjalan.

Sementara itu... di laboratorium IPA..

Rom dan Sam yang mendengar suara pecahan kaca, jeritan anak-anak, dan teriakan Darko langsung menghancurkan pintu dengan pedang mereka, kemudian mereka langsung melompat masuk.

Limbad menoleh. “Oh lihat, tambahan dua anak kecil lagi,” katanya sinis. Abu, Angel, Aldi menoleh secara bersamaan, dan memandang Rom dan Sam dengan pandangan jijik.

”Empat lawan dua, pasti tahu mana yang menang,” kata Abu kepada Aldi. Aldi tertawa kecil dan nyengir. Darko terpaku di tempatnya, anak-anak masih bersembunyi di belakangnya.

”Tidak usah banyak omong!” seru Sam geram, kemudian menghunuskan pedangnya ke arah dada Abu. Dengan sigap Abu merunduk. Pedang yang dipegang Sam akhirnya malah menusuk dinding dan membuatnya retak.
Secara diam-diam Darko langsung keluar dari ruangan itu bersama anak-anak. Mereka semua harus selamat, bisiknya dalam hati. ”Ayo, anak-anak, ayo!” pimpin Darko kepada anak-anak muridnya.

”Kita harus keluar dari sini, kalian tetap tenang!” perintah Darko lagi. Mereka semua berlari,dan tanpa sengaja, Darko bertubrukan dengan Joe. Keduanya kemudian jatuh.

”Pak Joe! Oh syukurlah!” kata Darko lega.

”Anda melihat Manuel, Pak Darko?” tanya Joe.
Darko menggeleng. “Sayangnya tidak Pak Joe. Kami tadi diserang oleh 4 magician, dan tadi ada 2 magician lain yang masuk ke ruang laboratorium.” Jawab Darko.

“Pasti itu Rom dan Sam. Darko, bawa anak-anak keluar!” perintah Robert. Tak banyak omong, Darko langsung mengangguk.

Joe, Indra, dan Robert kemudian melompat masuk ke dalam ruangan laboratorium IPA. Secara spontan, Indra langsung mengeluarkan petir kembali dari pedangnya. Petir Indra kemudian berhasil menghantam Abu.

Abu yang langsung terpelanting ke belakang, kepalanya membentur dinding. Ia kemudian menatap Indra dengan geram, dan menggertakkan giginya. Abu langsung menjentikkan jarinya, dan secara tiba-tiba ruangan laboratorium IPA dipenuhi oleh suara ledakan petasan.

”Rasakan itu! Petasan kematian!” seru Abu bengis.

Joe dan Robert melompat berusaha menghindari petasan-petasan tersebut. Joe berusaha melenyapkan petasan itu dengan sinar hijau dari tangannya, namun petasan itu bukannya menghilang, malah semakin banyak.

”Jika kalian ingin tetap hidup, beri tahu kami dimana anak sialan itu!” seru Angel.

”Kami juga tidak tahu! Kami kehilangan dia!” seru Joe, masih melompat-lompat menghindari petasan yang terus meledak tak henti-hentinya.

”Baiklah jika begitu, kalian tidak memberi kami pilihan.” kata Abu sambil menjentikkan jarinya kembali. Secara tiba-tiba, beberapa zombie muncul di laboratorium IPA, entah dari mana.

Abu, Angel, Limbad, dan Aldi keluar dari ruangan laboratorium dan mencari Manuel serta Rain.

”Ya ampun, zombienya jelek sekali,” kata Sam terengah. Zombie-zombie itu semakin mendekat kepada mereka, mengulurkan tangannya. Rom berusaha mengeluarkan petir kembali dari pedangnya. Petir itu menghantam zombie tersebut, tapi tidak mempan. Zombie itu semakin dekat, mengulurkan tangan mereka...

”Satu-satunya jalan adalah kabur!” seru Joe, kemudian ia berbalik ke arah pintu. Sial. Pintu itu telah utuh kembali dan terkunci rapat. Pintu itu telah dikunci kembali oleh Abu, Angel, Limbad, dan Aldi.

Petasan masih terus meledak. Joe kemudian tersandung dan jatuh. Si Zombie sekarang menempelkan tangannya ke leher Joe. Joe terbatuk dan tercekik. Dalam sekejap ia langsung tidak bisa bernafas.

Rom, Sam, Indra, dan Robert juga dicekik oleh zombie tersebut. Mereka benar-benar sedang dalam bahaya maut sekarang...

Sementara itu, Manuel ternyata bersembunyi di ruang kelas 6 C. Ia merasa takut sekali, karena ia sendirian dan tidak ada yang menemaninya. Sunyi sekali di ruangan itu. Manuel mulai merasa gelisah. Akhirnya ia melangkah keluar.

Manuel berjalan pelan-pelan, sambil terus menengok. Takut-takut Rain muncul dan menangkapnya kembali.


Part 6

Manuel berusaha mencari jalan keluar. Ia melangkah dengan sangat pelan. Pikirannya dipenuhi ketakutan.

Manuel terus melangkah, ia kemudian menyusuri tangga di lantai 2. Manuel berpikir, pasti yang lain sedang bertarung dengan para magician sekarang, meski ia tak bisa mendengar ada suara keributan apapun.

Sesekali Manuel mengeluarkan laser kembali dari matanya, meski ia tahu itu tidak membantu. Laser mata Manuel hanya bisa untuk menghancurkan atau membunuh orang, bukan menjadi pendeteksi bahaya.

Ia kemudian berbelok ke arah laboratorium bahasa. Di depan laboratorium bahasa, Manuel berpapasan dengan Darko dan anak-anak yang lain. Darko memekik dengan lega.

”Oh Manuel! Syukurlah, syukurlah!” seru Darko sambil memeluk muridnya itu. Anak-anak yang lain pun menghela nafas lega.

”Mana yang lain Pak? Mana Pak Joe?” tanya Manuel singkat.
Darko masih agak terheran Manuel mau berbicara. ”Pak Joe sedang mengejar para magician yang jahat itu. Ayo, Manuel, kau tetap bersama kami. Mereka mengincarmu, kita harus keluar dari sini,” jelas Darko. Manuel mengangguk.

Darko, Manuel, dan anak-anak kemudian berjalan menuruni tangga lantai 2.
”Jangan ribut, berjaga-jaga jika ada gerakan sedikit saja,” imbau Darko kepada murid-muridnya.

Di ruang laboratorium kembali...

Joe mulai tersedak. Zombie-zombie itu mencekiknya dengan sangat kencang dan geram. Robert, Indra, Rom, dan Sam, juga tersedak. Rom berusaha mematahkan kaki zombie itu dengan pedang mereka. Namun zombie-zombie itu berdiri kokoh. Zombie-zombie itu semakin kencang mencekik mereka.. sementara petasan terus meledak.

”Bersamaan!” seru Joe tersedak.

”Apa?” tanya Robert. Ia tidak bisa mendengar dengan jelas karena bunyi ledakan petasan yang begitu bising.

”Serang dengan kekuatan kita bersama-sama!” seru Joe tersedak.

”Ide brilian!” seru Sam, masih tersedak.

”1,2,3!” perintah Indra. Secara bersamaan mereka berlima mengeluarkan kekuatan masing-masing. Sinar kuning keluar dari tangan Joe, sementara ketiga petir menggelegar keluar dari pedang Indra, Robert, Rom, dan Sam. Petir itu kemudian meliuk-liuk dan menyatu, dan menyambung dengan sinar kuning milik Joe, kemudian berubah menjadi asap yang tebal sekali. Asap yang tebal itu menghantam kelima zombie tersebut keras-keras. Terdengar bunyi ”DUAR” keras dan bunyi ”PUFF.” Si zombie melepaskan cekikan mereka.

”TIARAP!” seru Joe, dan mereka semua melompat ke arah lemari. Campuran kekuatan Joe, Indra, Robert, dan Sam kemudian berubah menjadi ledakan warna-warni, seperti kembang api, me, dan menyatu dengan petasan-petasan yang masih meledak. Bunyinya sangat memekakkan telinga. Joe menyumpal telinganya dalam-dalam.

Joe berdoa dalam hati. Kembali terdengar bunyi DUAR keras, menghantam lampu kelas, dan nyaris mengenai Sam.

”Awas!” teriak Joe, mendorong Sam ke pinggir. Lampu yang jatuh itu kemudian menghantam kabel dan membakarnya. Sam hampir saja kena setrum.
Ruangan laboratorium yang tadinya putih bersih itu kini dipenuhi oleh gumpalan asap abu-abu tebal yang baunya menusuk hidung. Bau asap itu seperti bau minyak tanah.

”Apakah kita sudah aman?” teriak Indra.
Joe menoleh. Para zombie itu sudah berubah menjadi kecebong sekarang.
”Aman. Kita keluar dari sini.” kata Joe sambil membantu Sam bangun. Rom, Indra, dan Robert kemudian berdiri.
”Pintunya dikunci.” kata Rom pasrah.
”Kita semua magician, lupa kau?” tanya Robert tak sabar. Rom tersenyum kecut.
Indra kemudian menggores pintu tersebut dengan pedangnya. Sebuah goresan berwarna hitam pekat kemudian tergambar di pintu tersebut. Rom kemudian mengetukkan pedangnya ke pintu tersebut sampai pintu itu hancur.

Mereka berlima kemudian melangkah keluar, dan berlari menuruni tangga.

Pikiran Joe berpacu. Ia ngeri memikirkan apa yang terjadi pada Darko,anak-anak lain, dan juga Manuel. Tangga itu banyak sekali memiliki anak tangga. Joe melompat, melangkahi empat anak tangga sekaligus. Dengan putus asa ia berharap mendengar suara jeritan anak-anak. Mereka sampai di lantai 1.

Joe terus berlari. Rom, Sam, Indra, Robert, mengikutinya. Dengan harap-harap cemas mereka memeriksa kelas satu persatu. Namun kelas-kelas itu semuanya kosong melompong. ”Anak-anak, dimana kalian?!” panggil mereka berulang-ulang. Mereka kemudian masuk ke dalam laboratorium komputer.

Terdengar suara ledakan yang sangat keras sekali, seperti bunyi 7 bom sekaligus yang meledak berbarengan saat mereka masuk ke laboratorium tersebut. Dengan ngeri Joe masuk. ”Ya ampun!” jeritnya panik.

Tampak Darko tertelungkup di lantai yang dipenuhi dengan genangan minyak berwarna hitam, anak-anak yang menangis ketakutan. Dan Joe melihat Manuel berusaha menyerang Rain, Abu, Angel, Aldi, Limbad sekaligus dengan laser di matanya. Namun lasernya selalu luput, yang ada hanya menghantam dan meretakkan dinding.

Joe, Robert, Indra, Rom, Sam, dengan geram langsung terjun ke dalam pertempuran itu. Joe tidak sempat melihat apakah Darko masih hidup atau tidak. Dengan hati-hati ia melangkah melompati genangan hitam tersebut.

Joe langsung mengibaskan tangannya. Tembakan seperti kembang api panas muncul dari sikunya, dan menghantam punggung Rain. Rain terguling. Kemudian ia bangkit dan memandang Joe dengan senang. ”Ah ya... lihat siapa yang mau jadi pahlawan,” ejeknya.

Rain dan Joe kemudian saling pandang penuh kebencian dan kemurkaan sebelum mengeluarkan kekuatan masing-masing.

Joe mengeluarkan tembakan kembali. Namun Rain hanya mengangkat alisnya dan menjentikkan jarinya dengan santai. Joe mendadak melayang ke belakang, dan jatuh terjengkang menabrak lemari buku. Darah kemudian menetes dari kupingnya, dan kaki serta tangannya dipenuhi oleh lebam biru.

Joe menggertakkan giginya dengan sangat marah.Ia kembali mengeluarkan api dari tangannya. Rain menangkis kembali serangan Joe dengan satu jentikan jari yang sangat santai. Joe kembali terjengkang ke belakang, menghantam beberapa komputer.

Joe balas menyerang kembali. Ia mengeluarkan serpihan es tajam dari tangannya kembali, berharap serangannya akan berhasil, namun luput. Rain memiringkan badannya dengan sangat gesit. Serpihan es tajam tersebut malah menghantam kepala Indra yang sedang bertarung dengan Abu. Dalam sekejap Indra langsung roboh diiringi pekik kemenangan Abu.

”BALAS SERANG!” teriak Joe murka. ”BALAS SERANG, KAU, SAMPAH!” raungnya geram.

Rain tertawa dingin. Tawanya menggema mengerikan. ”SAMPAH? BERANI-BERANINYA KAU MENYEBUT AKU SEPERTI ITU!” raung Rain tak kalah murkanya, kemudian kembali menjentikkan jarinya keras-keras. Sebuah asap seperti asap pembakaran sampah menghantam Joe keras-keras. Joe mendengking kesakitan, dan, tangannya sebelah kanan mendadak mati rasa dan tidak bisa digerakkan. Joe memegangi dadanya. Ia menatap Rain dengan sangat murka. Ia harus membunuh Rain, orang yang paling dibencinya di dunia ini...

”PENGECUT!” teriak Joe, menyeret tangannya, dan ia menendang salah satu komputer dengan sangat murka. Rain kembali menjentikkan jarinya, dan komputer itu langsung meledak dan hancur.

”Pengecut, kau menyebutku, Joe? Adikmu tidak akan melawan aku jika tidak 5 lawan 1, akan kau sebut apa dia, aku ingin mendengarnya,” raung Rain, kemudian mengibaskan jubahnya. Joe langsung terguling ke kanan, dan menempel di genangan minyak hitam itu.

”Kau kalah. Akui saja!” teriak Rain. Ia kemudian menginjak Joe tepat di hidungnya. Joe melolong kesakitan. Darah langsung muncrat setelah hidungnya diinjak dengan sangat keras oleh sepatu Rain.

Tidak hanya darah muncrat yang menyebabkan Joe menjerit kesakitan. Setelah puas menginjak hidung Joe, Rain mengibaskan lengan jubahnya kembali, dan Joe langsung merasa ia seperti disengat listrik bertegangan tinggi. Joe merasa Rain akan menyiksanya sampai mati…
--TO BE CONTINUED--

Part 7

Rain menatap puas Joe yang babak belur di lantai. Kemudian ia menghampiri kelima temannya yang sedang bertarung.
”Hentikan.” kata Rain dingin kepada Abu, Angel, Limbad, dan Aldi. Abu, Angel, Limbad, dan Aldi kemudian menghentikan serangan bertubi-tubi mereka kepada Robert, Rom, dan Sam.
”Master Deddy menginginkan anak itu saja. Ayo! Pergi! Bawa anak itu!” seru Rain. Manuel berusaha lari. Dengan cepat Limbad menjentikkan jarinya dan membuat Manuel jatuh. Kemudian dengan gesit Abu membawa Manuel, dan mereka semua keluar dari ruangan laboratorium komputer, meninggalkan Joe yang merintih kesakitan dan babak belur di antara genangan minyak, Darko yang masih pingsan, Indra yang juga pingsan, serta Rom, Sam, dan Robert yang juga merintih kesakitan dan berdarah disana-sini, serta anak-anak yang gemetar ketakutan.

Masih dalam keadaan kesakitan yang luar biasa, Robert mencoba berdiri. Darah menetes-netes dari ujung bibirnya. Ia kemudian mengambil pedang dari tangan Rom. Rom masih bersandar pada dinding, giginya copot 5 buah. Dengan susah payah Robert menghampiri Joe dan Darko yang terjebak di genangan minyak lengket itu.

Dengan langkah lemas Robert berusaha melenyapkan genangan minyak lengket itu. Setelah dicoba 3x, sama sekali tidak berhasil. Merasa putus asa, Robert kemudian menghampiri Sam, dan memintanya untuk membantunya. Sam kemudian berdiri dengan susah payah.

”Bersama-sama,” kata Robert lemas. Sam mengangguk. Bersamaan mereka memejamkan mata, dan sinar hijau keluar dari pedang masing-masing, kemudian menghantam genangan minyak itu. Dalam sekejap minyak itu langsung hilang.

Robert mengulurkan tangannya kepada Joe. Joe kemudian menyambutnya, dan mencoba berdiri, beberapa kali ia goyah dan hampir terjatuh.

”Sam, bangunkan Indra,” perintah Robert kepada Sam. Sam kemudian menghampiri Indra dan menyadarkannya dengan cara memukul kepalanya dengan pedangnya. Indra terbatuk dan bangun. Tampak kepalanya sedikit bocor akibat sasaran Joe yang luput.

Robert kemudian mengetukkan pedangnya ke pipi Darko. Perlahan-lahan Darko membuka matanya, kemudian ia berdiri.

”Dimana Manuel?” tanya Darko gugup. Joe menggeleng. ”Mereka membawanya. Kita harus mengejarnya!” sahutnya.

Darko menelan ludah dengan gugup, kemudian menghampiri anak-anak didiknya yang gemetaran.

”Ayo.” perintah Robert. Mereka kemudian keluar dari ruangan laboratorium itu.
”Ayo, anak-anak. Tetap di belakang Bapak,” kata Darko lemas.
Joe dan Robert memimpin barisan itu paling depan. Joe melangkah terpincang-pincang.
”Bagaimana kita tahu mereka membawa Manuel kemana?” bisik Indra.
”Benar, Robert, tidak ada jejak apapun,” keluh Sam.
”Pergunakan indra keenammu Robert. Berfungsi kan?” usul Joe pasrah.
Robert terdiam sejenak. ”Aku tidak tahu...tapi, apa salahnya mencoba,” jawabnya. Robert kemudian bersandar di dinding dan memejamkan matanya. Ia kemudian memegangi pelipisnya keras-keras.
Semua menunggu dengan harap-harap cemas, sampai akhirnya....
”Atas.” gumam Robert.


”Apa?” tanya Darko tidak mengerti. Robert membuka matanya. ”Ia membawa Manuel ke lantai atas. Ayo.” Ajaknya.

Mereka semua menaiki tangga, berjalan dengan sangat cepat.
”Kita harus berpencar,” kata Sam. Robert dan Indra mengangguk setuju.
”Darko, Joe, kalian keluarkan anak-anak dulu, aku, Sam, Robert, dan Indra, akan mencari Manuel.” kata Rom memberi perintah.
Darko dan Joe mengangguk. ”Baik.”
Mereka kemudian berpisah. Joe dan Darko memimpin barisan anak-anak tersebut, mereka menuruni tangga.
Gedung sekolah itu memang sangat luas sekali. Pintu masuk sekolah itu terasa jauh sekali.
”Pak Darko, Pak Joe, mungkinkah Manuel masih hidup?” tanya salah seorang anak.
Joe menoleh. ”Ia anak yang kuat, kalian tidak usah cemas,” jawabnya.
Mereka terus berjalan....

Terdengar suara langkah kaki dan derap langkah kaki yang lebih banyak. Joe bertukar pandang dengan Darko ”Suara apa itu?” tanya Darko heran.
”Tetap waspada,” perintah Joe. Mereka melangkah pelan-pelan.

Tiba-tiba Darko melihat sekelompok orang berjubah hitam, berlarian dan jeritan Manuel.
”Joe!” serunya panik. ”Manuel!”
”Kalian cepat cari jalan keluar!” seru Darko kepada anak-anak didiknya. Anak-anak itu kemudian berbalik arah, tidak membantah perintah Darko.
Joe dan Darko dengan nafas terengah-engah mencoba mengejar pasukan Aldi, Rain, Abu, Angel, dan Limbad. Joe merasa sebentar lagi ia akan lumpuh seketika. Kakinya terasa perih dan sakit sekali.
”Apakah mereka melumpuhkan Robert, Indra, Rom dan Sam?” teriak Darko dalam keadaan berlari.
”Entahlah,” sahut Joe. Kelompok magician hitam itu kemudian berbelok. Dengan tertatih-tatih Joe dan Darko terus mengejar mereka.... Masih terlalu jauh untuk Joe mengeluarkan serangan. Joe merasa paru-parunya sobek, nafasnya mulai terputus-putus.

Jarak Joe dan Darko akhirnya makin dekat dengan kelompok magician hitam itu. Joe langsung menarik jubah Abu sampai jubah tersebut robek. Manuel terpelanting jauh, dan kepalanya membentur ujung meja yang lancip. Beruntung ia tidak pingsan. Rain, Angel, Limbad, Aldi menoleh dengan geram.

Abu berbalik. ”Aku tidak mengerti kenapa engkau mau repot-repot menolong anak sial itu!” teriaknya, kemudian menjentikkan jarinya. Sebuah tali mendadak mengikat Joe kencang-kencang. ”Bawa dia!” teriak Abu. Rain kembali mengepit Manuel.

”Jangan! Langkahi dulu mayatku jika engkau ingin menyakiti anak didikku!” seru Darko tiba-tiba.

Joe merasa sangat terkejut. Ya ampun, apa-apaan Darko menantang mereka?

Joe ingin sekali berteriak kepada Darko agar tidak melawan para magician hitam itu, tetapi mulutnya terkunci. Ia tidak bisa membuka mulutnya lagi, Joe terus berusaha berguling melepaskan tali yang mengikatnya.

Aldi, Angel, Limbad, Rain, dan Abu tertawa meremehkan.
”Ck ck ck..Pak Guru yang hebat, memangnya Anda pikir bisa mengalahkan kami ya?” tanya Limbad dengan nada mengejek.
Rain melepaskan kempitannya dari Manuel. Ia melipat tangannya.
”2 orang bodoh sok mau jadi pahlawan,” kata Rain mengangkat alisnya. Darko tetap berdiri tegap. Ia tidak merasa takut sama sekali.
”Saya tidak takut kepada kalian! Kalian hanyalah sampah masyarakat!” kata Darko kalem. Joe semakin ngeri. Ya ampun, Darko benar-benar kelewatan. Sementara Joe masih belum bisa melepas tali yang mengikatnya. Kekuatannya tidak bisa membuat tali kencang itu putus.
”Beri dia pelajaran,” ujar Angel tak kalah kalemnya.
Secara bersamaan mereka berlima menjentikkan jari mereka. Ledakan keras berwarna putih panas keluar. Darko melompat menghindar. Ledakan itu kemudian menghantam papan visi misi sekolah. Papan itu kemudian hancur berkeping-keping.
”Aku tidak takut! Keluarkan lebih dari itu!” ejek Darko sambil menjulurkan lidahnya. Mereka berlima semakin geram, kemudian kembali mengeluarkan ledakan. Ledakan itu kembali luput mengenai Darko.

Darko menjulurkan lidahnya kembali. ”Tidak kena, tidak kena! Wee..” ejeknya.
Rain tampak berang sekali. ”Baiklah, jika kau ingin bermain-main dengan kami!” seru Rain muka. Ia kemudian kembali mengeluarkan sinar kecoklatan. Darko menghindar kembali. Angel kemudian menjulurkan kakinya, dan Darko langsung tersandung, tapi ia bangkit kembali.

Karena asyik dengan Darko, para magician itu melupakan Manuel sejenak. Manuel kemudian bangkit, dan menghampiri Joe. Manuel kemudian menatap Joe dalam-dalam, berkonsentrasi, kemudian laser berwarna ungu keluar dari matanya dan laser itu dalam sekejap menghancurkan tali yang mengikat Joe. Joe langsung bangkit, dan merasa berterima kasih sekali kepada Manuel. ”Pergi jauh-jauh dari sini, cari yang lainnya, paham?” kata Joe sambil memegang pundak Manuel. Manuel mengangguk, kemudian berlari secepat kilat.

Joe kemudian mengambil serpihan papan visi misi sekolah. Ia kemudian memukulnya keras-keras ke kepala Rain. Rain mendengking. Kemudian balas meninju keras-keras kaca mata Joe. Joe tengkurap di lantai, kemudian mengeluarkan serpihan kaca dari tangannya. Kaca itu sedikit demi sedikit menghantam kaki Angel, Limbad, Abu, dan Aldi. Mereka yang kaget akan serangan Joe yang mendadak, menghentikan mempermainkan Darko.


”Pak Darko, cepat lari!” seru Joe, masih tengkurap di lantai. Darko hanya terpaku di tempatnya. Memandang ngeri Joe, dan para magician itu. Ia tidak mungkin membiarkan Joe menghadapi para magician mengerikan itu sendirian...

”Tunggu apalagi? CEPAT LARI!” teriak Joe berang. Ia tak habis pikir kenapa Darko tidak mementingkan nyawanya...

Part 8

Darko masih terdiam pada tempatnya. Joe kemudian berguling ke sana kemari, berusaha menghindar dari injakan para magician itu.
”LARI, PAK DARKO!” teriak Joe lagi. ”CARI MANUEL!” teriaknya berang.
Namun Darko tetap tidak bergeming dari tempatnya.
Tiba-tiba saja Darko membuka sebelah sepatunya dan melemparnya. Sepatu itu hampir saja mengenai kepala Angel dan Limbad secara bersamaan.

”Apa-apaan kau ini?!” raung Rain berang, kemudian menunjuk Darko. Pakaian Darko kemudian robek panjang, seakan-akan disilet oleh silet tak terlihat.

”Kau pikir aku akan membiarkanmu disini sendirian, Pak Joe?” teriak Darko tak kalah hebat.

”KAU GILA! PERGI SANA! BIAR AKU MENGHADAPI MEREKA SENDIRIAN!” seru Joe, masih berguling di lantai.

”Masih sempat-sempatnya bercakap-cakap,” dengus Aldi, kembali menjentikkan jarinya. Sebuah petasan kembali muncul, meledak, dan membakar sebagian sepatu Darko.

Joe tak habis pikir. Ia kemudian mengepalkan tangannya kembali, dan paku-paku kecil bersiweran keluar, membuat para magician itu lengah.

Darko langsung membantu Joe berdiri, dan mereka berdua langsung keluar. Tampak di lantai yang putih bersih itu terdapat jejak kaki sepatu mungil.

”Jejak kaki Manuel, ayo Pak Darko!” seru Joe. Darko dan Joe berlari berbarengan. Mereka mengikuti jejak sepatu tersebut. Saat berbelok ke arah perpustakaan, Joe dan Darko melihat 4 tubuh sekaligus tertelungkup. Mereka tidak sempat membangunkan Robert, Indra, Rom, dan Sam, karena terdengar derap langkah kaki para magician yang mengejar mereka. Sekolah itu sudah sunyi sekali, dan Joe dapat menebak bahwa anak-anak dan guru-guru yang lain mungkin sudah berhasil meloloskan diri.

Mereka menaiki tangga, dan jejak sepatu itu berakhir di ruang Kepala Sekolah. Joe menendang pintu. Benar saja, Manuel sedang bersembunyi di bawah kursi putar Kepala Sekolah.



Joe dan Darko langsung menghampiri anak yang ketakutan itu. ”Ayo. Kita keluar dari sini.” kata Joe kepada Manuel. Dengan gemetaran Manuel berdiri.

Pintu menjeblak terbuka sebelum mereka semua sempat lari. Rain memandang Joe dengan penuh kebencian, kemudian ia menjentikkan jarinya. Sinar seperti warna kembang api menghantam Joe sebelum Joe sempat melawan. Joe terhuyung. Mendadak kakinya mati rasa. Kekuatan Rain telah membuatnya lumpuh.

Darko tidak bisa berbuat banyak. Dengan cepat ia menyambar tangan Manuel dan berusaha keluar dari tempat itu. Namun Abu langsung menjentikkan jarinya, dan pintu ruangan tersebut langsung tertutup. Darko langsung merentangkan tangannya, berusaha melindungi Manuel.

”Kau ingin hidup kan?” kata Angel sebal. Darko tidak menjawab, hanya menggigit bibirnya.

”Serahkan anak itu!” teriak Abu. Darko tetap merentangkan tangannya.
Limbad dan Aldi kemudian mengibaskan lengan jubah mereka bersamaan. Darko terjatuh. Ia kemudian memegangi kepala Manuel kuat-kuat.
Joe hanya bisa menonton dengan ngeri. Sebelah tangannya masih tidak berfungsi,dan kakinya sekarang lumpuh.. Joe tidak bisa mengeluarkan kekuatannya sama sekali.

”Belum kapok juga rupanya,” kata Rain sebal. Kembali ia mengibaskan tangannya, berusaha menyerang Darko kembali. Namun Darko dengan gesit menggeser badannya dan mendorong Manuel. Serangan Rain kemudian menghantam akuarium dan membuat beberapa ikan keluar dan menggelepar-gelepar. Salah satu ikan kemudian terpental,dan mendarat tepat di mata Rain. Rain melolong. Ikan itu terus mencakarnya. Mendadak Rain menjadi buta...

Darko yang melihat kesempatan itu, kemudian mengambil ikan-ikan lain yang menggelepar di lantai. Ikan-ikan yang ia lempar kemudian tepat mengenai sasaran. Abu digigit kupingnya, Angel digigit lehernya, Aldi dan Abu dicakar matanya oleh ikan yang dilempar Darko. Mereka semua kemudian ambruk ke lantai dengan bunyi debam mengerikan.

”Keluarkan kekuatan anda, Pak Joe!” seru Darko panik. ”Mereka lengah! Ayo!” sambungnya.
Joe yang masih tiduran di lantai menggeleng lemah. ”Aku tidak bisa, Pak Darko...” katanya. Bahkan untuk berbicara pun mulutnya terasa sakit.

Mendengar Joe begitu lemah, Darko kemudian mengangkat meja kepala sekolah kuat-kuat dan menghantamkannya keras-keras kepada kelima magician yang masih berkutat dengan ikan-ikan itu. ”Manuel!” seru Darko. ”Ayo!”

Manuel kemudian mengeluarkan laser putih dari matanya, ia berusaha mengeluarkan laser yang sangat kuat. Laser itu kemudian menciptakan ledakan seperti dinamit. Kelima magician itu langsung terpelanting dua kali, terjengkang, dan suara mereka tidak terdengar lagi. Manuel dan Darko berhasil melumpuhkan mereka. Manuel kemudian tersenyum.
”Hebat sekali,” ujar Darko terengah. Kemudian senyum manis melintas di wajahnya. ”Kita menang.” kata Darko, kemudian mengangkat tangannya. ”Kita memenangkan pertarungan, Pak Joe, hahahahaha...” kata Darko sambil tertawa.
Joe dan Manuel merasa lega. Darko masih tertawa ketika tiba-tiba saja sebuah sinar merah keabu-abuan meluncur, menghantam perut Darko keras-keras, membuat tawa Darko dalam sekejap menghilang. Darko langsung terjun bebas dan menabrak dinding. Kepalanya dan hidungnya berdarah, matanya langsung terpejam. Joe merasa ia ikut melayang di udara. Tidak jelas siapa yang menyerang Darko karena ruangan itu masih dipenuhi oleh kabut bekas laser yang dikeluarkan Manuel. Joe merasa ngeri sekali. Darko masih hidup, Darko masih hidup, ia Cuma pingsan.. bisik nya dalam hati.
Terdengar suara jentikan jari dengan keras. Kabut laser Manuel perlahan-lahan turun. Ternyata, yang menyerang Darko adalah Master Deddy dan Master Romi.
Mereka kemudian memandang dengki Joe yang masih terpuruk di lantai, Darko yang berlumuran darah, dan juga anak buah mereka yang sudah tergeletak tak bernyawa. Mereka berdua kemudian memandangi Manuel.
”Habisi dia sekarang,” kata Master Deddy. Master Romi mengangguk. Bersamaan mereka mengangkat pedang mereka. Joe ingin sekali menahannya, namun kakinya tetap tidak bisa digerakkan.
Asap hitam kemudian muncul dari ujung pedang masing-masing. Asap itu makin dekat, nyaris menghantam Manuel, ketika sebuah sinar biru perlahan-lahan melenyapkan asap tersebut. Hati Joe bersorak senang. Robert dan Indra ternyata telah sadar.
Indra kemudian menghampiri Joe. Indra mengetukkan pedangnya 4x ke kaki Joe, dan Joe langsung bisa merasakan kakinya bergerak kembali. Setelah itu Indra mengetukkan pedangnya ke tangan Joe. Joe merasa tangannya pulih kembali.

Master Deddy dan Master Romi merasa kesal sekali. Mereka kemudian berusaha mengeluarkan asap dari pedang mereka lagi. Joe, Robert, Indra, dan Manuel kemudian menggabungkan kekuatan mereka kembali. Ledakan dashyat berwarna biru keperakan muncul , menghantam keduanya, dan juga menghantam langit-langit. Serpihan debu dan batu berjatuhan. Master Deddy dan Master Romi belum bisa bangkit akibat serpihan langit-langit yang menimbun mereka.

Robert langsung memberikan kode kepada Joe. Joe mengangguk. Joe kemudian mengeluarkan sinar hijau toska dari telunjuknya, Robert dan Indra mengeluarkan petir dari pedang mereka, dan Manuel mengeluarkan laser dari matanya. Gabungan kekuatan mereka kemudian kembali meliuk-liuk, menyatu menjadi gumpalan seperti api, kemudian menghantam Master Deddy dan Master Romi keras-keras. Mereka berdua terjengkang dengan suara BUM keras. Asap perlahan-lahan turun, dan tampak mereka berdua sudah tidak bernyawa kembali.

”Bagaimana mereka bisa kesini?” tanya Joe.
Indra menoleh. ”Kurasa dari bola kristal itu... ” ujar Indra, menunjuk bola kristal yang sudah hancur berkeping-keping.

”Dan kenapa kalian bisa mengetahui kami disini?” tanya Joe lagi.
”Indra keenamku, tentu saja,” jawab Robert kalem.
”Dimana Sam dan Rom?” todong Joe kembali.
”Mereka masih pingsan. Kami tidak sempat membangunkan mereka,” sahut Indra.
Joe tiba-tiba teringat Darko. ”Darko!” serunya dan menghampiri Darko yang masih pingsan dan berlumuran darah.
”Astaga, kenapa dia?” tanya Robert panik.
”Dua magician tadi menyerangnya,” jawab Joe cemas. Robert kemudian memeriksa denyut nadi Darko.
”Ia masih hidup.” kata Robert. ”Sekarang kita harus keluar dari sini. Anak-anak dan guru lain masih bersembunyi di halaman. Indra keenamku yang memberitahu.”
”Kenapa mereka tidak kabur?” tanya Joe.
”Sepertinya orang-orang busuk ini mengunci semua jalan keluar,” jawabnya.
”Kau kuat menggendong dia?” tanya Indra kepada Joe. Joe mengangguk. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menggendong Darko di punggungnya.
”Harus cepat, pendarahannya banyak sekali, dan aku tidak bisa menyembuhkannya,” kata Robert. Mereka semua akhirnya keluar, kembali ke tempat Rom dan Sam yang tergeletak pingsan. Indra kemudian menciptakan ledakan dashyat dari pedangnya. Rom dan Sam terkejut dan bangun.
”Sudah berakhir, kita semua pergi dari sini,” kata Joe ketika Rom dan Sam membuka mulut mereka hendak bertanya.

Mereka kemudian keluar dari sekolah itu. Benar saja, anak-anak dan guru-guru lain tampak berkerumun. Mereka tampak takut sekali.

Joe merentangkan tangannya memberikan isyarat agar mereka semua tidak meminta penjelasan terlebih dahulu.

”Siapa yang punya telepon, kita harus membawa Darko ke rumah sakit.” kata Joe tegas. Salah seorang guru kemudian menyerahkan telepon genggam jebotnya. Joe langsung memanggil ambulans. Tidak berapa lama, ambulans datang. Joe kemudian memerintahkan para guru untuk membawa anak-anak pulang. Sementara ia, Robert, Indra, Rom, Sam,dan Manuel membawa Darko ke rumah sakit.

Part 9
Sesampainya di rumah sakit, Darko langsung dibawa ke ruang ICU.
”Menurut Bapak, apakah Pak Darko akan selamat?” tanya Manuel lugu. Joe mengangguk optimis.
”Joe, Darko memiliki istri. Kita harus memberitahunya.” kata Indra. Joe mengangguk, kemudian meminjam telepon rumah sakit.
Satu jam kemudian sang istri datang, dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Joe menceritakan dengan singkat sementara sang istri, Dina mengatup mulutnya dengan tangannya karena ngeri.
Lama sekali mereka menunggu. Joe yakin sekali Darko tidak akan apa-apa.
Setelah menunggu dengan sangat lama, Dokter akhirnya keluar. Melihat ekspresi Dokter yang keliatan sayu, Joe langsung merasa tidak enak.
”Maafkan kami. Kami sudah berusaha menyelamatkan teman kalian. Kami turut berduka cita,” kata Dokter yang tampak sangat kelelahan itu.
Joe, Indra, Robert,Manuel, dan Dina menganga tak percaya. Dina tiba-tiba merosot dan menutup mulut dengan tangannya. ”Tidak mungkin! Tidak! Tidak! Suamiku tidak mungkin meninggal!” teriaknya sambil merosot ke dinding. Joe, Indra, dan Robert berusaha memegangi perut Dina dan menenangkannya. Ya Tuhan.. pikir Joe.. Ia betul-betul guru yang hebat.. Darko... Joe masih merasa shock akan berita yang dibawa dokter tadi..

Keesokan harinya

Hari yang mendung semakin membuat hati Joe kelabu. Hari itu adalah hari penghormatan terakhir dan pemakaman Darko.

Tirai hitam dipasang di sekolah tersebut sebagai penghormatan terakhir untuk Darko.

Setelah acara berdoa bersama dan jenazah selesai dimakamkan, Kepala Sekolah mempersilahkan Joe untuk menyampaikan kata sambutan.

Joe kemudian berdiri di atas podium. Ia menarik nafas dalam-dalam.

“Denny Darko,” ucapnya membuka pidatonya. “Adalah sosok guru yang luar biasa.” Sambungnya lagi. Joe menahan nafasnya kembali.
“Pengabdiannya, dedikasinya, untuk anak-anak muridnya sangat patut diberi acungan empat jempol. Tawa terakhirnya, akan selalu membekas di ingatan saya.” Kata Joe pelan, kemudian terdiam sejenak.
Hadirin saling berbisik. Kemudian menunggu Joe untuk melanjutkan pidatonya kembali.
Joe kembali menarik nafas.

“Saat itu, adalah saat yang tidak akan pernah terlupakan oleh saya. Ketika ia rela berkorban demi muridnya. Dengan gagahnya ia mencoba melawan para magician itu, tidak perduli apa yang akan terjadi pada dirinya.” Joe berusaha menekan tingkat kesengauan suaranya.

“Saya tidak bisa bilang tidak kepadanya. Saya tidak berhak melarangnya untuk melindungi murid-muridnya. Dia tidak takut. Dia melangkah maju. Saya khawatir sekali ketika itu.”

“Ketika ia berhasil menyerang para magician itu dan membuat mereka jatuh.. Saat itu, kami mengira bahwa kami akan memenangkan pertarungan. Saya melihatnya mengangkat tangannya dengan bangga, sebagai tanda kemenangan. Kemudian ia tersenyum tulus, sebagai tanda pengabdiannya kepada muridnya.” kata Joe sambil memperagakan ketika Darko mengangkat tangannya. Joe menyedot ingusnya.

Matanya berkaca-kaca sekarang. Joe memejamkan matanya perlahan, kemudian melanjutkan pidatonya kembali.

”Saya benar-benar tercengang. Saya bersumpah, saat melihat senyuman tulusnya yang terakhir, ia mengangkat dunia saat itu. Dia menjadikan saya orang yang lebih baik, walaupun hanya sekejap saja.” katanya lagi.

”Saya benar-benar merasa berterima kasih kepada Darko. Ia guru terhebat yang pernah ada. Tidak banyak guru yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk anak-anak muridnya. Dan Darko adalah 1 diantara 100 guru yang seperti itu. Saya memang baru mengenalnya, tetapi ia memberikan banyak pelajaran bagi saya.” kata Joe lagi, suaranya sudah sangat bergetar. Joe menahan air matanya keluar.

”Untuk itu, saya meminta anda semua untuk berdiri dan menyebut nama Denny Darko sebagai tanda penghormatan yang terakhir.” pinta Joe.

Joe kemudian memejamkan matanya, dan sebuah lilin yang menyala secara ajaib kini dipegang oleh seluruh hadirin.

Meski heran, seluruh hadirin kemudian berdiri, dan mengangkat lilin yang mereka pegang masing-masing. Tampak Robert, Indra, Manuel, dan Dina menitikkan air mata.

”Denny Darko.” kata mereka semua sambil mengacungkan lilin yang mereka pegang masing-masing. Joe menggigit bibir dan mengangguk. Ia memejamkan matanya kembali dan seluruh lilin kemudian padam, dan lenyap. Joe turun dari podium, dan para pelayat kemudian pulang ke rumah masing-masing.

”Pidatomu sungguh menyentuh,” kata Indra pelan. ”Istrinya tidak berhenti terisak mendengarkan pidatomu,” sambung Robert. Manuel mengangguk menyetujui. Joe hanya tersenyum kecil.

Setelah pertempuran sengit yang membuat Darko menjadi korban, Joe akhirnya memutuskan untuk mengadopsi Manuel. Dua tahun setelah mengadopsi Manuel, Joe dan Dina akhirnya jatuh cinta dan menikah. Mereka terbentuk menjadi keluarga yang sangat bahagia. Kebahagiaan mereka makin lengkap setelah Joe ditunjuk menjadi wakil kepala sekolah.

Setelah peristiwa itu, Manuel tidak pernah mau menggunakan kekuatannya lagi. Sekarang ia telah hidup tenang bersama ayah dan ibu baru yang sangat menyayanginya.

--THE END--

Rabu, 10 Juni 2009

Declan Galbraith "Tell Me Why" sebuah lagu yang merupakan jeritan hati seorang anak..



In my dream children sing a song of love for every boy and girl
The sky is blue and fields are green and laughter is the language of the world
Then I wake and all I see is a world full of people in need

Tell me why (why) does it have to be like this?
Tell me why (why) is there something I have missed?
Tell me why (why) cos I don't understand.
When so many need somebody we don't give a helping hand.
Tell me why?

Everyday I ask myself what will I have to do to be a man?
Do I have to stand and fight to prove to everybody who I am?
Is that what my life is for to waste in a world full of war?

Tell me why (why) does it have to be like this?
Tell me why (why) is there something I have missed?
Tell me why (why) cos I don't understand.
When so many need somebody we don't give a helping hand.
Tell me why?

(children) tell me why? (declan) tell me why?
(children) tell me why? (declan) tell me why?
(together) just tell me why, why, why?

Tell me why (why) does it have to be like this?
Tell me why (why) is there something I have missed?
Tell me why (why) cos I don't understand.
When so many need somebody we don't give a helping hand.

Tell me why (why,why,does the tiger run)
Tell me why (why why do we shoot the gun)
Tell me why (why,why do we never learn)
Can someone tell us why we let the forest burn?

(why,why do we say we care)
Tell me why (why,why do we stand and stare)
Tell me why (why,why do the dolphins cry)
Can some one tell us why we let the ocean die ?

(why,why if we're all the same)
tell me why (why,why do we pass the blame)
tell me why (why,why does it never end)
can some one tell us why we cannot just be friends?

pertama kali denger lagu ini, hati gw serasa ditonjok. Mata gw juga pengen banget nitikkin air mata waktu denger lagu ini. Campuran kagum dan heran menyatu waktu gw tau, yang nyanyiin lagu ini adalah seorang anak berusia 10 tahun. Declan James Galbraith. Dan, dia nyanyiin lagu ini dengan penuh penghayatan. Lebih kaget lagi begitu tau, kalo yang nyiptain lirik lagu ini adalah Declan sendiri.
Terus gw berpikir. Kalau aja semua orang punya pikiran yang sama kayak Declan ini, mungkinkah tidak akan ada lagi pertikaian dan perng di dunia? Seorang anak berumur 10 tahun saja bisa berpikir begitu dewasa seperti ini... Kenapa orang-orang yang senang berperang dan bertikai tidak bisa?
Gw juga berpikir.. mungkinkah ada yang bisa menjawab jeritan hati Declan dalam lagu ini?
"can someone tell us why we let the forrest burn?" jujur gw ga bisa ngejawabnya.
"why why do we shoot the gun?" ya, kenapa banyak orang menembakkan pistol?
"why why if we're all the same?" ya, kenapa harus berperang, bertikai, jika kita semua sama?
Declan.. gw harap lebih banyak lagi orang yang mendengar lagu ini, dan bisa membukakan pintu hati mereka untuk perdamaian dunia..

Puisi#3 "Doaku"

Tik tik, hujan lagi, segalanya terasa sangat aneh.
Aku duduk sendirian karena engkau tidak ada disini.
Kemudian aku meminta angin untuk membisikkan namamu..
Untuk membawamu kembali dan, segalanya kan sama seperti dulu.
Segala yang ada di sekelilingku begitu hampa dan biru..
Dan, hanya doa ini yang dapat aku lakukan.
Jika saja engkau bisa tahu,
Betapa kami merindukanmu..
Mungkin engkau akan bangkit dari tidur panjangmu,
dan selamanya tinggal.
Aku mengangkat tangan kepada surga, memohon kepada Tuhan untuk mengembalikanmu kepadaku
Sehingga, aku bisa menyanyikan lagu kita, setelah sekolah, di dalam perjalanan kita pulang ke rumah, seperti yang biasa aku lakukan..

Puisi #2 "I Beg Heaven To Bring You Back"

I stood in the park while it was raining

Where your swing still moves sadly..

And I begged the wind to call you quietly...

For you to come back to my dreams..



Everything is empty, the park and the bench too..

And the chalk from school doesn't write anymore..

If you'd only know how sad we are

You'd come down and wouldn't go away anymore



And I beg heaven to bring you back

For us to sit together again on the last bench

And for me to sing you our song

When the school bell ticks the end of the hour

Puisi "Badai Sekarang Berakhir"

Aku terjebak dalam terowongan gelap,dan tidak dapat melihat cahaya
Dan ketika aku menengadah, aku tak dapat melihat langit
Kadang, ketika aku berdiri, terasa seperti berjalan bermil-mil
Dan,hatiku dapat menangis di tengah riang tawa
Kemudian aku mendaki bukit dan melihat gunung..
Aku memohon pertolongan, karena aku tersesat di antara badai angin
Dan sebuah suara mengatakan "badai sudah berakhir."
Sekarang aku dapat melihat sinar matahari, di balik awan..

Tak Lekang Oleh Waktu, short story written by me

Di suatu kota di Bandung, hidup dua orang yang bersahabat karib sekali sejak kecil, mereka adalah Joe Sandy dan Abu. Joe merupakan seseorang yang cerdas dan hidup sendiri tanpa orang tua. Sedangkan Abu adalah anak keluarga berada yang kurang beruntung karena kakinya pincang. Selain itu daya tahan tubuhnya lemah sekali.Namun persahabatan mereka tidak terhalangi oleh perbedaan itu. Keduanya sama-sama menyukai sulap. Mereka berdua sering sekali mempraktikkan trik-trik sulap bersamaan.
Suatu hari, ketika pulang ke rumahnya, Joe melihat iklan salah satu stasiun televisi swasta yang mengadakan acara “The Master.” Joe yang sangat menyukai sulap tertarik untuk mengikuti acara tersebut. Tentu ia tak melupakan sahabatnya Abu.
Dengan riang Joe mampir ke rumah Abu dan memberitahu soal acara The Master tersebut. “Ini saatnya kita menggapai mimpi kita,” kata Joe. “Menjadi pesulap professional.” Abu pun merasa gembira dan sangat tertarik. “Kapan audisinya dimulai, Joe?” tanyanya. “Minggu depan. Audisinya di Jakarta. Di Mal Emporium. Ayolah, kita harus ikut, acara ini benar-benar hebat,” kata Joe gembira.
Mendadak senyum menghilang dari wajah Abu. “Kurasa orangtuaku tidak akan mengizinkanku, Joe. Kau tahu.. mereka tidak pernah mendukung hobiku.” kata Abu. Joe memandang sahabatnya itu dengan perasaan iba. “Tapi, Abu, kau bisa mencoba membujuk mereka, kan? Mereka mau mengantarmu, kan? Ayolah… kau sudah 22 tahun, masa mereka tidak mengizinkanmu pergi?” kata Joe memelas.
Abu tersenyum. “Entahlah kawan… tapi aku akan mencoba bicara dengan mereka.” Jawabnya. Joe tersenyum senang. “Beri tahu aku setelah itu, ok?” katanya sambil mengedipkan mata. Kemudian Joe pulang kembali ke rumahnya. Sewaktu makan malam, Abu mencoba berbicara dengan kedua orangtuanya. “Pa, Ma, aku ingin mengatakan sesuatu, boleh?” tanya Abu sambil menyendok telur gorengnya.
“Boleh saja, apa yang ingin kau bicarakan, nak?” tanya Andre, ayah Abu. “Salah satu stasiun televisi swasta mengadakan acara The Master. Aku ingin sekali mengikutinya,audisinya di Jakarta, boleh kan Pa?” tanya Abu sambil memandang ayahnya. Reaksi ayah dan Ibu Abu langsung bisa ditebak. “Tidak.” Kata mereka berdua tegas. Abu menghela nafas. “Ayolah…pa, ma. Aku kan sangat menyukai sulap…” katanya lagi.
Pak Andre melempar serbetnya. “Tapi kami tidak menyukainya, Abu. Kau tahu, kau itu lemah, dan kami tidak suka kau memainkan permainan konyol seperti sulap itu!” katanya tegas. Ibu Abu, Rita, mengangguk menyetujui. Abu merasa kesal sekali. Matanya berkaca-kaca sekarang. “Papa dan Mama tidak pernah mengerti aku!” serunya sambil mengambil kruknya, dan ia masuk ke dalam kamarnya, dan membanting pintunya. Kedua orangtuanya hanya bisa diam melihat kekecewaan anaknya itu. Di kamarnya Abu bersungut-sungut. Beruntung sekali Joe, dia bebas melakukan apa saja yang dia mau, gerutunya dalam hati.
Keesokan harinya..
Seperti biasa Joe mampir ke rumah Abu. Joe dengan riang menceritakan bahwa tabungannya sudah cukup untuk pergi ke Jakarta. Ia membicarakan apa yang akan ia persiapkan untuk audisi nanti. Abu mendengarkan dengan murung. Joe akhirnya berhenti berbicara. “Kenapa kau, teman?” tanyanya. Joe menepuk pundak Abu. “Ayolah, hari ini cerah sekali! Kenapa mukamu mendung seperti itu?”
“Joe, orangtuaku tidak mengizinkan aku untuk pergi ke Jakarta dan mengikuti audisi The Master,” jawab Abu pelan. Joe tertegun. Ia merasa sangat iba dengan kawannya itu. Ia tidak tahu harus berkata apa. “Kau pergi saja kesana… jangan gara-gara aku kau jadi tidak bisa menggapai mimpimu,” kata Abu. “Aku akan selalu mendukungmu”. Joe menggeleng. “Kau lupa janji kita? Bersama-sama selamanya.” Kata Joe sambil menatap Abu dengan serius. Abu menatapnya heran, dan tersenyum. “Ya.. tapi..”
“Aku akan membantumu keluar malam ini tanpa sepengetahuan orangtuamu.” Kata Joe sambil tersenyum. “Kau yakin?” tanya Abu. Joe tersenyum. “Yakin sekali. Kau tidak boleh tidak ikut audisi The Master. Kita akan pergi ke Jakarta malam ini.” Sambungnya lagi.
Abu tersenyum. Kemudian ia dan Joe mengaitkan kelingking mereka. “Bersama-sama, selamanya,” kekeh keduanya.
Malam pun tiba. Abu sudah bersiap-siap menunggu Joe. Sepanjang malam ia tak tidur. Detik demi detik ditunggunya. Sampai akhirnya bunyi pelan menghantam kaca jendelanya. Ternyata Joe, yang melempar batu ke kaca jendela kamarnya.“Psst,” kata Joe. “Ayo.” Joe ternyata bergelayut di jendela kamar Abu.
“Pelan-pelan.” Balas Abu, menyerahkan kruknya. “Jangan sampai orangtuaku bangun.”sambungnya lagi. Namun tangan Abu licin. Kruk itu tergelincir dari tangannya dan menghantam kepala Joe, kemudian terpelanting ke tanah dengan pelan. “Aw,” kata Joe. “Hati-hati dong, kawan!” Abu langsung nyengir. “Sori, sobat,” katanya. Terdengar suara Pak Andre yang sedang mendengkur. Abu perlahan-lahan melangkahkan kakinya ke luar jendela. Joe memeganginya. “Awas kakimu kena kepala aku,” bisik Joe dengan suara yang sangat rendah.
Joe akhirnya berhasil membantu Abu keluar. Mereka saling tos. “Ya! Jakarta, aku datang!” kata Abu sambil meninju udara. Joe terkikik. “Ayo.” Katanya geli.
Mereka berdua kemudian berjalan. Sampai akhirnya benar-benar keluar dari area rumah Abu. “Jadi,” kata Abu. “Kita ke Jakarta sekarang?” Joe terpingkal. “Mau nunggu tahun depan?” katanya riang. “Ayo, kejar mimpi kita sekarang!” Kedua sahabat itu tertawa di tengah sunyinya malam. Joe kemudian menyetop taksi. “Ke stasiun yah,” kata Joe sambil membantu Abu naik ke taksi tersebut. “Baik,” kata supir itu.
Selama perjalanan , Joe dan Abu terus membayangkan seperti apa mereka jika mengikuti acara The Master tersebut. Mereka akhirnya sampai di stasiun kereta api. Joe membantu Abu turun. Ia langsung ke loket tempat penjualan tiket. “Dua tiket untuk ke Jakarta,” kata Joe riang sambil merogoh sakunya. Penjual tiket kemudian merobek 2 tiket untuk mereka. “Tunggu setengah jam lagi, kereta akan datang.” Katanya. “Baiklah,” jawab Joe.
Mereka kemudian duduk. Sambil membunuh waktu, Joe dan Abu bercanda tak henti-hentinya. Mereka bermain suit gunting kertas batu, dan terus tertawa. Orang-orang yang berlalu lalang menatap mereka dengan heran, karena tentu Joe dan Abu sudah bukan anak-anak lagi.
Tanpa terasa setengah jam berlalu. Kereta yang ditunggu akhirnya datang. Penumpang pun turun. “Ayo,” kata Joe semangat. Joe membantu Abu berdiri. Dengan semangat Joe dan Abu menaiki kereta itu. Beruntung sekali banyak tempat duduk yang sudah kosong. Joe dan Abu langsung duduk. “Kira-kira,” kata Abu, “apa yang akan mereka katakan setelah melihat atraksi sulap kita, ya Joe?”
“Abu, Abu, pikiranmu terlalu jauh… kita sampai disana saja belum,” kata Joe sambil tertawa lepas. Abu balas tertawa. “Haha.. aku kan cuma berandai-andai saja,” katanya.
Perjalanan mereka terasa sangat singkat. Tiba-tiba saja mereka sudah sampai di Jakarta.
Abu tertidur dalam perjalanan itu. Joe menepuk-nepuk pipinya. “Abu, bangun, ayo, kita sudah sampai.” kata Joe.
Abu mengucek matanya. ”Sudah sampai? Cepat sekali.” katanya. Joe langsung membantu Abu berdiri. “Inilah Jakarta.” bisik Joe sambil memandang sekeliling. Mereka kemudian berjalan keluar dari stasiun tersebut. Angin malam yang dingin tidak meruntuhkan semangat 2 anak muda yang ingin mengejar mimpinya itu.
“Sekarang, yang kita lakukan adalah mencari tempat menginap,” kata Joe. Abu mengangguk. “Asik sekali nih, berhari-hari di Jakarta,” kata Abu. “Audisinya tanggal berapa sih Joe? “Tanggal 6.. Masih seminggu lagi,” sahut Joe. Joe kembali menyetop taksi, dan mereka langsung meminta tolong supir taksi itu untuk ikut membantu mencarikan tempat penginapan.
             Sementara itu, di rumah Abu…
Pak Andre yang terbangun akibat kucing yang hendak merampok ikan, terkejut melihat kamar putranya sudah kosong dan jendelanya terbuka. Ia langsung membangunkan Bu Rita.
“Mama… Abu tidak ada di kamarnya!” seru Pak Andre. Bu Rita yang tengah tertidur nyenyak langsung terbangun. “Papa, jangan bercanda!” seru Bu Rita. “Ayo, periksa saja kamarnya!” kata Pak Andre sambil sedikit menyeret Bu Rita.
Bu Rita langsung terkejut melihat kamar Abu yang sudah kosong dan jendelanya yang terbuka. “Sepertinya Abu kabur lewat jendela.. Kalau tidak kenapa jendelanya terbuka?” kata Pak Andre. “Papa, anak kita itu pincang, dia tidak mungkin bisa melewati jendela itu sendirian!” sahut Bu Rita. Pak Andre terdiam dan berpikir sejenak. “Pasti ada orang yang membantunya keluar.” katanya.
Pak Andre dan Bu Rita saling bertukar pandang. “JOE!” kata mereka berbarengan. “Pasti Joe mengajaknya untuk mengikuti audisi The Master itu…” kata Pak Andre.
Bu Rita tertegun. “Kalau memang iya… ya ampun, mereka Cuma berdua malam-malam gini, Papa, sungguh mengkhawatirkan!” kata Bu Rita. “Mama tenang dulu.. kita telpon polisi.” kata Pak Andre mencoba menenangkan Bu Rita.
Di Jakarta..
Supir taksi itu terus menerus berbelok ke sana kemari. Joe yang tadinya santai saja, sekarang mulai cemas. “Pak?? Bisakah Bapak membawa kami ke wisma terdekat?” tanyanya, tetapi suaranya terdengar aneh. Supir itu tidak menjawab sama sekali. Ia terus mengendarai taksi dengan kecepatan yang tinggi. “Pak, Anda bisa mendengar saya Pak?” tanya Joe, berusaha tetap tenang. Supir itu kemudian mengerem mendadak. Ia berbalik menatap mereka berdua, dan menyeringai. Tiba-tiba ia mengacungkan pisau.
Joe dan Abu berusaha tidak berteriak. “Apa maumu?” tanya Joe tercekat. Supir itu menyeringai menyeramkan. “Berikan uangmu sekarang juga.” Katanya. Atau.. “Kau akan merasakan ini.” Katanya lagi sambil mengacungkan pisau yang berkilat itu. “Tapi, tapi.. kami tidak punya uang! Uang ini masih kami butuhkan untuk menginap!” kata Joe serak. Supir itu tertawa. “Memangnya apa peduliku?? Harta atau nyawa?” tantangnya sambil menyeringai.
Joe merasa kalut. Ya ampun, kalau ia tidak menyerahkan dompetnya, mereka mungkin akan mati. Tapi jika ia menyerahkan dompetnya, akan bertahan dengan apa mereka?
“Cepat! Serahkan dompetmu!” kata supir itu lagi. Joe tidak bergerak. Abu secara tiba-tiba mengetukkan kruknya ke kepala supir itu. Supir itu berteriak kesakitan, kemudian Joe secara sigap langsung membuka pintu taksi, dan berlari. Abu tertatih-tatih di belakangnya. Joe langsung berteriak memanggil sahabatnya itu. Si supir taksi menggerutu dan langsung menghilang di tengah gelapnya malam. Kedua sahabat itu kembali terkekeh. “Tidak ada yang bisa mengalahkan kita,” kata Abu.
Joe mengangguk senang. Mereka berdua terus berjalan. “Sekarang, satu pertanyaan,” kata Joe. “Dimana sih kita?” Abu mengangkat bahu. “Pasti ada wisma di dekat sini.” katanya.
“Kalau begitu ayo kita cari, sobat,” kata Joe. Hari sudah sangat larut. Joe memasukkan tangannya ke saku. Dengan sabar ia menunggu Abu yang jalannya sangat lambat. Ketika mereka sedang asyik melihat-lihat, sesosok orang berbalutkan pakaian serba hitam tiba-tiba menabrak Joe. Joe hampir terjengkang ke selokan. “Hey,” serunya. “Kalau jalan lihat-lihat dong! Punya mata tidak sih?”
Orang tadi tidak menjawab, melainkan terus berlari. Setelah dibantu bangun oleh Abu, Joe meraba-raba kantongnya. Oh! Dompet dan tasnya sudah tidak ada. “Hey, kembalikan dompetku!” seru Joe yang secara ekspres berlari mengejar orang itu. Abu mengikutinya dari belakang. Joe berhasil mengejar orang itu. Joe melompat ke punggung orang itu sehingga mereka berdua terjengkang jatuh. Joe langsung menghajar orang itu. Tapi kemudian orang itu balas menendang perut Joe, kemudian berlari jauh dan cepat sekali, seperti cheetah. Joe mengerang sambil memegangi perutnya. Kacau!! Dompet dan tasnya sudah dicuri sekarang.
Abu menghampirinya. “Joe maafkan, aku, aku tidak bisa mengejar orang itu,” kata Abu.
Joe mengangguk. “Memangnya aku tidak tahu kondisi kakimu? Tidak apa-apa , Abu,” ujar Joe sambil membersihkan pakaiannya dari debu.
“Sekarang, bagaimana kita?? Dompet dan tasku dicuri padahal semua uangku ada disana!” kata Joe lemas. “Kau membawa uang, Abu?” Abu menggeleng. “Aku cuma membawa 10 ribu, aku benar-benar lupa membawa dompet..” kata Abu menyesal.
Joe menatap sahabatnya. Ia tidak bisa menyalahkan Abu. Tentu Abu tadi tidak ingat untuk membawa dompet karena terburu-buru turun dari jendela..

“Haduh, bisa-bisa kita jadi gelandangan disini.” Keluh Joe. Abu hanya diam, ia bingung mau berkata apa.
“Sekarang bagaimana………..?” perkataan Joe terpotong. Petir tiba-tiba menggelegar, angin berhembus kencang, dan tik tik tik… gerimis mulai turun, kemudian lama-lama membesar menjadi hujan yang sangat deras. “Aduh… hujan lagi… ayo Abu, kita harus berteduh.” ajak Joe sambil menarik Abu dan membantunya berjalan. Mereka kemudian berteduh di bawah pohon taman. Joe merasa sangat bingung sekarang... Mau kemana mereka? Mau makan apa? Mau tidur dimana? Pupus sudah mengikuti audisi The Master. Kenyataannya, dompet dan barang-barang mereka dicuri, dan mereka terdampar di bawah pohon taman.
Hujan tak menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Malah semakin deras, dengan petir menggelegar yang cukup besar. Mereka tak mungkin lama-lama berteduh di bawah pohon itu.
Joe menoleh ke Abu. Abu tampak berkeringat dan menggigil. Joe memegang dahi Abu. Panas sekali. Joe merasa sangat bersalah sekali. Ia kemudian melepaskan jaketnya, dan menyelimutkannya ke Abu. “Seharusnya aku tidak membawamu ke sini,” kata Joe. Abu tidak menjawab, ia terus-terusan menggigil. Kenapa akhirnya malah jadi seperti ini sih? Malang betul nasib kita, ratap Joe.
Bayangan hitam kemudian muncul di hadapan Joe. Sosok bayangan itu makin lama makin nampak jelas. Awalnya Joe merasa ngeri takut-takut itu adalah pencopet lagi. Namun ketika orang itu menampakkan diri di bawah cahaya, kelihatannya ia bukan orang jahat. Seorang pemuda tinggi yang sangat tampan, kelihatannya ia habis berdagang. Pemuda itu menatap mereka berdua dengan heran. Kemudian pemuda itu menghampiri mereka.
“Wah, sedang apa kalian disini?” tanya Pemuda itu ramah. Dari wajahnya ia kelihatan iba melihat Joe dan Abu.
“Kami dirampok. Kami datang dari Bandung, tadinya kami mau mengikuti audisi The Master tapi semua barang-barang kami ludes dirampok.” jawab Joe. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Memang harus hati-hati, di Jakarta itu rawan kejahatan. Ayo, ikut ke rumahku, kalian bisa berteduh disana, tidak baik disini, dingin sekali.” Kata pemuda itu lagi dengan ramah. “Tapi kami tidak mau merepotkan.” kata Joe. Pemuda itu menggeleng. “Tidak, tidak.. lagian disini dingin sekali, dan sepertinya teman kau sakit.” Kata Pemuda itu lagi sambil menunjuk Abu yang masih menggigil. “Ya,” kata Joe. “Baiklah jika kau memaksa. Rumahmu jauh dari sini?” tanya Joe.
Pemuda itu tersenyum. “Tidak kok, tidak begitu jauh.” jawabnya. Joe kemudian memapah Abu. Ia kepayahan memapah Abu sendirian. “Perlu bantuan?” tanya Pemuda itu lagi. “Ya , tolong dong...” kata Joe. Pemuda itu membantu memapah Abu. “Hey, aku belum mengetahui namamu.” Kata Joe. Pemuda itu tersenyum. “Aku Rain,” jawabnya.
“Oh Aku Joe dan ini sahabatku Abu.” Rain tersenyum. “Senang bertemu kalian, Joe, Abu.”
Joe dan Rain kemudian memapah Abu. Ternyata memang benar rumahnya tidak terlalu jauh. Rumah Rain ternyata berada di seberang tempat pembuangan sampah.
“Tidak bagus memang, maklumlah, namanya juga ga mampu,” kata Rain tersipu. “Ya ampun jangan bilang begitu, kami berterima kasih sekali kau sudah mau menolong kami.” kata Joe. Rain mengetuk pintu. “Ibu!! Aku membawa tamu nih!!” serunya. Seorang wanita paruh baya kemudian membuka pintu. “Rain? Ini siapa?” tanyanya ramah.
“Ini teman-teman baruku Bu.” kata Rain. “Ayo masuk.” Joe dan Rain masuk sambil memapah Abu. “Ya ampun, kalian basah kuyup,” kata Ibu itu ramah. “Keringkan dengan ini.” Ibu Rain memberikan handuk kepada Joe. Joe langsung mengeringkan badannya dan Abu dengan handuk tersebut.
“Dia sakit bu,” kata Rain sambil menunjuk Abu yang masih kelihatan menggigil. Ibu itu mendadak tampak iba. Ia kemudian menyiapkan kompres. “Pakai ini,” katanya ramah sambil menyerahkan kompres ke tangan Joe. Joe langsung mengompres Abu. Ibu Rain yang ramah itu duduk. “Rain, aku tidak pernah melihat mereka berdua sebelumnya.” katanya ramah.
“Aku memang baru melihat mereka tadi bu.. Kasihan mereka berdua. Berteduh di bawah pohon saat hujan besar.” kata Rain.
Ibu Rain tampak terkejut. “Oh. Dari mana kalian berasal, Nak?” tanyanya ramah.
“Bandung, Bu. Kami ke Jakarta hendak mengikuti audisi The Master, tapi, uang dan barang-barang kami dicuri,” jawab Joe. “Ya ampun, kasihan sekali. Siapa namamu, Nak?” tanya Ibu Rain lagi. “Aku Joe dan ini Abu.” jawab Joe sambil menunjuk Abu.
“Oh... hujan masih deras diluar, sebaiknya kalian tinggal disini untuk beberapa malam,” kata Ibu Rain lagi. “Tapi Bu... Kami tidak mau merepotkan..” kata Joe. Rain menggeleng. “Tidak apa-apa kok!”

            “Kalau kalian mau, kalian bisa bantu-bantu berdagang bersama kami, dari pada kalian menjadi gelandangan di luar sana,” sahut Ibu Rain lagi. Joe tersenyum. “Terima kasih, anda baik sekali,” katanya.
“Nah sekarang makan dulu,” kata Rain sambil menunjuk ke meja yang sudah reot. Joe merasa beruntung sekali. Baik sekali orang-orang ini, pikirnya, padahal mereka baru mengenalnya. Ia kemudian makan makanan yang telah dihidangkan dengan diam.
Ibu Rain kemudian mengeluarkan dua buah tikar. “Maaf sekali, tempat tidurnya kurang,” katanya malu-malu. Joe tersenyum kecil. “Tidak apa-apa Bu,” katanya.
Rain menoleh ke Abu. “Ibu, kurasa, Abu bisa tidur di tempat tidurku, kasihan dia, ia tidak boleh tidur di lantai,” katanya. Ibu Rain mengangguk. “Mari, Nak,” katanya ramah sambil membantu Abu bangun dan membawanya ke tempat tidur Rain.
Dalam sekejap rumah yang kecil itu langsung sunyi. Joe melihat jam tangannya..Sudah pukul 1 pagi. Apa yang akan dikatakan Ibu Rita dan Pak Andre jika melihat anaknya telah menghilang? Joe tidak bisa tidur. Ia merasa bersalah sekali sudah membawa-bawa Abu.
“Nak, Nak? Bangun Nak,” bisik suara lembut yang menyentuh pipinya. Joe membuka matanya. Hari sudah cerah ternyata. “Sarapan sudah siap.”
Joe mengucek matanya dan memakai kembali kaca matanya. Tampak di meja reot itu ada setumpuk roti. Joe merasa tidak lapar, tapi Ibu Rain terus memaksanya untuk makan.
Joe akhirnya menyerah. Ia menurut dan akhirnya memakan roti itu. Ketika sedang asyik makan, Abu keluar dari kamar Rain.
“Abu, kau sudah sembuh?” tanya Joe. Abu mengangguk, diam tanpa kata.
“Oh syukurlah, Mari makan, Nak!” kata Ibu Rain sambil mendorong piring ke arah Abu.
Abu tersenyum dan duduk. “Terima kasih, Bu,” kata Abu.
“Ibu, apakah Ibu punya telepon?” tanya Abu tidak jelas, mulutnya penuh dengan roti sekarang. “Ya Nak? Maaf aku tidak bisa mendengarmu dengan jelas,” kata Ibu Rain lembut.
Abu menelan potongan rotinya. “Apakah Ibu memiliki telepon? Bolehkah aku meminjamnya?” tanya Abu hati-hati. “Oh, maaf sekali, sayangnya aku tidak punya,” kata Ibu Rain.
Joe angkat bicara. “Er... kalau begitu.. adakah wartel di dekat sini, Bu?” tanyanya.
Rain menggeleng. “Jauh sekali, Joe. Mungkin memakan waktu 2 jam untuk sampai ke sana.” kata Rain. “Oh,” kata Joe. “Baiklah.”
Rain kemudian mengemas barang-barangnya. “Kau mau kemana?” tanya Abu. Rain tersenyum. “Berjualan.” sahutnya. “Bolehkah kami ikut membantumu?” tanya Joe. Rain kemudian menatap ibunya dengan bimbang. “Jika kalian mau, silahkan,” kata Ibu Rain lagi dengan ramah. “Tapi hati-hati!” Mereka bertiga kemudian berjalan ke luar rumah. Joe membantu membawakan barang-barang dagangan Rain.
“Biasanya kau berjualan di mana?” tanya Abu. “Di pinggir jalan,” jawab Rain. Setitik rasa kasihan muncul di benak Joe. “Setiap hari kau berjualan seperti ini, Rain? Memangnya kau tidak sekolah?” tanya Joe. Rain tertawa kecil. “Untuk makan saja susah, apalagi sekolah. Tidak, aku tidak sekolah, sekolahku putus sejak kelas 2 SD. Sejak ayahku meninggal, aku membantu Ibu. Berjualan makanan” jawabnya.
Joe bertukar pandang dengan Abu. Joe menyadari, masih banyak orang yang ternyata kurang beruntung dari pada dirinya. Ia selama ini menganggap dirinya malang karena tak memiliki orangtua, padahal seluruh warisan orangtuanya jatuh kepadanya. Melihat Rain, Joe menyadari selama ini ia kurang bersyukur.
Rain kemudian menggelar barang dagangannya. “Nanti hasilnya kita bagi 3, siapa tahu cukup untuk ongkos kalian pulang.” Kata Rain. Joe mengangguk. Sungguh anak baik, pikirnya.
Mereka menunggu dan menunggu. 5 menit, 10 menit, 20 menit, 1 jam, 2 jam... tetap tidak ada pembeli. Sinar matahari yang begitu panas membakar tengkuk Joe. Sambil bersandar di tiang Joe dan Abu menguap. Joe benar-benar heran. Kok bisa anak ini tidak jenuh melakukan aktivitas seperti ini sehari-hari? Pikirnya.
Dengan iseng Joe kemudian mengambil sapu tangan Abu. Ia kemudian memelintir sapu tangan itu sampai berubah menjadi api dan apinya kembali menghilang. Rain yang sedari tadi melamun memandangnya dengan takjub.“Wow! Kau bisa sihir?” tanya Rain takjub.
Abu tertawa. “Itu bukan sihir, itu sulap,” jelasnya dengan geli. Joe tersenyum malu.
“Wow! Hebat! Kau bisa yang lainnya lagi?” tanya Rain dengan mata yang berbinar-binar.
“Kau punya benda atau sesuatu?” tanya Joe. “Cuma ini,” kata Rain, kemudian mengambil pulpen panjang kecil dari sakunya. Joe menerima pulpen itu.
“Kau punya tisu?” tanya Joe lagi. Rain mengeluarkan tisu dari kantong celananya.
“Lihat ini,” kata Joe. Ia membungkus pulpen itu dengan tisu... kemudian setelah dibuka, pulpen itu telah terpelintir. Rain memandangnya tak percaya. “Hebat, hebat! Dari mana kau belajar seperti itu?” tanyanya.
“Ya dengan latihan saja. Semua orang pun bisa, asalkan rajin latihan,” kata Joe sambil mengedipkan mata. Rain masih terlihat takjub. “Kau bisa sulap juga?” tanyanya kepada Abu.
“Bisa.” Jawab Abu. Ia mengambil pulpen Joe yang telah terpelintir, kemudian membungkusnya kembali dengan tisunya. Setelah dibuka, pulpen itu telah menghilang.
Rain bertepuk tangan. “Hebat! Aku tidak pernah melihat yang seperti itu!” katanya girang.
Orang-orang yang sedari tadi berlalu lalang tanpa memperhatikan ketiga pemuda itu sekarang merubung. Secara tiba-tiba Joe dan Abu melakukan atraksi sulap dadakan.
Joe dan Abu memperagakan trik-trik sulap sederhana. Orang-orang pun dibuat takjub oleh mereka. Kemudian tanpa diminta, orang-orang itu memberikan uang kepada mereka.
Setelah selesai melakukan atraksi, mereka bertiga hendak menghitung uang, namun sebuah mobil hitam muncul.
“Oh,” bisik Rain. “Satpol PP! Darko!” katanya panik. Joe dan Abu menoleh. “Darko? Satpol PP?” tanya mereka tidak mengerti. Seorang petugas satpol PP berpakaian seragam serba hitam turun dari mobil. “Itu, itu Darko, satpol PP paling bengis!” kata Rain. “Ayo!”
Secara terburu-buru Rain merapikan barang dagangannya. Mereka kemudian berlari. Joe yang masih penasaran, menoleh ke belakang. Satpol PP yang bernama Darko itu tampak menghancurkan dan mengacak-ngacak barang dagangan pedagang lain. Terdengar isak tangis si pedagang dari kejauhan.
“Jahat sekali orang itu!” kata Joe. Ia ingin sekali menghampiri Darko, petugas satpol PP itu. Namun Rain menahannya dan menggelengkan kepala. “Jangan! Jangan melawannya! Dia punya pentungan yang bisa membuatmu menjadi gegar otak!” kata Rain memperingatkan.
Joe mengangkat sebelah alisnya. “Menurutku tanpa dipentung pun, Joe sudah gegar otak. Otakmu miring kan Joe, saking cerdasnya,” gumam Abu. Joe terbahak. Rain nyengir. “Ayo kita pulang.”
Mereka bertiga berjalan dalam diam ketika tiba-tiba 2 orang pemuda berpakaian preman menghadang mereka. “Well, well. Bertemu lagi dengan si kecil yang tampan ini,” kata preman yang cukup jangkung. Rain menelan ludah. “Mau apa lagi kau Sam?” tantangnya.
Preman yang bernama Sam melipat tangannya. “Rain..rain... Kau tetap telmi seperti dulu. Tentu kami ingin uangmu.” katanya lagi. Rain menggeleng. “Tapi, aku tidak punya uang! Barang daganganku sama sekali tidak laku!” katanya. Suaranya serak sekarang.
Preman yang bernama Rom tertawa bengis. “Jangan coba membohongi kami, Rainie kecil,” kekehnya. Ketakutan mulai melanda mereka bertiga. Seseorang kemudian muncul. Ternyata Darko, si satpol PP yang tadi. “Wah kita kedatangan tamu,” kata Darko. Ketiganya nyengir sekarang. “Lihat, Darko. Anak ini membawa bodyguard,” kata Sam sambil menunjuk ke arah Joe dan Abu yang masih terpaku di tempat mereka. “Jangan ganggu mereka! Mereka temanku!” pinta Rain memelas.
Darko menghampiri Joe. Darko mengendus Joe. “Sepertinya dia anak orang kaya. Rom, Sam, pegang dia.” Rom dan Sam kemudian memegangi Joe. “Jangan!” seru Abu dan Rain bersamaan. Joe meronta berusaha melepaskan diri. “Berapa uang yang kau punya?” tanya Rom. Joe menggertakkan giginya. “5 ribu!” serunya. “Ah, bohong,” kata Sam. “Kau pasti punya lebih dari itu.” Sambungnya lagi sambil mencengkeram rambut Joe.
“Sudah kubilang aku hanya punya 5 ribu!” seru Joe dengan suara tertahan. Matanya menyipit kesakitan akibat dicengkeram rambutnya oleh Sam.
“Rom, Darko, pegang kedua orang itu,” kata Sam sambil menunjuk Abu dan Rain yang bersiap lari. Rom dan Darko langsung memegangi Abu dan Rain. Kruk Abu terjatuh.
“Kau tahu apa ini?” tanya Sam sambil menyeringai menyeramkan. Ia mengacungkan pisau yang berkilat. Mata Joe terbelalak ngeri.
“Berani sumpah aku hanya punya 5 ribu!” seru Joe, keringat dingin mulai menetes di wajahnya. “Dasar pembohong!” seru Sam, kemudian BUK! Sam menusukkan pisau yang dipegangnya ke perut Joe. Darah perlahan-lahan mengucur dari perut Joe. Joe jatuh berlutut. Matanya sekarang berair karena menahan sakit.
“JOE! JOE! BERTAHANLAH!” seru Abu yang masih meronta berusaha melepaskan pegangan Darko yang begitu kencang. Sam tersenyum jahat. Dengan puas ia menatap Joe yang masih merintih kesakitan. “Lari, Abu, lari Rain...” kata Joe lemah. Sam tertawa.
Abu yang tidak terima sahabatnya dilukai, langsung memukul Darko dengan kruknya. Darko yang kaget mengaduh kesakitan. Rain mengikutinya. Ia kemudian meninju tulang kering Rom dan berhasil melepaskan diri. Tanpa pikir panjang, Abu menendang tangan Sam. Pisau pun jatuh dari tangan Sam.
Abu langsung mengambil pisau itu. Perlahan-lahan ia mengiris tangannya dengan pisau itu hingga tangannya berdarah. “Abu... apa yang kau lakukan?” tanya Rain ngeri. Abu menunjukkan telapak tangannya yang berdarah kepada 3 orang preman itu. “Kau tahu, aku ini penderita AIDS.” Kata Abu. Darko, Rom, dan Sam melangkah mundur. “Darahku beracun.” Katanya lagi sambil menunjukkan telapak tangannya.
“Kalau kalian menyentuh darahku, kalian akan menjadi penderita AIDS juga.” Kata Abu lagi. Darko, Rom, dan Sam memandangnya ngeri. “Orang itu penderita AIDS, larii!!” seru mereka bertiga, takut akan darah yang ditunjukkan oleh Abu. Mereka pun lari lintang pukang dan menghilang dari peredaran.
Abu tersenyum penuh kemenangan. Rain terkekeh. “Kau cerdik.” Katanya.
Mereka langsung menghampiri Joe yang masih berlutut. “Joe.. Ya Tuhan Joe.. Bertahanlah sobat..” kata Abu cemas. “Cari bantuan, cari bantuan...” kata Joe tertahan. Darah mengalir banyak sekali dari perutnya.
Rain memberikan sapu tangannya. “Hentikan pendarahannya dengan ini dulu,” katanya. “Aku akan mencari bantuan, kalian tunggu disini.” Kata Rain, kemudian ia berlari.
Abu membalut luka Joe dengan sapu tangannya. Dengan cemas ia memeriksa kondisi sahabatnya itu. “Kau cerdik.” kata Joe dengan suara yang masih tertahan. “Benar-benar cerdik.”
Abu tersenyum kecil. “Mereka ternyata penakut.” katanya.
“Abu,maafkan aku telah membuatmu terdampar di sini,” kata Joe masih dengan suara tertahan. “Tak ada yang perlu dimaafkan,” kata Abu tegas. “Kau sahabatku. Bertahanlah, kawan...” kata Abu cemas. Sapu tangan putih Rain sudah berubah menjadi merah sekarang.
Kemana Rain?? Kenapa dia lama sekali?? Abu makin merasa panik karena darah yang dikeluarkan Joe semakin banyak.
Sementara itu, di rumah Abu...
Pak Andre dan Bu Rita telah melapor kepada polisi. Bu Rita tak henti-hentinya terisak. “Bagaimana jika mereka dirampok? Bagaimana jika mereka tidak punya apapun? Bagaimana jika mereka tersesat dan tak tahu jalan?” kata Bu Rita sambil terisak di bahu Pak Andre.
Pak Andre bingung harus berkata apa selain menghibur istrinya. “Joe akan menjaga Abu, Mama tenang..” kata Pak Andre pelan.
“Tapi bahkan Abu tidak membawa ponsel ataupun jaketnya,” isak Ibu Rita lagi. Pak Andre bingung sekarang. Abu, Joe dimana kalian, Nak?? Batinnya sedih. Seharusnya aku mengizinkannya mengikuti audisi itu... Rasa bersalah menghantui Pak Andre.


Di Jakarta..
Setelah menunggu hampir setengah jam akhirnya Rain datang bersama 2 orang laki-laki. “Ini Indra dan ini Robert, teman lama,” kata Rain kepada Abu. “Ya ampun darahnya banyak sekali,” kata Robert. “Kau bisa berdiri?” tanyanya. Joe  mengangguk lemah. Indra dan Robert kemudian membantu Joe berdiri. “Kenapa bisa begini, Rain?” tanya Indra.
“Trio Rom, Sam, dan Darko. Mereka memalak kami. Joe bilang ia tidak punya uang dan Sam menusuk Joe.” jawab Rain. Indra dan Robert menggelengkan kepalanya. “Mereka bertiga memang selalu menindas yang lemah. Darko.. satpol PP tapi kelakuannya betul-betul biadab.” kata Indra. “Kita harus membawanya ke puskesmas terdekat. Indra, kau tidak punya sapu tangan lagi? Satu itu tidak cukup,” kata Robert. Indra meraba-raba sakunya. Ia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya.
“Tahan, akan sakit sedikit.” Kata Indra. “Supaya darahnya tidak mengalir terus.”
Indra kemudian memencet luka Joe dengan sapu tangannya. Joe mengaduh dan meringis kesakitan. Indra dan Robert memapah Joe. Rain dan Abu mengikutinya dari belakang.
Mereka melangkah dengan cepat sekali. Puskesmas itu memang agak jauh. Akhirnya mereka sampai. “Dokter Limbad, tolong obati anak ini, dia terluka parah,” kata Robert sambil menunjuk Joe. Seorang dokter berambut gimbal keluar dari ruang periksa. Ia menatap Joe dengan kaget.
“Ya ampun... kenapa bisa begini?” tanyanya. “Ayo, bawa ke ruang periksa.” katanya lagi.
Indra dan Robert memapah Joe ke ruang periksa. Abu masih sangat takjub melihat dokter tadi.
“Dokter tapi penampilannya seperti itu? “ bisiknya heran.
Rain terkekeh. “Ya.. tapi dia dokter yang hebat,” jawabnya. Rain dan Abu kemudian ikut masuk ke ruang periksa. “Berbaringlah,” kata Dr Limbad. Joe kemudian berbaring. Dr. Limbad kemudian memeriksa Joe, kemudian mengobati lukanya perlahan-lahan. “Apakah lukanya serius, Dr Lim?” tanya Rain cemas.
Limbad menoleh. “Tidak kok. Untung saja tidak mengenai lambungnya.. Memangnya kenapa dia sampai bisa ditusuk begini?” tanya Dr Limbad lagi. “Darko, Rom dan Sam. Mereka memalak kami semua.” kata Rain. “Joe menolak memberikan uangnya. Sam menusuknya. “ jelasnya lagi.
Limbad menghela nafas. “Mereka bertiga itu.. Aku tidak mengerti mereka sebenarnya..Selalu saja membuat onar.. Selalu memalak yang lemah...” kata Dr Limbad sambil membersihkan luka Joe dengan kapas. Joe meringis. Rain mengangkat bahu. “Entahlah Dr. Lim. Kau tahu nyaris setiap hari aku selalu dipalak oleh 3 orang itu,” katanya.
“Untung saja lukanya tidak dalam, kalau dalam, bisa mengenai lambung nya” kata Dr. Limbad lagi sambil memperban luka Joe. “Kapan mereka ber 3 berhenti membuat masalah?” kata Dr. Limbad lagi sambil mengencangkan perban Joe. “Selesai,” katanya.
Joe tersenyum. Ia kemudian duduk. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Dr. Limbad lagi.
“Sudah enakan Dokter, terima kasih,” kata Joe sambil meregangkan badannya. “Tangan dia juga terluka, Dr. Lim,” kata Rain sambil menunjuk Abu.
“Luka? Yang ini juga dilukai ketiga preman itu?” tanya Dr. Limbad.
Abu menggeleng. “Tidak dokter. Saya melukainya sendiri. Saya berpura-pura bahwa saya penderita AIDS. Saya bilang kepada mereka bahwa darah saya beracun,” jelas Abu panjang lebar. Indra, Robert, dan Dr. Limbad tertawa terbahak-bahak. “Pintar sekali idenya.. ternyata Darko juga pengecut, eh?” kata Dr. Limbad sambil memperban tangan Abu. Tidak sampai 10 menit Dr Limbad selesai mengobati Abu dan Joe.
“Berapa biayanya, Dokter Lim?” tanya Rain. “50 ribu,” jawab Dr Limbad sambil tersenyum. Joe mengangkat alisnya. Rain kemudian mengeluarkan seluruh uang hasil yang mereka dapatkan tadi, dan menyerahkannya kepada Dokter Limbad. “Indra, Robert, Dr. Lim, terima kasih banyak sudah membantu,” kata Rain. “Sama-sama, Rain.” Jawab Indra.
“Cepat sembuh ya, berhati-hatilah jika Darko, Rom, dan Sam muncul lagi,” kata Robert sambil menepuk punggung Joe. Joe mengangguk. “Ya, jangan terlalu banyak bergerak,” kata Dr. Limbad. Mereka bertiga pun keluar dari rumah sakit itu. “Maafkan aku Joe...” kata Rain. Joe menatapnya heran. “Maaf? Untuk apa minta maaf? Kau kan tidak punya salah apa-apa,” kata Joe terheran-heran. “Aku menyerahkan semua uang kita... Kalian jadi tidak bisa pulang.” kata Rain sambil menunduk.
Abu memotongnya. “Ya ampun Rain! Uang kan bisa kita cari lagi besok! Yang penting Joe diobati! Tenanglah, tidak usah merasa tidak enak begitu!” kata Abu santai.
Rain tersenyum. “Baiklah, sekarang kita pulang.”
            Sesampainya di rumah Rain...
“Rain! Kenapa kau lama sekali Nak? Ibu khawatir sekali akan kondisimu!” kata Ibu Rain sambil mencium rambut putra kesayangannya itu. Ibu Rain kemudian menatap Joe yang perutnya diperban serta Abu yang tangannya diperban juga. “Kalian kenapa?” tanyanya cemas.

Mereka semua duduk. Rain kemudian menceritakan semuanya kepada ibunya. Ibu Rain ternganga tidak percaya. “Jahat sekali mereka! Dan Darko... aku benar-benar membencinya! Kerjaannya hanya menyiksa dan memalak pedagang jalanan saja! Tapi kau tidak apa-apa kan, Nak Joe, Nak Abu?” tanyanya lagi dengan khawatir.
“Tidak usah khawatir, kami baik-baik saja,” kata Joe. “Besok Ibu akan ikut kalian, kalian tidak boleh Cuma bertiga lagi,” kata Ibu Rain. “Sekarang makan dan tidurlah.” Mereka makan dalam diam. Sesekali Joe melirik ke Abu. Sahabatnya itu tampak murung.
Rain dan Ibunya tidur terlebih dahulu. Abu melangkah keluar. Joe mengikutinya.
Abu menengadah menatap bintang-bintang di langit. “Sedang apa kau, Abu?” tanya Joe pelan.
Abu menoleh. “Kau lihat 2 bintang itu.... indah sekali.” Kata Abu sambil menunjuk ke langit. Joe menengadah. Di antara bintang-bintang yang berkilauan, memang tampak 2 bintang yang paling bersinar. “Yang depan itu bintangmu dan yang depan itu bintangku.” kata Abu. Joe tersenyum. Ia bingung harus mengatakan apa.
“Sedang apa ya Papa dan Mama? Mereka pasti senang aku menghilang. Aku banyak masalah.” kata Abu. Joe terdiam, kemudian berkata. “Jangan berkata seperti itu, mereka selalu menyayangimu.” Abu tertawa getir. “Kalau mereka menyayangiku, mereka pasti mendukungku untuk menjadi pesulap,” katanya.
“Orangtuamu hanya ingin yang terbaik bagimu,” kata Joe mencoba menghibur Abu.
Abu menggeleng. “Kau tahu, aku kadang-kadang merasa iri kepadamu. Kau bebas, kau cerdas, kau normal.” Kata Abu sambil menatap Joe. Joe menggelengkan kepalanya keras-keras. “Tidak, Abu. Kau jauh lebih beruntung dari aku! Kau punya orangtua yang menyayangimu, sedangkan aku hanya sendirian, aku hanya memiliki kau.” kata Joe tegas. “Sebaiknya kita tidur... sudah malam.. “ sambung Joe lagi.
Keesokan harinya…
Joe, Abu, Rain, dan Ibunya kembali berjualan di pinggir jalan. Seperti biasa, sepi pembeli. Rain mulai terlihat bosan dan patah semangat. “Tunjukkan atraksi sulap kalian lagi dong,” kata Rain. Ibu Rain menoleh. “Sulap?” tanyanya heran. “Ya, Ibu, mereka bisa melakukan sulap,” kata Rain semangat. Ibu Rain langsung tertarik. Joe kemudian mengambil pensil dari barang dagang Rain. Ia kembali memelintir pensil itu dengan tisu, dan setelah dibuka, pensil itu secara ajaib berubah menjadi peniti. Ibu Rain berbinar. “Keren,” katanya.
“Masih ada lagi,” kata Abu. “Lihat tangan saya kosong, Bu?” kata Abu sambil menunjukkan tangannya yang kosong. Ibu Rain mengangguk. Abu kemudian menyentuh bagian belakang telinga Ibu Rain.
Kemudian ia melepaskan tangannya, dan sekarang tangannya sudah memegang telur.
Ibu Rain bertepuk tangan. “Hebat! Hebat sekali Nak!” ujarnya kegirangan.
Orang-orang kembali merubung... Joe dan Abu kembali melaksanakan atraksi sulap dadakan.
Ketika masih asyik memeragakan trik-trik sulap, tiba-tiba terdengar suara kericuhan.
Joe menoleh. Darko, Rom, dan Sam. Mereka menghancurkan barang-barang pedagang, bahkan menginjak-injaknya. Pria paruh baya yang sudah berambut putih itu tidak terima barang-barangnya dihancurkan. Ia melawan trio Darko, Rom, dan Sam. Mereka kemudian adu teriak seru sekali. Joe tiba-tiba menyadari bahwa Darko juga membawa teman-teman satpol PP-nya.
“INI BARANG-BARANGKU! KENAPA KAU MENGHANCURKANNYA?” seru pria paruh baya itu.
Darko tertawa. “YA, TAPI KAU MELANGGAR ATURAN!” serunya sambil terus menendang barang dagangan pria itu. Istri dan anak pria itu menjerit dan terisak.
“AKU BARU DISINI! MANA AKU TAHU AKU MELANGGAR ATURAN? TIDAK BISAKAH KAU MEMBERITAHU SECARA BAIK-BAIK?” teriak pria paruh baya itu lagi.
Kini perhatian orang-orang sudah tidak kepada atraksi Joe dan Abu lagi, melainkan ke Darko dan pedagang yang beradu teriak seru sekali.
Pedagang-pedagang yang lain pun tidak terima. Mereka kemudian ikut beradu mulut... Berawal dari adu mulut itu, akhirnya keduanya menjadi bentrok, dan saling dorong. Berawal dari saling dorong, tiba-tiba saja melebar menjadi kerusuhan hebat. Entah karena emosi, Darko dan para satpol PP yang lain kemudian melemparkan tembakan membabi buta.
Orang-orang menjerit ketakutan. “LARI!” seru Rain, merapikan barang-barang dagangannya. Rain berlari secepat kilat. Suara tembakan membahana di belakang mereka. Darko dan para satpol PP itu juga menembakkan gas air mata. Segalanya menjadi kelabu secara tiba-tiba. Joe merasa sangat panik, karena ia tidak bisa melihat dengan jelas. Mana Rain? Mana Ibu Rain?Mana Abu? Ia hanya mendengar lolongan ketakutan orang-orang, dan suara pecahan kaca.
Joe merunduk dengan sigap, menghindari tembakan-tembakan yang makin membabi buta. “Oh Tuhan...” gumamnya, melihat tiba-tiba ada banyak sekali mayat dan darah berserakan.
Dengan panik Joe berusaha mencari-cari ketiga sahabatnya.. Dimana mereka?? Dimana mereka?? Serunya dalam hati. Joe dengan sigap menghindari pecahan kaca yang terbang ke arahnya. Ya ampun, dasar manusia.. pikirnya.. Hal sepele akhirnya menjadi seperti ini..
Joe terus berlari sambil menoleh ke sana sini.. Dia hanya melihat anak-anak yang menjerit ketakutan, dan orang-orang yang berlarian, tapi ia tidak bisa melihat Abu, Rain, maupun Ibunya..
Suara PRANG kembali terdengar, dan pecahan kaca yang banyak sekali terbang mengenai telinga kirinya. “Ahhh.... “ jerit Joe tertahan sambil memegangi telinga kirinya.
Joe terus mencari-cari Abu, Rain, dan Ibu Rain.. Perutnya terasa sakit apalagi luka bekas tusuknya belum pulih betul...
Tiba-tiba Rain menabraknya. “Joe, ayo Joe!” seru Rain sambil menggandeng tangan Joe. Mereka berdua dengan putus asa berusaha mencari Abu dan Ibu Rain, mereka harus keluar dari kerusuhan itu... Joe dan Rain terus-terusan lari sambil membungkuk menghindari tembakan dan pecahan kaca...
Dan, Joe melihat sesosok tubuh tertelungkup. Ia sangat mengenal tubuh itu, dengan ngeri ia mengajak Rain menghampiri tubuh yang tertelungkup itu. Abu belum meninggal, seru suara dalam kepalanya. Joe kemudian membalikkan tubuh yang tertelungkup tersebut. Ternyata bukan Abu.. Merasa lega namun juga cemas, Joe dan Rain terus berlari. Sepintas Joe melihat Darko, Rom, Sam, dan petugas satpol PP yang lain terus melancarkan serangan, muka mereka tanpa penyesalan sama sekali. Joe ingin sekali menghajar mereka, tapi keinginannya itu ia pendam. Yang penting ia harus menemukan Abu dan Ibu Rain dulu...
Joe terus memicingkan matanya.. Ia berusaha menguatkan diri melihat orang-orang mulai bertumbangan... Sampai akhirnya matanya menemukan dua sosok berjalan terpincang-pincang dan seorang perempuan..
“Rain, itu mereka!” seru Joe. “Ayoo!” Joe menarik tangan Rain dan mengejar kedua orang itu. Mereka berhasil mendekati kedua orang itu, ternyata benar itu adalah Abu dan Ibu Rain. “Kita harus segera keluar dari sini...” kata Joe setengah berteriak, agar suaranya terdengar lebih keras dari teriakan orang-orang.
Mereka dibutakan oleh asap yang berasal entah dari mana. Joe memicingkan matanya, dan ia melihat sebuah celah. “Kesana!” perintah Joe kepada sahabat-sahabatnya. Mereka berempat lari ke celah dari asap itu.. Dan tiba-tiba DOR! Suara tembakkan itu begitu memekakkan telinga Joe. Ia menoleh perlahan. Oh... ternyata yang tertembak adalah Ibu Rain!
“Ibu!!” jerit Rain histeris. Rain langsung memapah Ibunya secara gelagapan. Ibu Rain mengeluarkan banyak sekali darah. Joe hanya bisa tertegun, ia tidak bisa membantu Rain memapah ibunya karena ia sendiri sudah repot memapah Abu.
Mereka akhirnya berhasil keluar dari kerusuhan itu.... Mereka sampai di sebuah taman yang sepi. Rain terlihat sangat panik dan kalut. Rumah sakit masih sangat jauh dari tempat mereka. “Ibu... Bertahanlah, Ibu...” kata Rain dengan sedih. Ibu Rain tersenyum lemah.
“Ja-jadilah anak baik, Rain,” bisik Ibu Rain lemah dengan terbata-bata. Kemudian dengan pelan ia menengok kepada Abu dan Joe.
“Ka-kalian ja-jagalah Rain baik-baik.” kata Ibu Rain lagi. Air mata Rain mengalir. “Ibu, pasti Ibu bisa bertahan,” isaknya. Ibu Rain tersenyum. “Aku harus pergi sekarang.” Bisiknya, kemudian ia menutup matanya, dan tidak bergerak kembali. “IBU!!!!!TIDAK!” seru Rain terisak. Namun apa daya, ibunya kini telah tiada. Joe dan Abu menunduk. Memandangi Rain dengan perasaan sangat iba. Rain terus menangisi ibunya.
Joe meletakkan tangannya di bahu Rain. “Rain, ia ibu yang hebat, biarkanlah ia pergi dengan tenang,” kata Joe berusaha menghibur Rain. Rain masih terisak. “Darko.. Sam.. Rom... belum puaskah mereka menyiksaku??? Dulu Ayahku mereka bunuh sekarang Ibu!” jerit Rain. “Rain, hapus air matamu,” bisik Abu. “Tidak ada lagi yang dapat kau lakukan. Kita bawa jenazah Ibumu.”
Rain terlihat memaksakan dirinya untuk tegar . “Ya sudah.... kita akan menguburkan Ibu di dekat makam Ayah.” kata Rain. Mereka kemudian membawa jenazah ibu Rain, menggali kuburan dengan sekop milik Rain seadanya, dan memakamkannya di dekat makam ayah Rain.
“Aku sendirian sekarang.” kata Rain. “Masih ada kami. Ayo pulang.” kata Joe lelah.
Tiga sekawan itu kemudian berjalan dengan langkah gontai. Hari telah senja dan kerusuhan sudah usai. Sekarang ambulans wara-wiri untuk mengangkut jenazah yang telah menjadi korban kerusuhan tersebut.
“Apa kau masih tetap ingin berjualan, Rain?” tanya Joe hati-hati saat mereka sudah kembali ke rumah Rain. “Tentu saja... bagaimana mungkin aku hidup jika tidak berjualan?” sahut Rain.
Mereka kemudian kembali membantu Rain berjualan, namun kali ini pindah lokasi. Seperti biasa, barang dagangan tidak laku, Joe dan Abu akhirnya melaksanakan atraksi sulap.
Ajaib, uang yang terkumpul begitu banyak. Mereka semua pulang dengan riang. Di rumah Rain mereka menghitung uang yang berhasil mereka kumpulkan. “Banyak sekali,” kata Rain senang.

            “Ya.. haha..” kata Joe. Mereka kemudian membagi 3 uang itu. “Sepertinya cukup untuk ongkos pulang,” kata Joe gembira. Abu tiba-tiba menatapnya. “Loh?? Kita tidak jadi ke Mal Emporium nanti? Audisi The Master?” tanya Abu. Joe menepuk dahinya. “Ya ampun! Aku lupa... tentu saja,” jawab Joe. Abu tertawa. “Audisinya tinggal 3 hari lagi dan kau lupa?” kata Abu sambil mengacak rambut Joe dengan gemas. Joe balas tertawa.
“Berarti aku akan pisah dengan kalian?” potong Rain sedih. Joe dan Abu hampir lupa bahwa Rain ada di ruangan itu juga. Joe dan Abu bertukar pandang. “Er, Rain, tujuan kita ke Jakarta ini memang karena ingin mengikuti audisi The Master,” Joe menjelaskan dengan lembut.
Rain tampak kecewa sekali. Abu iba melihatnya. “Hmm... Bagaimana jika kau ikut kita, ke audisi The Master?” usulnya. Mata Rain berbinar kegirangan. “Sungguh? Tentu, tentu! Aku senang sekali!” Rain mendadak seperti lupa bahwa ibunya baru saja meninggal.
“Kita akan berangkat besok, kurasa uang ini juga cukup untuk menginap 2 malam,” kata Joe. Abu dan Rain mengangguk menyetujuinya. “Audisinya di Mal Emporium ya? Dari sini Cuma naik bus, kok,” kata Rain. “Baiklah... hari yang melelahkan, saatnya tidur!” ujar Abu.
Keesokan harinya, dengan hati yang riang, 3 orang sahabat itu bersiap-siap untuk berangkat. Mereka kemudian jalan sedikit ke halte bus. Di halte bus mereka bercakap-cakap sambil menunggu bus yang akan datang. Setelah sekitar satu jam menunggu, bus yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Joe, Abu, dan Rain masuk ke dalam bus itu, mereka kemudian mengambil tempat duduk bersebelahan.
Bus perlahan-lahan melaju. Joe menoleh ke jendela, kemudian ke Abu. “Kau tahu, akhirnya kita bisa menggapai mimpi kita,” kata Joe kepada Abu. Abu mengangguk, kemudian terbatuk. “Kau tidak apa-apa?” tanya Joe cemas. “Aku baik-baik saja kok.” jawab Abu.
Bus terus melaju perlahan... sampai...
“Serahkan uangmu, supir.” kata 2 orang yang sedari tadi duduk di sebelah supir. Salah satu menodongkan pistol di kepala si supir. Supir bus itu terlihat gugup. Penumpang yang ada di bus langsung terdiam. “Tetap jalan.” kata salah satu dari ketiga orang itu.
Rain menarik lengan jaket Joe. “Trio Darko, Rom dan Sam,” bisiknya. Joe memperhatikan keduanya. Rom, Sam, Darko. “Sial! Kenapa sih mereka selalu ada dimana-mana?” keluh Joe. Abu dan Rain mengangkat bahu. “Nasib kita sial....... selalu saja bertemu dengan para cowok cantik itu,” kata Abu sembari menyipitkan matanya. Joe terbatuk untuk menyamarkan tawanya. “Jangan melakukan gerakan apapun.” kata Joe lagi. Mereka bertiga kemudian diam.
Rom dan Sam masih menodong supir bus yang malang itu. Karena ditodong, akibatnya supir itu tidak konsentrasi dalam menyetir. Seekor anjing tiba-tiba melintas mendadak. Supir bus terkejut bukan main. Ia berusaha mengerem, namun, ia kehilangan keseimbangan, bus itu berbelok secara tiba-tiba, dan jatuh ke danau. Semua penumpang menjerit. Joe merasakan pipinya terbentur, dan mulutnya dipenuhi air.Bus itu sekarang mengapung di danau. Airnya sebatas pinggang Joe sekarang. Joe menjerit dalam hati. Kenapa sih untuk mengikuti audisi The Master saja berbagai rintangan harus dia hadapi? Dari mulai dirampok, ditusuk, kerusuhan, dan sekarang ini..
Joe berusaha tetap tenang. “Abu?” panggilnya pelan. Abu ternyata tidak pingsan. “Ya. Aku disini.” kata Abu. “Rain?” panggilnya. “Ya, ya, aku hidup!” jawab Rain.
Joe merasa lega sekarang .Kemudian ia menoleh. Ia baru sadar ternyata penumpang bus itu kebanyakan anak-anak!
Anak-anak itu menangis ketakutan. Joe tak punya pilihan. Ia harus menyelamatkan mereka semua. Joe melihat ke depan. Si supir, Rom, Sam, Darko tergeletak pingsan. Anak-anak itu menangis sampai akhirnya Joe berdiri dan berkata, “Tenang, kita harus keluar dari sini!” kata Joe sambil berusaha menenangkan anak-anak itu. Anak-anak itu tetap menangis. “Dengarkan aku, dengarkan aku!” serunya. Namun anak-anak itu tetap menangis...
Abu kemudian bersusah payah berdiri. “Hentikan.” Katanya. Semua anak-anak kemudian diam. Dan menoleh kepadanya. “Kami tidak akan membiarkan apapun terjadi pada kalian!” kata Abu tegas. “Kami akan mengeluarkan kalian. Kalian tidak usah takut!” serunya.
“Joe, Rain, ayo.” kata Abu. Joe mengangguk perlahan. Rain kemudian menyuruh anak-anak itu diam dan membagi mereka menjadi 2 barisan. Barisan pertama akan dikeluarkan oleh Joe, dan barisan kedua dikeluarkan oleh Rain.
Joe menggendong anak pertama. Anak itu menangis. “Tidak apa-apa,” bisik Joe menghibur anak itu. Joe kemudian membawa anak itu berenang ke tepi, diikuti Rain yang juga membawa anak lain. Rasanya jauh sekali ke tepi. Sedangkan bus makin miring, jika mereka terlalu lama maka semua akan tenggelam.
Joe dan Rain sampai ke tepi. Mereka menaruh anak-anak yang mereka bawa ke tepi. “Tunggu disini, jangan kemana-mana.” Kata Joe. Rain pun mengatakan hal serupa kepada anak yang digendongnya. Mereka kemudian berbalik ke bus yang semakin miring. Abu ikut membimbing mereka. Satu persatu anak-anak itu berhasil mereka bawa ke tepi.
“Sudah semua, ayo Abu!” kata Joe. Abu hendak melangkah keluar dari bus, tapi, tiba-tiba terdengar suara tangis seorang anak.
“Tunggu! Masih ada satu!” kata Abu sambil berusaha mencari-cari sumber suara itu. Namun tiba-tiba.. bus itu perlahan menggeser dan sudah miring sekali. Abu tentu saja tidak menyadari kalau bus itu sudah menggeser jauh.
“ABU!” teriak Joe yang masih di tepi. Tanpa pikir panjang ia langsung melompat kembali ke danau itu. Rain berteriak memanggilnya, kemudian ikut melompat ke dalam danau.
Abu bersusah payah berenang dengan tidak lancar. Air sudah sebatas dada sekarang. Dengan panik ia mencari suara anak kecil yang masih menangis itu. Ia menemukannya. Anak laki-laki itu tampak menggigil kedinginan. “Tolong.. Kakiku terjepit.” Kata anak itu sambil meringis. “Tahan.” Kata Abu. Ia mengambil nafas dalam-dalam, kemudian menyelam. Ia mencoba mencari apa yang menjepit anak itu. Ternyata sebuah tiang yang jatuh.
Abu kemudian berusaha mengangkatnya. Berat sekali. Di luar, Joe dan Rain masih berusaha menemukan Abu. Joe berkali-kali memunculkan kepalanya ke luar. “Abu, Abu!” panggilnya berulang-ulang. Abu berusaha mengangkat besi itu ketiga kalinya. Bus semakin miring sekarang.. Sedikit lagi mereka akan tenggelam. Saat mencoba mengangkat untuk yang keempat kalinya, Abu akhirnya berhasil mengangkat besi itu. Si anak membuka jendela bus dan menangis tersedu-sedu.
Joe mendengar suara tangisan anak itu. Dengan cepat ia mengulurkan tangannya. “Ayo, Nak, tidak apa-apa,” kata Joe. Anak itu kemudian menyambut tangan Joe dan Joe menariknya keluar. Joe langsung menyerahkan anak itu kepada Rain. “Bawa dia ke tepi. Aku harus menolong Abu, dia masih di dalam,” kata Joe.
Rain menurut. Rain kemudian menggendong anak itu ke tepi.
“Abu?” seru Joe sambil berharap dengan cemas. Abu kemudian muncul. Joe berusaha mengeluarkannya. Joe mengulurkan tangannya. Abu berusaha menyambutnya. Tangan mereka sama-sama basah sehingga Abu kesulitan memegang tangan Joe.
“Ayo.. pegang tanganku!” kata Joe serak. Ia terus berusaha menarik sahabatnya itu keluar dari bus. Abu kemudian mencengkeram tangan Joe. Joe berusaha menarik Abu sekuat tenaga. Bus semakin miring....Rain telah melompat kembali ke danau. Ia berusaha membantu Joe. Rain menarik baju Joe sekuat tenaga. Joe mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk mengeluarkan Abu. Ia menghentak keras-keras, dan akhirnya Abu keluar dari besi itu. Abu sudah pingsan. Ketika Abu keluar, bus itu langsung tenggelam, bersama si supir, Darko, Rom dan Sam.
Joe dan Rain langsung membawa Abu ke tepi. Anak-anak itu masih menangis. Rain kemudian pergi mencari bala bantuan. Joe merasa lelah sekali. “Abu, jangan tinggalkan aku.” bisiknya. Kemudian kepalanya membentur tanah.
Joe membuka matanya. Segalanya menjadi kabur. Joe menyipitkan matanya. Ia meraba-raba. Kemudian memakai kaca matanya kembali. Ternyata dia sudah ada di rumah sakit, rumah sakit sewaktu ia diobati lukanya beberapa hari yang lalu.
Joe keluar dari kamarnya. Rain langsung menyambutnya. “Joe! Kau tidak apa-apa!” kata Rain lega. Joe mengangguk. “Mana Abu? Bagaimana dia? Aku ingin bertemu dengannya.” kata Joe pelan. “Mari. Ia tidak begitu baik. Tapi Abu hebat. Anak-anak selamat semua berkatnya.” jawab Rain, sambil berjalan mengantar Joe ke kamar Abu.
Tampak Abu memejamkan matanya. Di hidungnya bertengger selang pernafasan. Joe menghampirinya. Rain kemudian meninggalkan mereka berdua. Abu membuka matanya perlahan-lahan. “Anak-anak selamat semua?” bisiknya. Joe mengangguk. “Tidak usah khawatir.” jawab Joe. Abu tersenyum lemah. “Ternyata aku bisa menjadi pahlawan juga. Aku bisa berguna juga.” kata Abu pelan.
“Tidak ada yang suka orang pamer,” kata Joe, dengan suara sengau. Abu tersenyum lemah. “Aku akan menemanimu disini sampai kau sembuh.” Kata Joe. Abu tersenyum. Dua hari mereka lewati.... Abu sampai merasa bosan di rumah sakit itu.
“Supaya tidak bosan, bagaimana jika kita melakukan permainan?” kata Joe, merasa kasihan dengan sahabatnya itu. “Permainan apa?” tanya Abu tertarik. Joe berpikir sejenak. Kemudian ia melihat suster yang lewat. “Bagaimana jika kau pura-pura mati, kemudian aku pura-pura menangis dan memanggil Dokter, kemudian kau mengagetkan mereka?” kata Joe sambil nyengir jahil. Abu tertawa lemah. “Sepertinya menyenangkan. Baiklah.”
“Tunggu disini.” kata Joe. Kemudian ia keluar dari kamar Abu. “Dokter, dokter! Tolong! Teman saya tidak bernafas sama sekali, tolonglah, Dokter!” kata Joe, berpura-pura terisak sambil memohon kepada Dokter yang lewat. Dokter itu tampak panik, kemudian masuk ke kamar Abu. Joe mengedipkan matanya. Abu pura-pura memejamkan matanya.
Ketika si Dokter mencoba memeriksa detak jantung Abu, Abu langsung membuka matanya dan berteriak ,”KENA!” Si Dokter tentu saja terkaget-kaget. Ia langsung keluar dan marah-marah, menggerutu mereka seperti anak kecil.”Jantungku.. Ya Tuhan..” kata Dokter itu lagi dan pergi.
Joe dan Abu terkekeh. Joe tertawa terbahak-bahak. “Siap untuk mangsa berikutnya?” tanya Joe. Abu mengangguk. Joe kembali berpura-pura tersedu-sedu. Mereka kembali berhasil mengagetkan dokter lain. “Tidak lucu!” seru Dokter itu.
“Sekarang, mangsa yang terakhir, ayo kita kerjai Dr. Limbad.” Kekeh Joe. Abu mengangguk. Joe kembali ke luar kamar, mencari Dr. Limbad. “Dr Lim, tolonglah, temanku tidak bernafas,” kata Joe sembari berpura-pura terisak. Dr. Limbad tampak kaget. Ia bergegas menghampiri Abu. Abu kembali memejamkan matanya. Joe kemudian mengintip dari balik pintu.
Dr. Limbad memeriksa detak jantung Abu. Joe bersusah payah menahan tawa. Tapi Abu tidak bergerak sama sekali. “Ayo, Abu,” bisiknya. Namun Abu tetap tidak membuka matanya.
Dr Limbad menghampirinya. Dr. Limbad menepuk pundak Joe. “Joe, aku turut berduka,” gumamnya. Joe menatap Abu yang kelihatan masih tertidur dengan tidak percaya. Ia memaksakan untuk tertawa. “Dia cuma bercanda,” kata Joe sambil memaksakan tawa. Kemudian ia menghampiri Abu. “Ayo bangun.. Abu, kau bercanda kan?” kata Joe lagi dengan tawa yang sangat dipaksakan. Dr. Limbad hanya memandanginya dengan sedih. Joe mengguncang badan Abu. Abu tetap tidak bergeming. “Kau janji kita akan selalu bersama, Abu! Ayo bangun!” seru Joe sambil mengguncang badan Abu.
Dr Limbad berusaha menenangkannya. “Biarkan dia istirahat, Joe..” bisiknya. Perlahan-lahan air mata Joe menetes."Lihat, dia tersenyum. Dia meninggal dalam kedamaian." bisik Dr Limbad lagi. "Tapi tadi ia masih bersenda gurau denganku!" kata Joe sengau. Dr Limbad mengangguk. "Ya tapi benturan ketika kalian kecelakaan itu sangat keras." bisiknya.
Rain masuk ke dalam kamar Abu. Melihat Joe yang kelihatan sangat terguncang dan Dr Limbad yang berusaha menenangkan Joe, Rain langsung berkesimpulan: Abu sudah tiada.
Rain perlahan-lahan menghampiri Dr. Limbad. “Dr. Lim? Bolehkah aku meminjam telepon?” tanyanya. Limbad mengangguk. Rain kemudian ikut berusaha menenangkan Joe, dan meminta nomor telpon orangtua Abu. Joe yang masih terguncang kemudian memberikan nomor telpon orangtua Abu. Rain kemudian menelepon orangtua Abu. Bagai disambar petir orangtua Abu menerima kabar itu...
Dua hari kemudian, dua hari namun terasa seperti 5 menit bagi Joe, akhirnya Abu akan dimakamkan di Jakarta. Ia masih tidak percaya bahwa sahabat terbaiknya di dunia sudah tiada. Semuanya terasa berlalu begitu cepat dalam beberapa hari ini. Joe berusaha tampak tegar meski hatinya sakit sekali. Ia berjalan ke ruang depan rumah duka dengan langkah lesu, kemudian ia duduk. Ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha agar air matanya tidak keluar.
“Joe?” panggil seseorang. Joe menoleh. Pak Andre. “Bolehkah aku duduk?” tanya Pak Andre lembut. Joe mengangguk. Ia berusaha keras tidak menatap wajah Pak Andre.
“Ini semua salah saya.” kata Joe. Pak Andre langsung mengangkat tangannya. “Tidak. Jangan berbicara seperti itu.” kata Pak Andre tegas. “Aku dan istriku tidak menyalahkanmu, ini semua sudah kehendak Tuhan. Putra kami sudah lama sakit, kau tahu itu,” kata Pak Andre lagi.
Joe mulai tidak bisa mengontrol emosinya. “T-tapi jika s-saya tidak membawanya ke sini, ia akan masih bersama anda!” kata Joe sambil menggertakkan giginya. Suaranya bergetar sekarang. “Joe, tenang Nak! Tidak baik menyalahkan dirimu!” seru Pak Andre lagi.
Secara tak sadar Joe menabrakkan kepalanya ke dada Pak Andre. Pak Andre kemudian mengelus rambut Joe dan memeluknya layaknya putranya sendiri. “I-ia selalu berkata ingin sekali tampil di hadapan jutaan orang! D-dan saya sudah membuat mimpinya kandas!” kata Joe tergagap. “M-maafkan aku! M-maafkan aku!” seru Joe lagi.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan! Kau akan melanjutkan mimpi Abu! Kau akan tetap mengikuti kompetisi itu, dan jadilah juara!” kata Pak Andre tegas. “Hapus air matamu Nak.” Joe melepaskan diri dari pelukan Pak Andre. Ia merasa malu karena tidak bisa mengontrol emosinya. “Bolehkah aku melihat Abu untuk terakhir kali?” tanya Joe masih dengan suara sengau. “Bicara apa kau, Nak? Tentu saja boleh!” kata Pak Andre lembut.
Joe kemudian masuk ke dalam rumah duka itu. Jenazah Abu masih berbaring disana, tangannya mendekap, matanya tertutup dan tersenyum. Wajahnya terlihat damai sekali. Ia bisa disangka sedang tidur. Perlahan-lahan Joe menatap jenazah sahabatnya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kancing atas kemeja Abu terbuka. Joe kemudian mengancingkan kancing itu dengan pelan.
Secara perlahan-lahan, Joe kemudian menekukkan lututnya. Ia ingin bicara untuk yang terakhir kali kepada sahabat karibnya itu. Meski Joe tahu, tindakannya ini bodoh. Kepala Joe telah sejajar dengan kepala jenazah Abu sekarang. Joe kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Abu. “Hey ini aku, jagoan bodoh,” bisik Joe.
“Kau egois, eh? Katanya kau akan menemaniku sampai kapanpun. Kau bilang, kau akan selalu mendukungku. Tapi kau malah enak-enakan tidur disini,” gumamnya. Joe kemudian tertawa kecil. Ia kemudian menyedot ingus yang perlahan keluar dari hidungnya.
“Kau tahu, aku benci padamu. Aku benci kau melanggar janji kita untuk bersama selamanya.” lanjutnya lagi dengan suara yang sangat sengau. “Kau pergi begitu saja tanpa pamit. Tahukah kau itu perbuatan yang sangat tidak sopan?” Joe memaksakan diri untuk tertawa. “Aku benci kau, Abu. Aku benci kau meninggalkanku sendirian begitu saja seperti ini.” gumam Joe lagi. Selama sepersekian detik, Joe hanya menatap jenazah Abu dengan tatapan yang sangat kosong. Tiba-tiba di benaknya, terlintas sesuatu.
Joe melepas sebelah sepatu Abu dengan sangat hati-hati. Ia kemudian melepas sebelah sepatunya juga. Kemudian Joe mengeluarkan spidol dari sakunya. Ia kemudian menulis inisial namanya dan nama Abu di sepatu mereka masing-masing. Dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan, Joe memakaikan kembali sepatu yang telah ia tulisi dengan inisial namanya dan nama Abu ke kaki jenazah Abu. Sekarang jenazah Abu tampak agak ganjil dengan mengenakan sepatu yang berbeda, dengan masing-masing sepatu bertuliskan huruf “JS” dan “AM”. Tanpa disadarinya, ia tersenyum. “Pergilah ke surga, biar para malaikat menjagamu kawan,” bisiknya. “Sampaikan salamku terhadap papa dan mama kalau kalian bertemu di surga.”
           Pemakaman pun berlangsung dengan singkat... Joe merasa lega, entah mengapa, meskipun hatinya terasa bagaikan diiris sembilu. Rain menepuk punggung Joe, berusaha menghiburnya. Joe hanya bisa tersenyum kecil kepadanya. “Aku harus pulang ke rumah.. memulai hidup baru.. Bisakah kau memberikan nomor telpon mu? Supaya sekali-sekali kita bisa berkomunikasi, “ kata Rain. Joe tersenyum. Ia kemudian memberikan nomor telponnya. Setelah selesai pemakaman, Rain pergi. Joe kemudian berpikir setelah Rain pergi.Pak Andre benar, pikirnya. Ia harus melanjutkan mimpi Abu.
Joe akhirnya mengikuti audisi The Master. Dari sejak audisi, Joe sudah membuat para juri terpukau.. Perjalanan Joe cukup panjang di The Master tersebut. Sampai akhirnya malam final tiba, dan Joe dinobatkan menjadi juara. Saat dinobatkan menjadi juara, Joe melihat kursi yang kosong, dalam hatinya ia berpikir, kursi kosong itu seharusnya diduduki oleh Abu.
           “Untuk siapa kemenangan ini kau persembahkan?” tanya pembawa acara The Master tersebut. Joe menghela nafas. “Untuk sahabat saya, Abu Marlo, yang tak lekang oleh waktu. Seharusnya ia juga berdiri disini bersama saya, tapi kini ia telah tiada. Seharusnya kami bersama-sama di kompetisi The Master ini, tapi ia pergi mendahului saya. Untuk itu, saya persembahkan kemenangan saya ini untuk mengenang persahabatan kami yang tak akan lekang oleh waktu,” kata Joe.
Seluruh hadirin bertepuk tangan sambil berdiri. Sebagian bahkan ada yang mencucurkan air mata. Joe menatap ke atas... Abu pasti sedang mengawasinya dari surga sana... Dirinya tidak akan lekang oleh waktu.. Dan saat itu, Joe baru menyadari bahwa Abu tidak pernah benar-benar pergi, melainkan akan selalu hidup di dalam hatinya.