Minggu, 03 November 2013

Janji Ayah, Short Story written by me




Alkisah, di suatu kota, tepatnya di Bandung, hidup sebuah keluarga yang sangat bahagia. Keluarga itu adalah keluarga Santoso, yang terdiri dari Abu, sang kepala keluarga, Deasy, sang istri, dan Adrian, sang anak. Abu adalah seorang musisi yang sangat lihai memainkan gitar, sedangkan Deasy adalah seorang wanita sangat cantik yang kecantikannya pasti membuat iri wanita manapun. Sedangkan Adrian adalah anak laki-laki gagah yang sangat lihai bermain bola. Ia juga sangat menyukai musik. Bisa dibilang, keluarga Santoso adalah keluarga ideal yang sempurna.
“Ayah, tangkap!” seru Adrian yang sedang asyik bermain bola di halaman rumah. Ia menendang bolanya begitu kencang, nyaris menghantam kaca jendela rumah. Dengan sigap Abu menangkap bola itu. “Jika bolamu sampai memecahkan kaca jendela rumah kita, siapkan pelindung, Ibu mu pasti akan berubah menjadi monster api,” gumam Abu. Adrian tertawa terbahak-bahak.
“Hmmm kudengar ada yang membicarakanku?” ujar Deasy yang sekarang muncul di teras. “Ayah yang membicarakan Ibu, bukan aku,” ujar Adrian takut-takut. “Tidak, bukan aku yang membicarakan kau, tapi duplikatku yang membicarakan kau, istriku,” sahut Abu sambil tersenyum jahil. Deasy memutar-mutar bola matanya. “Kau ini memang paling bisa ngeles. Ayo masuk, makanan sudah siap,” ujar Deasy.
“Kau dengar itu, putraku? Ayo kita serbu masakan Ibu!” seru Abu sambil mengangkat Adrian tinggi-tinggi dan membawanya masuk ke dalam rumah. Kontan saja Adrian meronta-ronta. “Ayah, ayah, turunkan dong! Malu! Aku kan sudah 11 tahun, sudah besar!” seru Adrian disambut gelak tawa dari Abu dan Deasy. “Tapi bagi Ayah kau tetap his little boy,” gumam Deasy jahil, membuat sebuah bantal hampir mendarat di kepalanya. “Ih Ibu, berhenti menggodaku!” seru Adrian.
Keluarga bahagia itu pun kemudian duduk di meja makan. Abu memimpin doa sebelum makan. “Ya Tuhan Ku, terima kasih atas pemberian makanan yang begitu lezat ini melalui istriku yang cantik jelita, semoga makanan yang aku, istriku, dan anakku hari ini menjadi berkah,” ucap Abu memimpin doa, disambut dengan ucapan “AMIN” yang lantang dari Adrian dan Deasy secara bersamaan.
Dalam sekejap saja, rumah yang mungil itu dihiasi dengan gelak tawa dan candaan dari keluarga kecil tersebut. Deasy menceritakan lelucon-lelucon yang membuat Abu serta Adrian tidak henti-hentinya tertawa.
“Ayah,” kata Adrian tiba-tiba, memotong lelucon yang dilontarkan oleh Deasy, “Lusa aku tanding. Semi final. Penentuan untuk ke final. Ayah bisa menonton aku kan? Jangan Ibu terus yang menonton,” pinta Adrian dengan nada suara yang sangat memelas.
“Lusa tanggal 10 ya? Maka kau anak paling beruntung sedunia, Nak! Ayah off tanggal itu,” jawab Abu sambil mengedipkan matanya. Sinar kegembiraan langsung terpancar dari wajah Adrian. “World greatest dad! You are my hero! Nanti Ayah akan lihat betapa jagonya anakmu ini yah, melebihi skill Cristiano Ronaldo!” seru Adrian girang sambil memeluk Abu erat-erat.
“Sstt….Ayah tahu kau itu jago tapi tidak usah dipublikasikan seperti itu,” sahut Abu geli. “Ngomong-ngomong, ouch, ayah kecekik nih, pelukanmu terlalu erat,” sambung Abu lagi. Deasy tergelak melihat tingkah laku anak dan suaminya itu. Ia kemudian menoleh ke jam. “Sudah pukul 9, Adrian, sudah saatnya tidur!” perintah Deasy. Abu mengangguk menyetujui.
“Tapi aku mau dibacakan cerita dulu sama Ayah sebelum tidur,” pinta Adrian, kemudian memasang tampang memelas. Wajahnya menjadi begitu menggemaskan. Abu mencubit pipi putra semata wayangnya itu keras-keras. “Tadi kau Ayah gendong tak mau, sekarang malah minta dibacakan cerita,” godanya. “Aduuh…. Ayah…sakit tahu!” seru Adrian, kemudian memukul Abu dengan bantal sofa. “Itu pembalasan untuk pelukanmu yang erat tadi,” goda Abu lagi.
“Sudah, sudah, sudah malam ini, kalau tetangga dengar ada kegaduhan dari rumah kita, mereka mungkin menyangka kita sedang berusaha mengusir ular dari rumah,” kelakar Deasy lagi. Abu tergelak, kemudian mengepit Adrian di ketiaknya, dan membawa Adrian masuk ke dalam kamarnya.
“Jadi……Ayah akan membacakan cerita tentang King Arthur,” kata Abu sambil menurunkan Adrian ke tempat tidurnya. Abu kemudian mengambil buku cerita yang sudah using di rak.  “Siapakah King Arthur itu, Ayah?” tanya Adrian bersemangat. “Ia adalah seorang raja asal Inggris, raja yang sangat bijaksana,” jawab Abu. Kemudian Abu mulai membacakan cerita tentang King Arthur. Tak terasa, setengah jam pun berlalu.
“Akhirnya….. pedang itu berhasil dicabut oleh Arthur. Seluruh penduduk mengelu-elukannya, dan mereka menobatkannya sebagai raja. Mulai saat itu, ia dipanggil ‘King Arthur’,” kata Abu menutup ceritanya. “Dan sekarang, waktunya kau tidur, phyton cilik,” sambung Abu lagi sambil mengetukkan buku tersebut dengan pelan ke kepala Adrian. Perlahan-lahan Abu berdiri, kemudian mematikan lampu kamar Adrian.
Abu perlahan-perlahan keluar dan hendak menutup pintu kamar saat Adrian memanggilnya dengan pelan. “Ayah?” panggil Adrian. Abu menoleh. “Ya Nak?” tanya Abu dengan suara yang rendah. “Aku menyayangimu, Ayah. Sangat menyayangimu,” sahut Adrian malu-malu. Abu mendengus tertawa. “I love you too, son,” jawabnya geli. “Nah sekarang tidur dan jangan berkata apa-apa lagi.” Abu kemudian menutup pintu kamar Adrian dengan pelan.
2 hari kemudian…….
Abu, Deasy, dan Adrian tengah bersiap-siap berangkat ke pertandingan Adrian ketika ponsel Abu tiba-tiba saja berbunyi. “Tunggu disini, aku mau menerima telepon dulu,” kata Abu sambil menyelipkan seragam tim Adrian ke dalam bagasi mobil.
“Ya, Noel ada apa?” kata Abu saat kembali masuk ke dalam rumah.
“Abu, kau sedang ada dimana? Bisa kah kau ke Jakarta sekarang? Seorang produser melihat video penampilan kita di Hard Rock CafĂ© dan ia sangat tertarik. Ia minta demo rekaman kita dan ingin bertemu dengan semua personil band kita,” sahut Noel, teman Abu di seberang.
Abu merasa bagai disambar petir. “Noel, kenapa kau mengabari begitu mendadak begini? Aku sudah janji kepada anakku untuk menonton pertandingannya,” ujar Abu gusar.
“Ini kesempatan sekali seumur hidup, Abu. Si produser tidak bisa bertemu kita lain hari. Kalau kau tidak mau ikut menemuinya itu terserah, tapi berarti kau bukan anggota band kita lagi,” ancam Noel. “Beri saja Adrian pengertian, dia pasti maklum,” sambung Noel. Abu menutup teleponnya dengan kasar. “Sial!” gumamnya kesal.
Dengan langkah gontai Abu melangkah keluar rumah dan menghampiri Deasy serta Adrian yang sedang bersandar pada mobil. “Lama sekali sih? Adrian bisa telat ke pertandingannya,” ujar Deasy. Abu menghela nafas dalam-dalam.  “Kenapa, ada apa Ayah?” tanya Adrian. Abu kembali menghela nafas, kemudian ia berjongkok agar tingginya sama dengan Adrian sekarang. “Nak, tadi om Noel menelepon,” ujar Abu sambil meletakkan tangannya di pundak Adrian. “Lalu?” tanya Adrian lagi.
“Seorang produser tertarik terhadap band Ayah. Dia ingin bertemu dengan semua personil band Ayah. Dia tidak bisa menemui kami lain hari, hanya hari ini,” kata Abu lagi sambil menatap Adrian dengan serius. “Jadi artinya?” tanya Adrian kaku. “Artinya, maaf sekali Nak, Ayah tidak bisa menonton pertandinganmu hari ini,” kata Abu pelan. “Maafkan Ayah, Nak, tapi ini demi masa depan keluarga kita yang lebih baik,” bujuk Abu mencoba memberi pengertian.
Tanpa disangka, Adrian kemudian membanting pluit yang diberikan Abu sebagai kado ulang tahunnya yang ke 10 ke kaki Abu. Ia kemudian membalikkan badan, dan hanya berkata, “Ibu, ayo. Kita naik bis saja ke tempat pertandingan,” Deasy melempar pandang mencela dan pasrah kepada Abu, lalu mengikuti putranya. Abu hanya bisa diam melihat kekecewaan sang istri dan sang anak.
Dengan langkah gontai Abu masuk ke dalam mobil dan mulai menyetir. Ia merasa bersalah sekali kepada Adrian. Sepanjang perjalanan ia hanya memikirkan bagaimana caranya untuk menebus rasa bersalahnya kepada Adrian.
Akhirnya Abu sampai di Jakarta. Noel menyambutnya dengan antusias. “Ah, Abu, akhirnya kau datang juga. Pak Samuel sudah menunggu,” kata Noel girang. Abu hanya mengangguk dengan kaku. Mereka kemudian masuk ke dalam.
“Perkenalkan, Pak Samuel, ini gitaris kami,” kata Noel memperkenalkan Abu kepada Pak Samuel. Mereka pun berjabat tangan.  “Ah ya, ini pasti Abu,” kata Pak Samuel ramah. “Saya sudah menonton video permainan anda saat bermain gitar. Sungguh skill yang luar biasa,” ujarnya. “Banyak terima kasih,” kata Abu, merasa sedikit tersanjung. “Saya juga sudah mendengarkan demo rekaman kalian. Sungguh musik yang luar biasa unik. Perpaduan slow rock dan keroncong, eh? Saya betul-betul ingin mengontrak kalian. Bisakah kalian minggu depan datang kembali ke sini, untuk negosiasi kontrak? Bawa demo rekaman kalian yang lain juga ya,” kata Pak Samuel.
Gumam bergairah terdengar dari semua anggota band Abu. Mereka kemudian berjabat tengan dengan Pak Samuel. “Adrian pasti tidak akan marah lagi setelah kau beri tahu kabar bagus ini,” kata Noel sambil menepuk-nepuk pundak Abu. Abu hanya tersenyum kecut. Ia kemudian masuk ke mobilnya dan menyetir menuju Bandung kembali.
            Hari sudah sangat larut saat Abu kembali tiba di Bandung. Ia menyangka Adrian sudah tidur, tapi ternyata tidak. Tampak Adrian menonton tv dengan wajah sangat kusam. “Nak?” panggil Abu pelan. Adrian menoleh perlahan. “Bagaimana pertandingannya? Pasti jagoan Ayah cetak gol kan?” kata Abu berusaha menggoda Adrian. Adrian tidak menjawab sama sekali. Ia mendadak bangkit, kemudian berkata, “aku benci kau! Pengingkar janji nomor satu di dunia!” serunya, kemudian berlari masuk ke dalam kamarnya. Abu hanya bisa menghela nafas dalam-dalam.
            “Pertandingannya gagal total. Adrian sangat kecewa kau tidak menontonnya. Ia menjadi bermain sangat buruk. Bahkan ia diejek teman-temannya karena ia satu-satunya anggota tim yang tidak ditonton oleh ayahnya,” Deasy menyahut dari balik koran. Abu semakin dihantui rasa bersalah yang amat mendalam.
            “Begitukah? Dengar, aku juga sangat ingin menontonnya. Tapi pertemuan tadi sangat berharga! Kau tahu? Akhirnya band aku akan dikontrak studio rekaman,” kata Abu. Ia mengira Deasy akan kegirangan dan meloncat-loncat gembira, tapi nyatanya tidak. Deasy hanya mengangkat bahunya. “Adrian hanya ingin kau melihatnya bermain bola, tidak lebih,” ujarnya.
            Abu merebahkan dirinya ke sofa. “Jadi apa yang mesti kulakukan untuk menebus kesalahanku padanya?” tanya Abu sambil memejamkan matanya dalam-dalam. “Beberapa hari lagi kan ia ulang tahun. Beri ia kado ulang tahun. Ia sudah lama ingin action figure The Dark Knight Rises, kalau kau belum lupa,” jawab Deasy.
Action Figure The Dark Knight? Bukannya dia sudah punya?” tanya Abu heran. “Ya, tapi yang dia punya kan Batman. Dia ingin action figure Joker,” sahut Deasy. Tiba-tiba Abu teringat sesuatu. Ia kemudian menepuk dahinya kencang-kencang. “Oh,” gumam Abu. “Aku baru ingat. Tahun lalu memang dia minta aku untuk membelikan action figure Joker itu untuk ulang tahunnya yang ke 12,” ujarnya. Deasy tersenyum kecil. “Kalau begitu, tepati janjimu. Jangan kau ingkari lagi,” sahut Deasy. Abu mengangguk mantap. “Semoga ia memaafkanku jika aku membelikannya action figure itu,” gumamnya.
“Ngomong-ngomong, minggu depan aku harus menemui kembali Pak Samuel, produser yang mau mengontrak bandku untuk nego kontrak,” kata Abu lagi. Deasy hanya mengangguk. “Ya semoga sukses, aku hanya bisa mendoakanmu dari sini,” jawabnya.
Beberapa hari telah berlalu, tapi Adrian masih saja marah kepada Abu. Abu merasa sangat sedih atas sikap anaknya itu. Mereka yang tadinya begitu akrab, kini berjauhan hanya karena Abu ingkar janji sekali. Bujukan Deasy pun tidak mempan untuk Adrian, yang dasarnya memang sangat keras kepala.
Akhirnya, hari dimana Abu harus menemui Pak Samuel untuk negosiasi kontrak pun datang. Dengan tergesa-gesa Abu berpakaian, memakai setelan jas terbaiknya. Adrian yang sedang bermain Nintendo DS, sama sekali tidak menghiraukan Abu, bahkan bertanya dan menyapanya pun tidak.
“Barang-barang yang diperlukan sudah kukemas di dalam tasmu,” kata Deasy. “Semoga beruntung sayang, semoga lancar semuanya.” sambungnya lagi. Deasy kemudian merendahkan suaranya dengan sangat pelan, membuat Abu harus sedikit menunduk untuk mendengar apa yang dikatakannya. “Dan jangan lupa, action figure Joker,” bisik Deasy. “Pasti,” jawab Abu mantap. Setengah berlari ia mencoba menghampiri Adrian.
“Jagoan, Ayah berangkat dulu ya,” kata Abu sambil mencoba mengecup rambut Adrian. Tapi bukannya menjawab, Adrian malah mendorong Abu menjauh dan hampir membuat Abu terjungkal. Spontan saja Deasy langsung menegur Adrian. “Adrian, apa-apaan sih kau ini! Lihat ayahmu hampir saja terjatuh!” seru Deasy gusar. Adrian hanya mendelik dan kembali memainkan Nintendo DS nya.
“Tidak apa-apa kok,” gumam Abu, memaksakan diri untuk tersenyum, meski hatinya merasa sangat sedih. “Sudah ya, aku berangkat dulu,” sambung Abu lagi, kemudian melangkah keluar rumah dan menuju mobilnya dengan sangat gontai.
Saat menyetir, Abu tidak dapat berkonsentrasi sama sekali. Ia terus memikirkan Adrian. Hatinya benar-benar gundah karena sudah seminggu Adrian tidak mau berbicara kepadanya dan terus menerus bersikap kasar. Ia menjadi tidak sabar untuk segera membeli action figure Joker dan memberikannya kepada Adrian.
Tik…tik….tik…. hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Petir pun menggelegar-gelegar. “Duh!” gerutu Abu, merasa jengkel karena tidak bisa memacu mobilnya dengan kencang akibat hujan deras. Hujan makin lama makin deras, membuat kaca depan jendela mobil Abu menjadi sangat berembun. Abu menjadi kesulitan untuk melihat.
Hujan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Malah semakin deras dengan petir yang maha dahsyat. Kaca jendela mobil Abu sudah berubah menjadi putih sekarang. Dengan panik ia memencet-mencet tombol pengaktif wiper mobilnya. Wipernya macet dan tidak berfungsi. Abu tidak dapat melihat apapun sekarang, ia hanya bisa mendengar suara klakson dari mobil lain.
Dengan panik Abu membanting setir ke kanan. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Karena tidak dapat melihat apapun, mobil Abu pun menabrak trotoar, dan terguling, diiringi jeritan para pengendara dan pejalan kaki yang menyaksikannya.
Tepat pada saat itu, Deasy yang tengah mencuci piring tidak sengaja menjatuhkan piringnya sehingga menimbulkan suara PRANG yang memekakkan telinga. Adrian kemudian tergopoh-gopoh keluar dari ruang keluarga.
“Ibu, ada apa?” tanya Adrian. “Tidak apa-apa Nak, Ibu tidak sengaja memecahkan piring,” jawab Deasy. “Bermainlah kembali.” Adrian menggeleng-gelengkan kepalanya. “Makanya kalau cuci piring jangan sambil melamun,” godanya, kemudian melangkah kembali ke ruang keluarga. Deasy tidak menanggapi. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak. Wajar saja, karena sebelumnya Deasy tidak pernah menjatuhkan piring saat sedang mencuci. Ya Tuhan, batinnya. Apakah terjadi sesuatu kepada suamiku? Lindungilah ia selalu, Tuhan, batin Deasy.
Sementara itu, di lokasi kecelakaan Abu……..
Polisi beserta ambulans telah datang. Orang-orang merubung untuk menyaksikan. Mereka meringis melihat mobil Abu yang sudah ringsek dan penyok. Polisi berkali-kali harus berteriak dan memerintah massa untuk mundur agar proses evakuasi lancar. “Mundur, saudara-saudara, tolong mundur agar tidak memperlambat proses evakuasi,” seru salah satu polisi hampir habis sabar.
Seorang polisi berbadan tegap kemudian berusaha mengecek mobil. Ia menyisiri dari depan hingga belakang dengan cemas dan hati-hati. “Sudah ketemu penumpang mobil itu?” tanya sang pimpinan dari sebrang. Si polisi menggeleng putus asa. “Tidak ada. Kosong,” ujarnya.
“Kalau begitu telusuri sekitarnya. Mungkin ada yang terlempar,” perintah sang kepala polisi. Polisi berbadan tegap mengangguk mantap. “Siap, Komandan!” serunya. Kemudian dengan langkah perlahan dan sangat hati-hati, sang polisi menyusuri jalan di sekitar bangkai mobil Abu. Ia memicingkan matanya dan menoleh ke setiap sudut.
Tak berapa lama, tercium bau amis yang ia yakini adalah darah. Ia terus melangkah dengan pelan. Benar saja. Baru beberapa langkah, sang polisi menemukan tubuh Abu tertelungkup di sekitar rerumputan. Kemejanya telah robek, dilumuri darah disana – sini, wajahnya pun dipenuhi dengan luka gores.
Dengan hati-hati sang polisi membalikkan tubuh Abu dan memeriksa denyut nadinya. Abu sudah meninggal. “Komandan!” serunya. “Aku menemukannya! Penumpang mobil itu!” serunya lagi. Sang atasan kemudian berlari menghampirinya. “Ada tanda pengenal? Siapa tahu pria ini memiliki keluarga,” ucap sang komandan. Mereka kemudian menyusuri sekitar Abu kembali dengan hati-hati sampai akhirnya menemukan dompet Abu. Para polisi itu kemudian menelepon nomor yang tertera di dompet Abu.
Di rumah keluarga Santoso…….
Kriiing…….kriiiing……..kriiing…….telepon rumah berdering. “Adrian, tolong angkat teleponnya,” seru Deasy yang sedang menjemur pakaian di halaman rumah. Adrian yang tengah asyik bermain Nintendo DS, menggerutu panjang pendek dan bangkit dari kursinya. Dengan ogah ia mengangkat telepon itu. “Kediaman keluarga Santoso disini, Adrian berbicara,” kata Adrian kaku. “Ah jadi benar ya ini nomor rumah keluarga Santoso. Maaf Nak, kalau boleh tahu, apakah anda mengenal Abu Marlo Santoso?” tanya suara dalam itu.
“Tentu saja. Dia ayah saya,” jawab Adrian kaku. “Kalau boleh tahu anda siapa ya?” tanya Adrian lagu. “Nak, kami dari kepolisian dengan sangat menyesal harus memberimu kabar ini. Ayahmu mengalami kecelakaan dan sudah meninggal. Sekarang jenazahnya ada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Kami turut berduka cita.”
Perlu beberapa detik bagi Adrian untuk mencerna kata-kata tersebut. “A—a—a—pa Bapak bilang?” tanyanya lagi gugup. “Ayahmu kecelakaan Nak. Kami sangat menyesal. Bisa kami bicara dengan Ibu mu?” tanya polisi itu lagi. Masih shock, Adrian menaruh gagang telepon dan memanggil Deasy. Mendadak saja wajahnya basah dipenuhi air mata.
“Adrian, kau kenapa Nak? Telepon dari siapa?” tanya Deasy bingung. Adrian tidak menjawab, ia hanya menyeret Deasy dan menyuruhnya untuk mengangkat gagang telepon itu. “Disini Deasy Santoso berbicara, ada apa?” tanya Deasy. “Apakah Anda adalah istri dari Bapak Abu Marlo Santoso?” tanya si polisi lagi. “Betul, ada apa?” tanya Deasy, perasaannya diliputi kecemasan. “Kami dari kepolisian. Dengan sangat menyesal kami harus mengabarkan bahwa suami anda mengalami kecelakaan dan telah meninggal dunia. Sekarang jenazahnya ada di RS Cipto Mangunkusumo,” sahut si polisi lagi.
Deasy merasa seperti tersambar petir. Ia tidak sanggup berbicara. Lututnya langsung lemas seketika. Jadi inilah jawaban atas perasaan tidak enaknya tadi. “B-b-b-a-i-k kalau begitu, terima kasih sudah mengabari,” ujarnya pelan, kemudian menutup teleponnya. Deasy menoleh kepada Adrian, dan, tiba-tiba saja mereka sudah berpelukan dan saling bertangis-tangisan.


3 hari kemudian….
Pemakaman Abu dilaksanakan. Bila Deasy tak henti-hentinya menangis, maka kebalikannya dengan Adrian. Ia tidak menangis, tidak menjerit, maupun berkata apapun. Ia hanya duduk, merengut, dan memandang ke arah lantai. Tak ada seorang pun yang tahu betapa terlukanya hati Adrian dan betapa ia sangat merasa bersalah. Ia sangat menyesal telah bersikap kasar terhadap Abu belakangan ini.
Saat para pelayat pulang, rumah terasa sepi sekali. Adrian masih tidak beranjak dari tempat ia duduk. Ia masih saja diam dan merengut. Deasy kemudian duduk di sebelah Adrian. “Aku memiliki banyak kesalahan kepada Ayah. Aku belum sempat minta maaf.” ucap Adrian lirih, pertama kalinya ia berbicara semenjak pemakaman.
“Ayah sudah memaafkanmu dari dulu. Sebelum ia berangkat, kau tahu ia mengatakan apa?” tanya Deasy sambil memandang wajah putranya itu dalam-dalam. Adrian menggeleng. “Dia mau membelikanmu action figure Joker yang telah lama kau impi-impikan itu. Dia bilang, dia sudah janji kepadamu,” kata Deasy.
Adrian mendongakkan kepalanya. “Benarkah dia berkata seperti itu? Dia memang janji mau membelikannya untukku tahun lalu. Tahun lalu aku memang minta kepadanya untuk membelikan action figure Joker sebagai hadiah ulang tahunku yang ke 12,” ujar Adrian pelan. “Kalau begitu, Ibu, aku yakin dia akan menepati janjinya.”
Deasy tersenyum simpul. “Adrian, ayahmu sudah tiada, jangan berpikiran konyol,” kata Deasy sambil membelai rambut Adrian. Deasy kemudian bangkit dari kursi dan menyiapkan makan malam. Adrian sendiri tidak bisa menjelaskan kenapa di dalam hatinya ia merasa bahwa Abu akan kembali untuk menepati janjinya.
Waktu semakin berlalu, tidak terasa telah 4 bulan semenjak kepergian Abu. Deasy sudah bisa mengikhlaskan kepergian suaminya, bahkan ia telah belajar untuk melupakan Abu. Tapi tidak untuk Adrian. Hari ulang tahunnya yang ke 13 hanya tinggal sebulan lagi, dan keyakinan bahwa Abu akan kembali untuk menepati janjinya memberikan hadiah action figure Joker kepadanya semakin kuat. Ia berulang kali mengatakan hal ini kepada Deasy, membuat Deasy yang tadinya kasihan menjadi kesal.
“Adrian, lupakan Ayah!” seru Deasy sambil membanting garpu saat Adrian untuk kesekian kalinya mengatakan bahwa Abu akan kembali, membuat Adrian terlonjak. “Kau harus menerimanya! Ayah sudah bersama Tuhan dan tidak akan pernah kembali lagi!” seru Deasy dengan nada suara yang cukup tinggi. Adrian menatap ibu nya dengan mata berkaca-kaca. Selama beberapa menit, terjadi kesunyian yang canggung di antara mereka berdua.
“Maafkan Ibu, Nak, Ibu kasar, Ibu juga sangat merindukannya. Tapi kita harus ikhlas dengan kepergian Ayah,” bisik Deasy. Adrian hanya diam. Kemudian ia tiba-tiba bersuara memecah keheningan. “2 minggu lagi kan Ayah ulang tahun Bu. Aku ingin kita merayakannya, boleh kan Bu?” pinta Adrian dengan suara memelas.
“Baiklah, boleh saja,” jawab Deasy. “Dengan syarat, kau membantu Ibu membersihkan barang-barang Ayah sekarang,” sambungnya lagi. “Tentu, Bu, baiklah,” kata Adrian. Mereka berdua kemudian masuk ke dalam ruangan dimana Abu biasa berlatih dengan teman-teman band nya. Ruangan itu tampak berantakan, dengan pick guitar dan alat musik dimana-mana.
Adrian dan Deasy mulai membersihkan ruangan itu. Perlu memakan waktu cukup lama karena ruangan itu telah dipenuhi debu dimana-mana. Saat menyapu ruangan, Adrian menemukan sebuah buku tebal yang berjudul “Cara Jitu Menjadi Gitaris Jagoan”. Dengan iseng Adrian membuka buku tersebut. Alangkah terkejutnya ia saat melihat foto ia dan Deasy diselipkan di bagian paling depan buku tersebut.
“Ibu, lihat ini,” kata Adrian dengan penuh semangat dan menunjukkan buku itu kepada Deasy. “Ayah menyelipkan foto kita di halaman paling depan buku ini. Ia selalu melihat kita Bu!” Deasy ikut memandangi foto itu. Kemudian ia tersenyum kecil. “Dia memang pria paling sempurna di dunia,” gumamnya.
Malam hari pun tiba. Karena kelelahan setelah membersihkan ruang latihan Abu, Adrian tertidur pulas dengan cepat. Ia kemudian bermimpi. Tiba-tiba saja ia sedang berada di taman. Ia sedang duduk dengan santainya. Ketika matanya menyusuri sekitar taman, tampak seorang pria berbadan jangkung sedang berjalan membelakanginya dari kejauhan.
“Ayah!” panggil Adrian. Pria itu tidak menoleh sama sekali. “Ayah!” seru Adrian lagi, tidak menyerah. Pria itu terus berjalan. Dengan tergesa-gesa Adrian melompat bangkit dari bangku taman dan mengejar pria itu. “AYAH!” teriak Adrian sekencang-kencangnya. Pria itu perlahan-lahan menoleh. Benar, pria tersebut ternyata adalah Abu.
Dengan mendadak Adrian melompat ke pelukan Abu. Abu mencium rambut putranya itu keras-keras. “Ayah, maafkan aku, sudah bersikap kasar kepadamu,” bisik Adrian lirih. Abu tidak menjawab apa-apa. Ia kemudian menurunkan Adrian. Kemudian berbalik, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. “Ayah!” seru Adrian. “Tunggu!” Tapi Abu keburu menghilang. Adrian perlahan-lahan membuka matanya. Mimpi yang sangat indah, dapat memeluk ayahnya kembali. Mimpi tadi semakin menguatkan keyakinan Adrian bahwa Abu akan kembali untuk menepati janjinya.
2 minggu kemudian……..
Hari itu adalah tanggal 24 Maret. Hari dimana Abu berulang tahun. Sesuai dengan permintaan Adrian sebelumnya, Deasy menyiapkan kue untuk merayakan ulang tahun Abu. Dengan penuh semangat Adrian menaburkan krim bertuliskan “SELAMAT ULANG TAHUN AYAH” di atas kue dan menaruh lilin di atasnya.
“Ibu, nyalakan koreknya!” seru Adrian antusias. Dengan pasrah Deasy menyalakan korek dan menyalakan lilin yang ada di atas kue. Kemudian, dengan penuh semangat Adrian membawa kue tersebut ke jendela. “Selamat ulang tahun Ayah! Aku sangat menyayangimu!” seru Adrian sambil menengadah menatap langit. Perasaan Deasy campur aduk antara geli dan tersentuh melihat tingkah laku anaknya itu.
Tanpa disangka-sangka, angin bertiup dan memadamkan lilin yang ada di atas kue ulang tahun itu. Deasy ternganga tak percaya. “Itu tidak mungkin,” bisiknya. “Ibu, Ayah meniup lilinnya, ayah meniupnya!” seru Adrian lantang. Belum habis akan keterkejutan Deasy, terdengar derap suara langkah kaki. Deasy dan Adrian sangat mengenali suara derap langkah kaki itu. Dengan ngeri mereka membalikkan badan.
Tampak Abu berdiri tegap, gagah seperti biasanya. Ia memakai setelan jas berwarna putih-putih, dan sepatu bot berwarna putih. Di tangannya ia memegang sebuah action figure Joker dengan tinggi 15 cm yang dibungkus oleh sebuah plastik.
“AYAH!” seru Adrian, ia kemudian berlari dan menghambur ke pelukan Abu. “Aku tahu Ayah akan kembali! Aku tahu Ayah pasti akan menepati janji Ayah!” seru Adrian. Abu tersenyum. “Aku tidak akan mengingkari janjiku untuk yang kedua kali,” bisik Abu. Deasy yang hanya menonton dari tadi, akhirnya ikut menghambur ke pelukan Abu. Tangis Adrian dan Deasy pun pecah. “Jangan tinggalkan kami lagi, ku mohon,” bisik Deasy dengan suara sengau.
Abu kemudian menaruh action figure Joker itu ke dalam tangan Adrian. “Aku tidak bisa lama-lama,” gumamnya. Abu melepaskan diri dari pelukan Deasy dan Adrian, kemudian berjalan menuju pintu, melangkah keluar, kemudian dalam sekejap sudah menghilang. “Lihat Bu! Sudah ku bilang, Ayah pasti kembali! Ayah pasti menepati janjinya!” seru Adrian sambil mengangkat action figure Jokernya tinggi-tinggi. Deasy mengangguk, hatinya dipenuhi perasaan haru.
Adrian membuka plastik yang membungkus action figure Joker itu. Di belakangnya terdapat tulisan “Jagoan Ayah, ini kado untukmu. Jangan pernah lupakan Ayah ya?” Entah mengapa Adrian langsung tersenyum melihat tulisan itu. Ia baru sadar, bahwa sang Ayah akan selalu hidup di dalam jiwa dan raganya.

--TAMAT--

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah keren postingannya^^
http://goo.gl/8Uj7FT

Puspa Allamanda Blog mengatakan...

makasih udah baca :D

Anonim mengatakan...

Hai hai ... mampir nih, memenuhi janji ;)
Aku sih nggak pandai nulis cerita, lagi belajar juga :)
Yang kubilang tentang caramu menulis dialog, seharusnya sih dialog itu satu paragraf untuk satu tokoh. Jadi nggak digabung2 dengan tokoh yang lain. Membacanya jadi lebih enak dan gak bingung 'ini siapa yang lagi ngomong?' :)
Trus pada kalimat sapaan, mesti dikasih koma dulu, misalnya, "Lihat Bu! Sudah ku bilang, Ayah pasti kembali! ..."
---> "Lihat, Bu! Sudah kubilang, ayah pasti kembali! ..."
Ada baiknya PRANG gak usah dituliskan. Atau mungkin dibikin gini juga bisa, contoh: PRANG! Tak sengaja Puspa menjatuhkan piring yang ada di tangannya. <--- ini contoh doang :D
Penulisan elipsis atau tanda titik 3 ( ... ) diberi spasi dulu.
Untuk memulai kalimat, sebaiknya nggak menggunakan angka, disebut aja, satu atau dua, dst.
Untuk segi cerita, temanya sederhana, cukup asyik untuk dinikmati. Termasuk cerita anak ya spertinya ... :D
TAPI ada lubang besar dalam cerita, yaitu Abu dikisahkan mengalami kecelakaan saat hujan lebat banget. Lalu setelah itu apa kabar hujannya? Apa saat pak polisi berada di tkp ujannya udah brenti atau gimana? Trus, si ibu lagi menjemur pakaian?

Puspa Allamanda Blog mengatakan...

Haiii :D haha oke.. Maksud aku sih biar ga jadi banyak paragrafnya dan ga jadi berat loadingnya.. Iya ceritanya pas di TKP ujannya udah berhenti,lupa nulis.. Si ibu lagi jemur pakaian, kan dia di bandung jd ceritanya ga ujan di bandung.. Kalo si abunya kan lagi mau ke jakarta :D makasih ya kritiknya.. Ditunggu kritiknya untuk cerpen2 aku yang lain :D