Weshley Hutagalung: Jangan Rusak Mimpiku
Jakarta, 20 April 2010.
Selasa siang yang mungkin tak akan pernah saya lupakan. Di panggung, di
hadapan sejumlah wartawan, duduk empat tokoh dalam acara jumpa pers
Manchester United Premier Cup yang digelar Nike.
Sepulang dari
acara itu, hingga saat ini saya duduk menghadap komputer dan jari-jemari
menekan tombol menyusul huruf-huruf di monitor, rasa dongkol tak
kunjung hilang mengingat tanya-jawab yang terjadi Selasa lalu.
“Apa
pekerjaan orangtua kamu” begitu tanya Sekretaris Jenderal PSSi, Nugraha
Besoes, pada Rudi Setiawan. Remaja ini adalah satu satu pemain yang
beruntung mencicipi kesempatan bermain di Manchester dua tahun lalu
mewakili Indonesia (Villa 2000).
Dengan pelan, saya mendengar
Rudi menjawab, “Wiraswasta.” Tak puas, sang sekjen meminta jawaban lebih
lanjut. “Iya, wiraswastanya ngapain?”
Kembali suara pelan terdengar, “Pedagang, Pak.”
“Dagang apa?” Tanya pria berkacamata ini. “Jual sayuran.”
Kata-kata
Rudi tak seperti yang saya khawatirkan. Tidak ada nada malu, walau tak
ingin membanggakan pekerjaan sang ayah. “See,” ucap petinggi PSSI dengan
segera dalam bahasa Inggris. “Pemain masa depan kini ini bapaknya
seorang penjual sayur.”
Saya mencoba mengerti tujuan Kang Nug,
demikian ia biasa disapa. Sulit bagi PSSI memberikan prestasi melalui
tim nasional kepada masyarakat bila gizi dan kebutuhsan anak-anak
Indonesia tidak seperti mereka yang ada di Eropa.
“Kebanyakan
makan sayur juga enggak baik.” Masih terngiang kata-kata itu keluar dari
mulut Nugraha. Sungguh saya terluka dengan sikap sang sekjen.
“Kamu minum susu enggal? Berapa gelas sehari?” Pertanyaan Nugraha dijawan pelan, “Minum, Pak. Segelas.”
Kembali
inferensi si orang tua mengejutkan. “Mana cukup itu untuk menjadi
pemain sepak bola. Minum dua liter sehari!” Lagi-lagi saya merasakan
intonasi yang menusuk.
Pembaca, izinkan saya menempatkan diri
berada di atas panggung sebagai seorang Rudi Setiawan dan menjadi
bulan-bulanan pengurus PSSI.
“Memang benar ayahku
seorang tukang sayur. Tapi, apakah salah kalau aku bermimpi menjadi
pesepak bola profesional meski hanya anak seorang tukang sayur?
Bukan salahku bila prestasi timnas Indonesia tak menggembirakan. Aku
ingin seperti Lionel Messi, yang divonis menderita karena gangguan
hormon pertumbuhan bada ketika berusia 11 tahun tapi bakatku dilihat
Barcelona.
Keluarga kami tergolong miskin. Bapakku hanya
pekerja pabrik, ibuku menyediakan tenaganya untuk bersih-bersih di rumah
orang kaya. Aku sudah pasrah ketika biaya perawatan untuk tumbuh normal
mencapai 900 dolar Amerika setiap bulan.
Pak Nugraha, aku
tidak merasa dipermalukan, tersinggung, atau patah arang atas
ucapan-ucapan bapak. Tapi, entahlah kalau hal yang sama bapak lontarkan
kepada rekan-rekan aku yang lain yang juga punya mimpi menjadi pemain
sepak bola dan ingin mengharumkan bangsa ini.”
Pembaca,
jujur saya tak mengenal Rudi. Hanya pernah membaca tentang dirinya serta
melihat rekamannya bermain di acara jumpa per situ. Tapi muncul
keingintahuan tentang bakat remaja berusia 17 tahun itu.
Saya
menanyakannya kepada Ganesha Putra, petinggi Villa 2000, klub yang
dibela Rudi ketika mengikuti MUPC dua tahun lalu. “Rudi sangat berbakat.
Penampilannya di Manchester termasuk menonjol, terutama ketika melawan
wakil Spanyol, Real Madrid.” Ganesha tak bohong.
Rasa penasaran
saya sampai pada perbincangan dengan Ernest Rodriguez, Sports Marketing
Manager Nike. Dari Kuala Lumpur, warga Singapura ini mengenang kembali
kejadian tahun 2008 itu. “Ya, saya ingat pujian dari orang-orang di
sekitar saya. Mereka bilang Rudi mampu membuat perbedaan di tim
Indonesia. Ketika di Malaysia pun orang dibuatnya terkagum-kagum,” ujar
Ernest via telepon.
Salah satu pujian muncul dari mulut Mark
Dempsey, pelatih Man. United junior saat itu. Mantan gelandang United
dan Sheffield United itu secara khusus menitip pesan kepada kubu
Indonesia.“Jaga anak ini. Ia bisa bermain di semua tim peserta kejuaraan
MUPC,” begitu pujian Dempsey terhadap anak si tukang sayur. Sayang
memang, tubuh Rudi yang tergolong pendek (159 cm) dianggap sebagai
penghalang. Termasuk menjadi bagian dari tim junior kita yang dikirim
berguru ke Uruguay.
“Saya ingat ada pengurus klub West Ham United
yang datang kepada kami. Menurutnya, bila tubuh Rudi lebih tinggi lagi,
ia akan diajak bergabung ke West Ham junior,” lanjut Ernest. Pikiran
saya melayang ke masa kecil bintang seperti Rivaldo dan Romario.
Diceritakan, Rivaldo tumbuh di gubuk reyot dan kemudian mendapat gaji
dari Barcelona sekitar 7 juta dolar AS per musim.
Apakah tubuh
Lionel Messi yang 169 cm tergolong tinggi? Namun Barcelona mencari cara
agar talenta brilian Messi mendapat dukungan melalui gaya bermain tim.
Gizi memang penting untuk menjadi pesepak bola brilian. Tapi, saya jadi
ingin tahu berapa liter susu yang dulu diminum Maradona dan Messi setiap
hari?
source : bolanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar