Minggu, 01 September 2019

Kami Akan Selalu Ada Untuk Kau, Misaki! A Captain Tsubasa fanfic, Bab II

Keesokan harinya, para anggota tim Nankatsu FC beserta Coach Roberto kembali menengok Misaki lagi. Seperti yang sudah mereka janjikan, mereka membawa banyak sekali hamburger, minuman, beberapa tumpuk komik, bunga, serta berbagai macam kartu ucapan semoga lekas sembuh dari teman-teman dan guru-guru di sekolah untuk Misaki. Akan tetapi, semua itu sepertinya tidak dapat membuat Misaki menjadi terhibur. Wajahnnya terlihat murung dan pucat sekali.

"Kenapa, Misaki? Apa hamburger yang kami bawakan tidak enak?" tanya Tsubasa. Misaki hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan.

"Enak kok, teman-teman. Terima kasih, ya. Aku cuma agak mual jadi sedikit tidak nafsu makan."

"Misaki, ayolah, bergembiralah! Jangan murung terus seperti itu! Kami sedih melihat kau sedih seperti ini, Misaki…" gumam Anego. Sebelum Misaki sempat menjawab, Dokter Ryunosuke melangkah ke dalam.

"Pagi anak-anak! Pagi, Pak Roberto!" sapanya dengan ramah kepada mereka semua.

"Pagi, Dokter Ryunosuke," jawab para anggota tim Nankatsu FC secara bersamaan.

"Pagi, Dokter," jawab Coach Roberto.

Dokter Ryunosuke kemudian mendekat ke tempat tidur Misaki.

"Halo, Taro, bagaimana perasaan kau?"

"Baik-baik saja, Dokter, terima kasih."jawab Misaki dengan pelan. Seluruh anggota tim dan Coach Roberto hanya bisa memandang Misaki dengan iba, karena mereka tahu betul Misaki berbohong. Ia tidak baik-baik saja. Sama sekali tidak. Tapi mereka juga salut, dengan cobaan yang datang kepadanya bertubi-tubi seperti ini, Misaki masih bisa kelihatan kuat, padahal mereka tahu, di dalam hatinya, Misaki menangis.

"Nah, izinkan Paman Dokter untuk menyuntik dan mengambil darah kau dulu, ya, Misaki! Tahan ya kalau sakit." Dokter Ryunosuke lalu mengeluarkan sebuah jarum suntik besar dari saku jas dokternya. Mereka semua menatap jarum suntik itu dengan ngeri.

"Ih, disuntik kan sakit! Untuk apa Misaki harus disuntik dan diambil darahnya, Dokter?" tanya Anego.

"Untuk kemoterapi, gadis manis."

"Uh, apa sih kemoterapi itu, Paman Dokter?" tanya Izisaki.

"Kemoterapi itu semacam pengobatan untuk membunuh sel-sel kanker yang ada di tubuh Misaki. Kemoterapi yang akan Paman Dokter lakukan untuk Misaki biasa disebut Intraoperative Radiation Therapy (IORT). Paman Dokter akan mengarahkan sinar X pada bagian punggung Misaki untuk membunuh sel-sel kanker yang ada di dalam tubuh Misaki. Mesin sinar X ini biasa disebut megavoltage atau linear accelerator. Cara ini paling ampuh untuk membuat penyakit kanker tulang sumsum Misaki cepat sembuh, anak-anak."

"Tapi mengapa Misaki harus dikemoterapi? Bukankah Anda bilang bahwa untuk membuat Misaki sembuh dia harus melakukan operasi transplantasi tulang sumsum di Amerika, Dokter?" tanya Coach Roberto dengan kebingungan.

"Ya, benar, Pak Roberto. Tapi Misaki harus tetap melaksanakan kemoterapi, untuk membunuh sel-sel kankernya. Jika Misaki tidak melaksanakan kemoterapi, sel-sel kankernya akan menyebar, mengganas, dan bisa memakan tulang sumsumnya."

Dr. Ryunosuke lalu menolehkan kepalanya ke arah Misaki.

"Dan, Misaki, kau perlu tahu bahwa kemoterapi ini, punya efek samping. Antara lain, kau akan selalu merasa lemas, dan rambut kau akan menjadi rontok."

"RAMBUT RONTOK?" teriak Izisaki, Anego, dan Tsubasa secara bersamaan. Aduh, mereka tidak bisa membayangkan bagaimana jika Misaki menjadi botak…

"Iya, benar, rambut rontok. Bagaimana, Misaki? Kau siap untuk segala resiko yang akan kau tanggung? Tapi pertama-tama, Paman Dokter harus mengambil darah kau untuk memastikan kalau kau aman untuk melaksanakan kemoterapi. Paman Dokter harus mengetahui hemoglobin, leukosit, dan trombosit kau terlebih dahulu."

"Silahkan saja, Paman Dokter," ucap Misaki dengan lemas. Mereka semua lalu sedikit menjauh dari tempat tidur Misaki untuk memberi ruang untuk Dokter Ryunosuke. Dokter Ryunosuke lalu menyuntik lengan Misaki secara perlahan-lahan. Tsubasa merasa ngilu melihatnya, sementara Anego langsung keluar dari kamar karena tidak tega melihat Misaki disuntik. Setelah selesai, Dokter Ryunosuke mengambil sampel darah Misaki ke lab untuk dianalisis, dan sekitar 20 menit kemudian, ia kembali dan bilang bahwa Misaki aman untuk melakukan kemoterapi.

"Nah, sekarang ayo, kita ke ruang kemoterapi. Tsubasa, kau bisa minta kursi roda kepada suster untuk Misaki?"

"Baik, Dokter." Tsubasa mengangguk, lalu berlari keluar, dan tak lama kemudian kembali dengan mendorong sebuah kursi roda.

"Yuk, Misaki." Ucap Coach Roberto sambil menghampiri tempat tidur Misaki dan menggendong Misaki dengan satu gerakan mudah. Mendadak wajah Misaki menjadi memerah. Ia merasa malu sekali. Ia sudah merepotkan teman-temannya, dan ia sekarang malah membuat repot Coach Roberto juga.

"Coach Roberto, aku bisa sendiri, turunkan aku, tidak usah menggendong aku seperti ini…"

"Sudah, tidak apa-apa, Misaki," Coach Roberto lalu membantu Misaki duduk di atas kursi roda, dan meluruskan kaki Misaki agar Misaki merasa nyaman. "Sudah nyaman, Misaki?"

"Sudah kok, Coach Roberto. Terima kasih banyak."

"Ayo, kita ke ruang kemoterapi sekarang." Ucap Dokter Ryunosuke.

"Kami semua boleh ikut, Dokter? Apa kami boleh melihat Misaki dikemoterapi?" tanya Matsuyama.

"Iya, kami ingin menyemangati dan mendukung Misaki, Paman Dokter! Boleh ya, kami lihat Misaki dikemoterapi?" timpal Tsubasa.

"Tentu saja boleh, kenapa tidak?" Dr. Ryunosuke tertawa kecil. "Taro, kau benar-benar beruntung memiliki teman-teman yang begitu baik seperti mereka semua!"

Misaki tersenyum lemah, dan mengangguk pelan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Misaki lalu didorong oleh Tsubasa dan mereka semua berjalan menuju ke ruang kemoterapi. Saat sampai di ruang kemoterapi, seluruh anggota tim Nankatsu terpesona tapi juga merasa takut. Ruang kemoterapi yang besar dan serba putih itu dipenuhi berbagai macam alat aneh, jarum, dan juga infus. Mereka merasa ngeri membayangkan apa yang akan mereka lihat nanti, tapi mereka harus mendukung dan menyemangati Misaki.

"Yuk, kita mulai, Misaki. Kau harus ganti baju steril dulu dan berbaring di tempat tidur itu. Ada yang bisa membantu Misaki?" ucap Dokter Ryunosuke.

"Ayo, Misaki." Tsubasa lalu membantu Misaki berdiri. Coach Roberto membantu Misaki mengganti piyamanya dengan baju steril untuk kemoterapi. Setelah selesai, Coach Roberto menggendong Misaki sekali lagi dan membaringkannya secara hati-hati di atas tempat tidur yang sudah disediakan.

"Oke, Misaki, anak pintar, bisa kau miringkan badan kau sebentar, Nak? Kau harus disuntik terlebih dahulu."

"Aduh, disuntik lagi…. Kasihan sekali sih Misaki…" gumam Urabe. Para anggota tim Nankatsu dan Coach Roberto bersandar pada dinding, mengawasi dengan tegang. Misaki menuruti perintah Dokter Ryunosuke. Ia memiringkan badannya sedikit, lalu Dokter Ryunosuke kembali mengeluarkan beberapa jarum suntik dari saku jas dokternya. Ia menyuntik punggung Misaki secara perlahan-lahan. Setelah menyuntik punggung Misaki selama kurang lebih 5 kali, Dokter Ryunosuke memasang jarum di punggung Misaki. Awalnya, Misaki tampak tenang, dan tidak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulutnya. Namun lama kelamaan, ia mulai berteriak, "ADUH! ADUH! ADUH!" berkali-kali. Teman-temannya dan Coach Roberto benar-benar tidak tega melihat Misaki kesakitan seperti itu.

Mereka kemudian meneriakkan kata-kata penyemangat seperti,"Tahan Misaki, semangat Misaki, yang kuat Misaki!" Terus menerus. Kata-kata penyemangat dari teman-temannya membuat Misaki bisa menahan rasa sakitnya selama beberapa menit berikutnya yang terasa seperti neraka. Ingin rasanya ia berlari dan memeluk mereka semua. Teman-teman, Coach Roberto…. Kalian tidak tahu betapa berartinya kalian bagi aku….

"Oke, selesai, Misaki. Anak pintar, sekarang kita ke ruang radiologi untuk terapi radiasi. Ayo, Nak, tidak perlu takut."

Misaki digendong oleh Coach Roberto dan didorong oleh Tsubasa lagi. Mereka semua berjalan menuju ruang radiologi. Di ruang radiologi, Dokter Ryunosuke meminta Coach Roberto untuk membaringkan Misaki di atas mesin MRI.

"Sudah siap, Misaki? Bisa kita mulai terapinya sekarang?"

"Ya, Paman Dokter. Silahkan dimulai," jawab Misaki dengan pelan.

"Misaki, Nak, kau perlu tengkurap di dalam MRI. Kau bisa melakukannya sendiri, atau kau perlu bantuan aku?"

"Aku bisa sendiri, Paman Dokter. Tidak perlu khawatir." jawab Misaki lagi, kemudian ia membalikkan badannya.

"Nah, oke, semua sudah siap… Misaki, Nak, kita mulai radioterapinya, jangan bergerak sama sekali sampai aku bilang, 'OKE!' Mengerti, Misaki, Nak? Kau bisa tidak bergerak sama sekali selama beberapa saat?"

"Aku bisa, Paman Dokter. Mulai saja."

"Baiklah…. Mulai!" Dokter Ryunosuke kemudian menyalakan mesin MRI, megavoltage, dan linear accelerator. Perlahan-lahan, Misaki terdorong masuk ke dalam mesin tabung MRI. Bunyi mesin MRI dan X-Ray yang bising membuat mereka semua menjadi pusing. Tsubasa dan lainnya menghela nafas dalam-dalam, menunggu dengan pasrah.

Setelah sekitar 30 menit, radioterapi itu akhirnya selesai dan Misaki keluar dari mesin MRI. Saat Misaki keluar, beberapa bagian rambutnya pun sudah rontok. Namun wajah Misaki tetap tanpa ekspresi sama sekali, seakan-akan apa yang baru saja dialaminya itu adalah sesuatu yang wajar. Padahal teman-temannya dan Coach Roberto sudah berusaha keras menahan agar air mata mereka tidak tumpah. Mereka semua lalu mengerubungi Misaki.

"Kau baik-baik saja, Misaki? Duh, pasti sakit sekali ya… " ucap Izisaki. Betapa herannya mereka semua, karena Misaki malah tertawa kecil.

"Duh, kalian ini, kenapa sih, teman-teman! Kok muka kalian sedih seperti itu, sih, kaya mau menangis? Aku kan cuma habis dikemoterapi, ih, kalian seperti pemeran telenovela saja! Lihat rambut aku, lama-lama aku bisa seperti Vin Diesel, botak!"

"Misaki, masih sempat-sempatnya berkelakar," gumam Izisawa sambil menggelengkan kepalanya. Mereka lalu kembali ke kamar inap Misaki.

"Wah, kita harus pulang sekarang, Misaki! Ingat, untuk tetap semangat! Ingat, kami akan terus menemani kau, dan percayalah, kami akan mendapatkan uang untuk biaya operasi kau sehingga kau bisa sembuh total, oke?" Kisugi menepuk bahu Misaki dengan lembut.

"Terima kasih, Kisugi. Terima kasih banyak, teman-teman, sudah menemani aku hari ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian semua, teman-teman." Bisik Misaki.

"Ayo, pulang! Dadah Misaki… tenang saja, nanti kami akan bawakan Gameboy, majalah donal bebek, catur, dan mainan supaya kau tidak bosan disini." Ucap Izisaki sambil melambaikan tangannya.

Misaki membalas lambaian tangan mereka. "Terima kasih sekali lagi, teman-teman! Hati-hati ya di jalan."
Setelah yakin semua teman-temannya, Coach Roberto, dan Dokter Ryunosuke telah pergi, dan ia sekarang sendirian di kamarnya, Misaki membenamkan wajahnya ke bantal. Ia mulai menangis. Bohong sekali jika ia merasa baik-baik saja. Bohong sekali jika ia tidak merasa putus asa, dan tetap ceria. Bohong sekali jika ia menganggap lucu jika ia menjadi botak. Kemoterapi tadi benar-benar menyakitkan. Dan sangat perih.

Oh Tuhan, jika Engkau berkehendak, lebih baik ambil saja nyawa aku. Aku tak mau terus-terusan hidup dalam keputusasaan, dikelilingi rumah sakit, obat, jarum suntik, dan dokter seperti ini! Lebih baik aku mati saja, Tuhan!

Betapa kagetnya Misaki saat merasa ada sebuah tangan memegang pundaknya dengan lembut. Ternyata Tsubasa.

"Misaki? Kau baik-baik saja? Eh…. Maaf… kau menangis, Misaki?"

Misaki buru-buru menghapus air matanya dan membalikkan badannya. Ia kemudian duduk di atas tempat tidurnya.

"Eh, Tsubasa? Kok kau masih ada disini? Aku kira kau sudah pulang bersama yang lain."

"Tadi handphone aku jatuh dari tas, jadi aku ambil. Lalu aku sepertinya mendengar suara kau sedang menangis." Tsubasa menatap dalam-dalam wajah sahabat karibnya itu. Matanya merah, wajahnya sembab. Jelas sekali ia habis menangis. "Kau menangis, benar kan, Misaki? Kau tidak bisa membohongi mata aku."

Mereka hanya saling bertatapan selama beberapa detik. Tiba-tiba saja, Misaki membenamkan wajahnya ke lututnya, dan mencengkeram sisa rambut yang ada di kepalanya. Bahunya naik turun, badannya bergetar. Dengan terburu-buru Tsubasa duduk di sebelah Misaki dan membelai punggungnya dengan lembut. Mungkin saja Misaki bisa merasa sedikit lebih baik.

"Tidak ada yang salah jika kau ingin menangis. Menangislah, Misaki. Aku mengerti bagaimana perasaan kau. Kau tidak perlu berpura-pura kuat atau semacamnya. Luapkan saja semua kesedihan kau. Yang jelas kau harus tahu bahwa aku dan yang lain akan selalu ada untuk kau, sobat."

"Terima kasih, Tsubasa. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi ini semua. Aku tidak mau hidup seperti ini. Lebih baik aku mati saja, Tsubasa. Sungguh!"

"SHHH! Kau tidak boleh bicara seperti itu, Misaki, orangtua kau pasti sedih jika melihat anaknya yang biasanya pantang menyerah menjadi rapuh seperti ini—" Perkataan Tsubasa terpotong oleh suara langkah-langkah kaki. Ia menoleh. Ternyata Dokter Ryunosuke.

"Lho, Tsubasa, masih disini? Belum pulang bersama yang lain?" tanyanya dengan heran. "Eh, Misaki, kau kenapa, Nak? Kau menangis?"

Misaki mengangkat kepalanya perlahan-lahan dari lututnya. "Paman Dokter, aku takut. Aku takut tidak kuat menjalani semua ini, Paman Dokter. Aku takut aku tidak bisa bermain bola lagi. Padahal sepakbola adalah mimpiku, sepakbola adalah hidupku!"

Perlahan-lahan, Dokter Ryunosuke tersenyum, dan menatap Misaki dengan tatapan yang sangat serius.
"Misaki, dengar Nak, dengarkan Paman. Di dalam sejarah, dan di dalam karir paman sebagai seorang dokter selama lebih dari 15 tahun, ada banyak sekali orang yang sakit keras, secara tiba-tiba, tanpa penjelasan, tanpa logika sama sekali, sembuh total. Dan, jika itu terjadi, kami semua menyebutnya keajaiban. Dari awal Paman bertemu dengan kau, Misaki, Nak, Paman sudah tahu bahwa kau adalah anak yang spesial, anak yang kuat. Dan Paman sangat, sangat yakin, bahwa kau akan termasuk dari salah satu orang-orang itu."

Tsubasa merasa takjub sekali mendengar kata-kata Dokter Ryunosuke. Paman Dokter benar, keajaiban akan selalu ada.

"Jadi, Paman mohon jangan kecewakan Paman. Jangan kecewakan Paman dengan gampang menyerah begitu saja, oke?" Dr. Ryunosuke melanjutkan sambil tersenyum dan membelai sisa rambut Misaki dengan lembut dan kebapakan. Misaki balas tersenyum, menghapus air matanya, dan mengangguk pelan.

XXX
Sepulang dari rumah sakit, seluruh anggota tim Nankatsu FC mulai mengumpulkan barang-barang bekas yang tidak terpakai di rumah mereka masing-masing. Kisugi berhasil mengumpulkan beberapa sepatu impor bekas ayahnya. Taki berhasil mengumpulkan koleksi kamera langka. Matsuyama berhasil mengumpulkan koleksi jam tangan milik ibunya. Urabe juga berhasil mengumpulkan beberapa koin langka milik kedua orangtuanya. Sedangkan Izisaki, Morisaki, dan Tsubasa berhasil mengumpulkan beberapa gaun pesta milik ibu mereka masing-masing yang kondisinya masih bagus. Untunglah, orangtua mereka semua sangat mendukung. Malah, orangtua mereka merasa kesal karena tidak bisa membantu lebih dari ini.

Setelah mengumpulkan barang-barang bekas dari rumah mereka masing-masing, anggota tim Nankatsu FC kemudian berkumpul kembali di rumah Tsubasa untuk menjual barang-barang itu di jalan depan rumah Tsubasa. Rumah Tsubasa terletak di pinggir jalan, jadi mereka semua berpikir pasti akan ada banyak orang yang lewat dan membeli barang dagangan mereka. Tapi ternyata, dugaan mereka salah. Meski mereka sudah memasang papan bertuliskan: 'Garage Sale, Untuk Biaya Pengobatan Teman Kami yang sedang sakit' tetap saja yang membeli sangat sedikit. Uang yang terkumpul saat hari sudah petang pun sangat sedikit. Masih jauh dari total biaya pengobatan Misaki.

"Ya ampun, cuma segini…. Padahal kita berjualan seharian dari pagi," keluh Kisugi saat mereka menghitung uang.

"Jangankan untuk biaya pengobatan Misaki, untuk bayar tiket pesawat ke Amerika pun tidak akan cukup," timpal Urabe sambil menggoyang-goyangkan kaleng uang dengan sangat kecewa.

"Mengapa ya, orang-orang mudah sekali membeli tas atau sepatu dengan harga jutaan yen, tapi membeli barang untuk membantu pengobatan orang yang sedang sakit saja susah sekali," keluh Izisaki.
Tsubasa kemudian bangkit berdiri. "Ada apa, teman-teman? Kalian kok gampang menyerah seperti ini, sih? Ini kan baru hari pertama kita berjualan! Ya tidak mungkin juga kita dapat US$100.000 dalam sekejap saja! Kita seharusnya malu pada Misaki! Dia tidak menyerah dan tetap kuat padahal harus menjalani kemoterapi yang menyakitkan seperti itu! Masa kita, hanya berjualan, dengan kesehatan yang sempurna, menyerah begitu saja dan lemah seperti ini?"

"Hmm, kau benar, Tsubasa! Bagaimana kita bisa membantu Misaki kalau kita gampang menyerah? Lagipula, Misaki pasti akan kecewa kalau kita mengeluh seperti ini." Ucap Urabe, diiringi gumaman setuju dari anak-anak yang lain.

"Kalau begitu, besok kita pindah lokasi berjualan. Kita akan berjualan di depan stadion, kalau tidak salah, besok akan ada pertandingan persahabatan SMU Toho vs SMU Meiwa. Akan ada banyak orang yang lewat, aku yakin dagangan kita pasti akan laku disana!" ucap Tsubasa.

"Ide bagus, Tsubasa! Pasti dagangan kita akan habis terjual!" ujar Taki.

"Nah, sekarang kita beres-beres dan pulang! Sudah mau petang!"

Para bintang-bintang lapangan hijau masa depan itu lalu membereskan bekas dagangan mereka, dan pulang ke rumah untuk mempersiapkan berdagang besok.

Tidak ada komentar: