Alkisah, di suatu kota, tepatnya di Bandung, hidup
sebuah keluarga yang sangat bahagia. Keluarga itu adalah keluarga Santoso, yang
terdiri dari Abu, sang kepala keluarga, Deasy, sang istri, dan Adrian, sang
anak. Abu adalah seorang musisi yang sangat lihai memainkan gitar, sedangkan
Deasy adalah seorang wanita sangat cantik yang kecantikannya pasti membuat iri
wanita manapun. Sedangkan Adrian adalah anak laki-laki gagah yang sangat lihai
bermain bola. Ia juga sangat menyukai musik. Bisa dibilang, keluarga Santoso
adalah keluarga ideal yang sempurna.
“Ayah, tangkap!” seru Adrian yang sedang asyik
bermain bola di halaman rumah. Ia menendang bolanya begitu kencang, nyaris
menghantam kaca jendela rumah. Dengan sigap Abu menangkap bola itu. “Jika
bolamu sampai memecahkan kaca jendela rumah kita, siapkan pelindung, Ibu mu
pasti akan berubah menjadi monster api,” gumam Abu. Adrian tertawa
terbahak-bahak.
“Hmmm kudengar ada yang membicarakanku?” ujar Deasy
yang sekarang muncul di teras. “Ayah yang membicarakan Ibu, bukan aku,” ujar
Adrian takut-takut. “Tidak, bukan aku yang membicarakan kau, tapi duplikatku
yang membicarakan kau, istriku,” sahut Abu sambil tersenyum jahil. Deasy
memutar-mutar bola matanya. “Kau ini memang paling bisa ngeles. Ayo masuk,
makanan sudah siap,” ujar Deasy.
“Kau dengar itu, putraku? Ayo kita serbu masakan Ibu!”
seru Abu sambil mengangkat Adrian tinggi-tinggi dan membawanya masuk ke dalam
rumah. Kontan saja Adrian meronta-ronta. “Ayah, ayah, turunkan dong! Malu! Aku
kan sudah 11 tahun, sudah besar!” seru Adrian disambut gelak tawa dari Abu dan
Deasy. “Tapi bagi Ayah kau tetap his
little boy,” gumam Deasy jahil, membuat sebuah bantal hampir mendarat di
kepalanya. “Ih Ibu, berhenti menggodaku!” seru Adrian.
Keluarga bahagia itu pun kemudian duduk di meja
makan. Abu memimpin doa sebelum makan. “Ya Tuhan Ku, terima kasih atas
pemberian makanan yang begitu lezat ini melalui istriku yang cantik jelita,
semoga makanan yang aku, istriku, dan anakku hari ini menjadi berkah,” ucap Abu
memimpin doa, disambut dengan ucapan “AMIN” yang lantang dari Adrian dan Deasy
secara bersamaan.
Dalam sekejap saja, rumah yang mungil itu dihiasi
dengan gelak tawa dan candaan dari keluarga kecil tersebut. Deasy menceritakan
lelucon-lelucon yang membuat Abu serta Adrian tidak henti-hentinya tertawa.
“Ayah,” kata Adrian tiba-tiba, memotong lelucon yang
dilontarkan oleh Deasy, “Lusa aku tanding. Semi final. Penentuan untuk ke
final. Ayah bisa menonton aku kan? Jangan Ibu terus yang menonton,” pinta
Adrian dengan nada suara yang sangat memelas.
“Lusa tanggal 10 ya? Maka kau anak paling beruntung
sedunia, Nak! Ayah off tanggal itu,”
jawab Abu sambil mengedipkan matanya. Sinar kegembiraan langsung terpancar dari
wajah Adrian. “World greatest dad! You are my hero! Nanti Ayah akan lihat
betapa jagonya anakmu ini yah, melebihi skill Cristiano Ronaldo!” seru Adrian
girang sambil memeluk Abu erat-erat.
“Sstt….Ayah tahu kau itu jago tapi tidak usah
dipublikasikan seperti itu,” sahut Abu geli. “Ngomong-ngomong, ouch, ayah
kecekik nih, pelukanmu terlalu erat,” sambung Abu lagi. Deasy tergelak melihat
tingkah laku anak dan suaminya itu. Ia kemudian menoleh ke jam. “Sudah pukul 9,
Adrian, sudah saatnya tidur!” perintah Deasy. Abu mengangguk menyetujui.
“Tapi aku mau dibacakan cerita dulu sama Ayah
sebelum tidur,” pinta Adrian, kemudian memasang tampang memelas. Wajahnya
menjadi begitu menggemaskan. Abu mencubit pipi putra semata wayangnya itu
keras-keras. “Tadi kau Ayah gendong tak mau, sekarang malah minta dibacakan
cerita,” godanya. “Aduuh…. Ayah…sakit tahu!” seru Adrian, kemudian memukul Abu
dengan bantal sofa. “Itu pembalasan untuk pelukanmu yang erat tadi,” goda Abu
lagi.
“Sudah, sudah, sudah malam ini, kalau tetangga
dengar ada kegaduhan dari rumah kita, mereka mungkin menyangka kita sedang
berusaha mengusir ular dari rumah,” kelakar Deasy lagi. Abu tergelak, kemudian
mengepit Adrian di ketiaknya, dan membawa Adrian masuk ke dalam kamarnya.
“Jadi……Ayah akan membacakan cerita tentang King
Arthur,” kata Abu sambil menurunkan Adrian ke tempat tidurnya. Abu kemudian
mengambil buku cerita yang sudah using di rak. “Siapakah King Arthur itu, Ayah?” tanya Adrian
bersemangat. “Ia adalah seorang raja asal Inggris, raja yang sangat bijaksana,”
jawab Abu. Kemudian Abu mulai membacakan cerita tentang King Arthur. Tak
terasa, setengah jam pun berlalu.
“Akhirnya….. pedang itu berhasil dicabut oleh
Arthur. Seluruh penduduk mengelu-elukannya, dan mereka menobatkannya sebagai
raja. Mulai saat itu, ia dipanggil ‘King Arthur’,” kata Abu menutup ceritanya.
“Dan sekarang, waktunya kau tidur, phyton
cilik,” sambung Abu lagi sambil mengetukkan buku tersebut dengan pelan ke
kepala Adrian. Perlahan-lahan Abu berdiri, kemudian mematikan lampu kamar
Adrian.
Abu perlahan-perlahan keluar dan hendak menutup
pintu kamar saat Adrian memanggilnya dengan pelan. “Ayah?” panggil Adrian. Abu
menoleh. “Ya Nak?” tanya Abu dengan suara yang rendah. “Aku menyayangimu, Ayah.
Sangat menyayangimu,” sahut Adrian malu-malu. Abu mendengus tertawa. “I love you too, son,” jawabnya geli.
“Nah sekarang tidur dan jangan berkata apa-apa lagi.” Abu kemudian menutup
pintu kamar Adrian dengan pelan.
2
hari kemudian…….
Abu, Deasy, dan Adrian tengah bersiap-siap berangkat
ke pertandingan Adrian ketika ponsel Abu tiba-tiba saja berbunyi. “Tunggu
disini, aku mau menerima telepon dulu,” kata Abu sambil menyelipkan seragam tim
Adrian ke dalam bagasi mobil.
“Ya,
Noel ada apa?” kata Abu saat kembali masuk ke dalam rumah.
“Abu, kau sedang ada dimana? Bisa kah kau ke Jakarta
sekarang? Seorang produser melihat video penampilan kita di Hard Rock Café dan
ia sangat tertarik. Ia minta demo rekaman kita dan ingin bertemu dengan semua
personil band kita,” sahut Noel, teman Abu di seberang.
Abu merasa bagai disambar petir. “Noel, kenapa kau
mengabari begitu mendadak begini? Aku sudah janji kepada anakku untuk menonton
pertandingannya,” ujar Abu gusar.
“Ini kesempatan sekali seumur hidup, Abu. Si
produser tidak bisa bertemu kita lain hari. Kalau kau tidak mau ikut menemuinya
itu terserah, tapi berarti kau bukan anggota band kita lagi,” ancam Noel. “Beri
saja Adrian pengertian, dia pasti maklum,” sambung Noel. Abu menutup teleponnya
dengan kasar. “Sial!” gumamnya kesal.
Dengan langkah gontai Abu melangkah keluar rumah dan
menghampiri Deasy serta Adrian yang sedang bersandar pada mobil. “Lama sekali
sih? Adrian bisa telat ke pertandingannya,” ujar Deasy. Abu menghela nafas
dalam-dalam. “Kenapa, ada apa Ayah?”
tanya Adrian. Abu kembali menghela nafas, kemudian ia berjongkok agar tingginya
sama dengan Adrian sekarang. “Nak, tadi om Noel menelepon,” ujar Abu sambil
meletakkan tangannya di pundak Adrian. “Lalu?” tanya Adrian lagi.
“Seorang produser tertarik terhadap band Ayah. Dia
ingin bertemu dengan semua personil band Ayah. Dia tidak bisa menemui kami lain
hari, hanya hari ini,” kata Abu lagi sambil menatap Adrian dengan serius. “Jadi
artinya?” tanya Adrian kaku. “Artinya, maaf sekali Nak, Ayah tidak bisa
menonton pertandinganmu hari ini,” kata Abu pelan. “Maafkan Ayah, Nak, tapi ini
demi masa depan keluarga kita yang lebih baik,” bujuk Abu mencoba memberi
pengertian.
Tanpa disangka, Adrian kemudian membanting pluit
yang diberikan Abu sebagai kado ulang tahunnya yang ke 10 ke kaki Abu. Ia
kemudian membalikkan badan, dan hanya berkata, “Ibu, ayo. Kita naik bis saja ke
tempat pertandingan,” Deasy melempar pandang mencela dan pasrah kepada Abu,
lalu mengikuti putranya. Abu hanya bisa diam melihat kekecewaan sang istri dan
sang anak.
Dengan langkah gontai Abu masuk ke dalam mobil dan
mulai menyetir. Ia merasa bersalah sekali kepada Adrian. Sepanjang perjalanan
ia hanya memikirkan bagaimana caranya untuk menebus rasa bersalahnya kepada
Adrian.
Akhirnya Abu sampai di Jakarta. Noel menyambutnya
dengan antusias. “Ah, Abu, akhirnya kau datang juga. Pak Samuel sudah
menunggu,” kata Noel girang. Abu hanya mengangguk dengan kaku. Mereka kemudian
masuk ke dalam.
“Perkenalkan, Pak Samuel, ini gitaris kami,” kata
Noel memperkenalkan Abu kepada Pak Samuel. Mereka pun berjabat tangan. “Ah ya, ini pasti Abu,” kata Pak Samuel ramah.
“Saya sudah menonton video permainan anda saat bermain gitar. Sungguh skill
yang luar biasa,” ujarnya. “Banyak terima kasih,” kata Abu, merasa sedikit
tersanjung. “Saya juga sudah mendengarkan demo rekaman kalian. Sungguh musik
yang luar biasa unik. Perpaduan slow rock dan keroncong, eh? Saya betul-betul
ingin mengontrak kalian. Bisakah kalian minggu depan datang kembali ke sini,
untuk negosiasi kontrak? Bawa demo rekaman kalian yang lain juga ya,” kata Pak
Samuel.
Gumam bergairah terdengar dari semua anggota band
Abu. Mereka kemudian berjabat tengan dengan Pak Samuel. “Adrian pasti tidak
akan marah lagi setelah kau beri tahu kabar bagus ini,” kata Noel sambil
menepuk-nepuk pundak Abu. Abu hanya tersenyum kecut. Ia kemudian masuk ke
mobilnya dan menyetir menuju Bandung kembali.
Hari sudah sangat larut saat Abu
kembali tiba di Bandung. Ia menyangka Adrian sudah tidur, tapi ternyata tidak.
Tampak Adrian menonton tv dengan wajah sangat kusam. “Nak?” panggil Abu pelan.
Adrian menoleh perlahan. “Bagaimana pertandingannya? Pasti jagoan Ayah cetak
gol kan?” kata Abu berusaha menggoda Adrian. Adrian tidak menjawab sama sekali.
Ia mendadak bangkit, kemudian berkata, “aku benci kau! Pengingkar janji nomor
satu di dunia!” serunya, kemudian berlari masuk ke dalam kamarnya. Abu hanya bisa
menghela nafas dalam-dalam.
“Pertandingannya gagal total. Adrian
sangat kecewa kau tidak menontonnya. Ia menjadi bermain sangat buruk. Bahkan ia
diejek teman-temannya karena ia satu-satunya anggota tim yang tidak ditonton
oleh ayahnya,” Deasy menyahut dari balik koran. Abu semakin dihantui rasa
bersalah yang amat mendalam.
“Begitukah? Dengar, aku juga sangat
ingin menontonnya. Tapi pertemuan tadi sangat berharga! Kau tahu? Akhirnya band
aku akan dikontrak studio rekaman,” kata Abu. Ia mengira Deasy akan kegirangan
dan meloncat-loncat gembira, tapi nyatanya tidak. Deasy hanya mengangkat
bahunya. “Adrian hanya ingin kau melihatnya bermain bola, tidak lebih,”
ujarnya.
Abu merebahkan dirinya ke sofa.
“Jadi apa yang mesti kulakukan untuk menebus kesalahanku padanya?” tanya Abu
sambil memejamkan matanya dalam-dalam. “Beberapa hari lagi kan ia ulang tahun.
Beri ia kado ulang tahun. Ia sudah lama ingin action figure The Dark Knight Rises, kalau kau belum lupa,” jawab
Deasy.
“Action Figure
The Dark Knight? Bukannya dia sudah punya?” tanya Abu heran. “Ya, tapi yang
dia punya kan Batman. Dia ingin action
figure Joker,” sahut Deasy. Tiba-tiba Abu teringat sesuatu. Ia kemudian
menepuk dahinya kencang-kencang. “Oh,” gumam Abu. “Aku baru ingat. Tahun lalu
memang dia minta aku untuk membelikan action
figure Joker itu untuk ulang tahunnya yang ke 12,” ujarnya. Deasy tersenyum
kecil. “Kalau begitu, tepati janjimu. Jangan kau ingkari lagi,” sahut Deasy.
Abu mengangguk mantap. “Semoga ia memaafkanku jika aku membelikannya action figure itu,” gumamnya.
“Ngomong-ngomong, minggu depan aku harus menemui
kembali Pak Samuel, produser yang mau mengontrak bandku untuk nego kontrak,”
kata Abu lagi. Deasy hanya mengangguk. “Ya semoga sukses, aku hanya bisa
mendoakanmu dari sini,” jawabnya.
Beberapa hari telah berlalu, tapi Adrian masih saja
marah kepada Abu. Abu merasa sangat sedih atas sikap anaknya itu. Mereka yang
tadinya begitu akrab, kini berjauhan hanya karena Abu ingkar janji sekali.
Bujukan Deasy pun tidak mempan untuk Adrian, yang dasarnya memang sangat keras
kepala.
Akhirnya, hari dimana Abu harus menemui Pak Samuel
untuk negosiasi kontrak pun datang. Dengan tergesa-gesa Abu berpakaian, memakai
setelan jas terbaiknya. Adrian yang sedang bermain Nintendo DS, sama sekali
tidak menghiraukan Abu, bahkan bertanya dan menyapanya pun tidak.
“Barang-barang yang diperlukan sudah kukemas di
dalam tasmu,” kata Deasy. “Semoga beruntung sayang, semoga lancar semuanya.”
sambungnya lagi. Deasy kemudian merendahkan suaranya dengan sangat pelan,
membuat Abu harus sedikit menunduk untuk mendengar apa yang dikatakannya. “Dan
jangan lupa, action figure Joker,”
bisik Deasy. “Pasti,” jawab Abu mantap. Setengah berlari ia mencoba menghampiri
Adrian.
“Jagoan, Ayah berangkat dulu ya,” kata Abu sambil
mencoba mengecup rambut Adrian. Tapi bukannya menjawab, Adrian malah mendorong Abu
menjauh dan hampir membuat Abu terjungkal. Spontan saja Deasy langsung menegur
Adrian. “Adrian, apa-apaan sih kau ini! Lihat ayahmu hampir saja terjatuh!”
seru Deasy gusar. Adrian hanya mendelik dan kembali memainkan Nintendo DS nya.
“Tidak apa-apa kok,” gumam Abu, memaksakan diri
untuk tersenyum, meski hatinya merasa sangat sedih. “Sudah ya, aku berangkat
dulu,” sambung Abu lagi, kemudian melangkah keluar rumah dan menuju mobilnya
dengan sangat gontai.
Saat menyetir, Abu tidak dapat berkonsentrasi sama
sekali. Ia terus memikirkan Adrian. Hatinya benar-benar gundah karena sudah
seminggu Adrian tidak mau berbicara kepadanya dan terus menerus bersikap kasar.
Ia menjadi tidak sabar untuk segera membeli
action figure Joker dan memberikannya kepada Adrian.
Tik…tik….tik…. hujan tiba-tiba turun dengan
derasnya. Petir pun menggelegar-gelegar. “Duh!” gerutu Abu, merasa jengkel
karena tidak bisa memacu mobilnya dengan kencang akibat hujan deras. Hujan
makin lama makin deras, membuat kaca depan jendela mobil Abu menjadi sangat
berembun. Abu menjadi kesulitan untuk melihat.
Hujan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Malah semakin deras dengan petir yang maha dahsyat. Kaca jendela mobil Abu
sudah berubah menjadi putih sekarang. Dengan panik ia memencet-mencet tombol
pengaktif wiper mobilnya. Wipernya macet dan tidak berfungsi. Abu tidak dapat
melihat apapun sekarang, ia hanya bisa mendengar suara klakson dari mobil lain.
Dengan panik Abu membanting setir ke kanan. Malang
tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Karena tidak dapat melihat apapun,
mobil Abu pun menabrak trotoar, dan terguling, diiringi jeritan para pengendara
dan pejalan kaki yang menyaksikannya.
Tepat pada saat itu, Deasy yang tengah mencuci
piring tidak sengaja menjatuhkan piringnya sehingga menimbulkan suara PRANG
yang memekakkan telinga. Adrian kemudian tergopoh-gopoh keluar dari ruang
keluarga.
“Ibu, ada apa?” tanya Adrian. “Tidak apa-apa Nak,
Ibu tidak sengaja memecahkan piring,” jawab Deasy. “Bermainlah kembali.” Adrian
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Makanya kalau cuci piring jangan sambil
melamun,” godanya, kemudian melangkah kembali ke ruang keluarga. Deasy tidak
menanggapi. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak. Wajar saja, karena
sebelumnya Deasy tidak pernah menjatuhkan piring saat sedang mencuci. Ya Tuhan,
batinnya. Apakah terjadi sesuatu kepada suamiku? Lindungilah ia selalu, Tuhan,
batin Deasy.
Sementara itu, di lokasi kecelakaan Abu……..
Polisi beserta ambulans telah datang. Orang-orang
merubung untuk menyaksikan. Mereka meringis melihat mobil Abu yang sudah
ringsek dan penyok. Polisi berkali-kali harus berteriak dan memerintah massa
untuk mundur agar proses evakuasi lancar. “Mundur, saudara-saudara, tolong
mundur agar tidak memperlambat proses evakuasi,” seru salah satu polisi hampir
habis sabar.
Seorang polisi berbadan tegap kemudian berusaha
mengecek mobil. Ia menyisiri dari depan hingga belakang dengan cemas dan
hati-hati. “Sudah ketemu penumpang mobil itu?” tanya sang pimpinan dari
sebrang. Si polisi menggeleng putus asa. “Tidak ada. Kosong,” ujarnya.
“Kalau begitu telusuri sekitarnya. Mungkin ada yang
terlempar,” perintah sang kepala polisi. Polisi berbadan tegap mengangguk mantap.
“Siap, Komandan!” serunya. Kemudian dengan langkah perlahan dan sangat
hati-hati, sang polisi menyusuri jalan di sekitar bangkai mobil Abu. Ia
memicingkan matanya dan menoleh ke setiap sudut.
Tak berapa lama, tercium bau amis yang ia yakini
adalah darah. Ia terus melangkah dengan pelan. Benar saja. Baru beberapa
langkah, sang polisi menemukan tubuh Abu tertelungkup di sekitar rerumputan.
Kemejanya telah robek, dilumuri darah disana – sini, wajahnya pun dipenuhi
dengan luka gores.
Dengan hati-hati sang polisi membalikkan tubuh Abu
dan memeriksa denyut nadinya. Abu sudah meninggal. “Komandan!” serunya. “Aku
menemukannya! Penumpang mobil itu!” serunya lagi. Sang atasan kemudian berlari
menghampirinya. “Ada tanda pengenal? Siapa tahu pria ini memiliki keluarga,”
ucap sang komandan. Mereka kemudian menyusuri sekitar Abu kembali dengan
hati-hati sampai akhirnya menemukan dompet Abu. Para polisi itu kemudian
menelepon nomor yang tertera di dompet Abu.
Di rumah keluarga Santoso…….
Kriiing…….kriiiing……..kriiing…….telepon rumah berdering.
“Adrian, tolong angkat teleponnya,” seru Deasy yang sedang menjemur pakaian di
halaman rumah. Adrian yang tengah asyik bermain Nintendo DS, menggerutu panjang
pendek dan bangkit dari kursinya. Dengan ogah ia mengangkat telepon itu. “Kediaman
keluarga Santoso disini, Adrian berbicara,” kata Adrian kaku. “Ah jadi benar ya
ini nomor rumah keluarga Santoso. Maaf Nak, kalau boleh tahu, apakah anda
mengenal Abu Marlo Santoso?” tanya suara dalam itu.
“Tentu saja. Dia ayah saya,” jawab Adrian kaku. “Kalau
boleh tahu anda siapa ya?” tanya Adrian lagu. “Nak, kami dari kepolisian dengan
sangat menyesal harus memberimu kabar ini. Ayahmu mengalami kecelakaan dan
sudah meninggal. Sekarang jenazahnya ada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Kami turut berduka cita.”
Perlu beberapa detik bagi Adrian untuk mencerna
kata-kata tersebut. “A—a—a—pa Bapak bilang?” tanyanya lagi gugup. “Ayahmu
kecelakaan Nak. Kami sangat menyesal. Bisa kami bicara dengan Ibu mu?” tanya
polisi itu lagi. Masih shock, Adrian menaruh gagang telepon dan memanggil
Deasy. Mendadak saja wajahnya basah dipenuhi air mata.
“Adrian, kau kenapa Nak? Telepon dari siapa?” tanya
Deasy bingung. Adrian tidak menjawab, ia hanya menyeret Deasy dan menyuruhnya
untuk mengangkat gagang telepon itu. “Disini Deasy Santoso berbicara, ada apa?”
tanya Deasy. “Apakah Anda adalah istri dari Bapak Abu Marlo Santoso?” tanya si
polisi lagi. “Betul, ada apa?” tanya Deasy, perasaannya diliputi kecemasan. “Kami
dari kepolisian. Dengan sangat menyesal kami harus mengabarkan bahwa suami anda
mengalami kecelakaan dan telah meninggal dunia. Sekarang jenazahnya ada di RS
Cipto Mangunkusumo,” sahut si polisi lagi.
Deasy merasa seperti tersambar petir. Ia tidak
sanggup berbicara. Lututnya langsung lemas seketika. Jadi inilah jawaban atas
perasaan tidak enaknya tadi. “B-b-b-a-i-k kalau begitu, terima kasih sudah
mengabari,” ujarnya pelan, kemudian menutup teleponnya. Deasy menoleh kepada
Adrian, dan, tiba-tiba saja mereka sudah berpelukan dan saling
bertangis-tangisan.
3 hari kemudian….
Pemakaman Abu dilaksanakan. Bila Deasy tak
henti-hentinya menangis, maka kebalikannya dengan Adrian. Ia tidak menangis,
tidak menjerit, maupun berkata apapun. Ia hanya duduk, merengut, dan memandang ke
arah lantai. Tak ada seorang pun yang tahu betapa terlukanya hati Adrian dan
betapa ia sangat merasa bersalah. Ia sangat menyesal telah bersikap kasar
terhadap Abu belakangan ini.
Saat para pelayat pulang, rumah terasa sepi sekali.
Adrian masih tidak beranjak dari tempat ia duduk. Ia masih saja diam dan
merengut. Deasy kemudian duduk di sebelah Adrian. “Aku memiliki banyak
kesalahan kepada Ayah. Aku belum sempat minta maaf.” ucap Adrian lirih, pertama
kalinya ia berbicara semenjak pemakaman.
“Ayah sudah memaafkanmu dari dulu. Sebelum ia
berangkat, kau tahu ia mengatakan apa?” tanya Deasy sambil memandang wajah
putranya itu dalam-dalam. Adrian menggeleng. “Dia mau membelikanmu action figure Joker yang telah lama kau
impi-impikan itu. Dia bilang, dia sudah janji kepadamu,” kata Deasy.
Adrian mendongakkan kepalanya. “Benarkah dia berkata
seperti itu? Dia memang janji mau membelikannya untukku tahun lalu. Tahun lalu
aku memang minta kepadanya untuk membelikan action
figure Joker sebagai hadiah ulang tahunku yang ke 12,” ujar Adrian pelan. “Kalau
begitu, Ibu, aku yakin dia akan menepati janjinya.”
Deasy tersenyum simpul. “Adrian, ayahmu sudah tiada,
jangan berpikiran konyol,” kata Deasy sambil membelai rambut Adrian. Deasy
kemudian bangkit dari kursi dan menyiapkan makan malam. Adrian sendiri tidak
bisa menjelaskan kenapa di dalam hatinya ia merasa bahwa Abu akan kembali untuk
menepati janjinya.
Waktu semakin berlalu, tidak terasa telah 4 bulan
semenjak kepergian Abu. Deasy sudah bisa mengikhlaskan kepergian suaminya,
bahkan ia telah belajar untuk melupakan Abu. Tapi tidak untuk Adrian. Hari
ulang tahunnya yang ke 13 hanya tinggal sebulan lagi, dan keyakinan bahwa Abu
akan kembali untuk menepati janjinya memberikan hadiah action figure Joker kepadanya semakin kuat. Ia berulang kali
mengatakan hal ini kepada Deasy, membuat Deasy yang tadinya kasihan menjadi
kesal.
“Adrian, lupakan Ayah!” seru Deasy sambil membanting
garpu saat Adrian untuk kesekian kalinya mengatakan bahwa Abu akan kembali,
membuat Adrian terlonjak. “Kau harus menerimanya! Ayah sudah bersama Tuhan dan
tidak akan pernah kembali lagi!” seru Deasy dengan nada suara yang cukup
tinggi. Adrian menatap ibu nya dengan mata berkaca-kaca. Selama beberapa menit,
terjadi kesunyian yang canggung di antara mereka berdua.
“Maafkan Ibu, Nak, Ibu kasar, Ibu juga sangat
merindukannya. Tapi kita harus ikhlas dengan kepergian Ayah,” bisik Deasy.
Adrian hanya diam. Kemudian ia tiba-tiba bersuara memecah keheningan. “2 minggu
lagi kan Ayah ulang tahun Bu. Aku ingin kita merayakannya, boleh kan Bu?” pinta
Adrian dengan suara memelas.
“Baiklah, boleh saja,” jawab Deasy. “Dengan syarat,
kau membantu Ibu membersihkan barang-barang Ayah sekarang,” sambungnya lagi. “Tentu,
Bu, baiklah,” kata Adrian. Mereka berdua kemudian masuk ke dalam ruangan dimana
Abu biasa berlatih dengan teman-teman band nya. Ruangan itu tampak berantakan,
dengan pick guitar dan alat musik dimana-mana.
Adrian dan Deasy mulai membersihkan ruangan itu.
Perlu memakan waktu cukup lama karena ruangan itu telah dipenuhi debu
dimana-mana. Saat menyapu ruangan, Adrian menemukan sebuah buku tebal yang
berjudul “Cara Jitu Menjadi Gitaris
Jagoan”. Dengan iseng Adrian membuka buku tersebut. Alangkah terkejutnya ia
saat melihat foto ia dan Deasy diselipkan di bagian paling depan buku tersebut.
“Ibu, lihat ini,” kata Adrian dengan penuh semangat
dan menunjukkan buku itu kepada Deasy. “Ayah menyelipkan foto kita di halaman
paling depan buku ini. Ia selalu melihat kita Bu!” Deasy ikut memandangi foto
itu. Kemudian ia tersenyum kecil. “Dia memang pria paling sempurna di dunia,”
gumamnya.
Malam hari pun tiba. Karena kelelahan setelah membersihkan
ruang latihan Abu, Adrian tertidur pulas dengan cepat. Ia kemudian bermimpi.
Tiba-tiba saja ia sedang berada di taman. Ia sedang duduk dengan santainya.
Ketika matanya menyusuri sekitar taman, tampak seorang pria berbadan jangkung
sedang berjalan membelakanginya dari kejauhan.
“Ayah!” panggil Adrian. Pria itu tidak menoleh sama
sekali. “Ayah!” seru Adrian lagi, tidak menyerah. Pria itu terus berjalan. Dengan
tergesa-gesa Adrian melompat bangkit dari bangku taman dan mengejar pria itu. “AYAH!”
teriak Adrian sekencang-kencangnya. Pria itu perlahan-lahan menoleh. Benar,
pria tersebut ternyata adalah Abu.
Dengan mendadak Adrian melompat ke pelukan Abu. Abu
mencium rambut putranya itu keras-keras. “Ayah, maafkan aku, sudah bersikap
kasar kepadamu,” bisik Adrian lirih. Abu tidak menjawab apa-apa. Ia kemudian
menurunkan Adrian. Kemudian berbalik, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah
katapun. “Ayah!” seru Adrian. “Tunggu!” Tapi Abu keburu menghilang. Adrian
perlahan-lahan membuka matanya. Mimpi yang sangat indah, dapat memeluk ayahnya
kembali. Mimpi tadi semakin menguatkan keyakinan Adrian bahwa Abu akan kembali
untuk menepati janjinya.
2 minggu kemudian……..
Hari itu adalah tanggal 24 Maret. Hari dimana Abu
berulang tahun. Sesuai dengan permintaan Adrian sebelumnya, Deasy menyiapkan
kue untuk merayakan ulang tahun Abu. Dengan penuh semangat Adrian menaburkan
krim bertuliskan “SELAMAT ULANG TAHUN AYAH” di atas kue dan menaruh lilin di
atasnya.
“Ibu, nyalakan koreknya!” seru Adrian antusias.
Dengan pasrah Deasy menyalakan korek dan menyalakan lilin yang ada di atas kue.
Kemudian, dengan penuh semangat Adrian membawa kue tersebut ke jendela. “Selamat
ulang tahun Ayah! Aku sangat menyayangimu!” seru Adrian sambil menengadah
menatap langit. Perasaan Deasy campur aduk antara geli dan tersentuh melihat
tingkah laku anaknya itu.
Tanpa disangka-sangka, angin bertiup dan memadamkan
lilin yang ada di atas kue ulang tahun itu. Deasy ternganga tak percaya. “Itu
tidak mungkin,” bisiknya. “Ibu, Ayah meniup lilinnya, ayah meniupnya!” seru
Adrian lantang. Belum habis akan keterkejutan Deasy, terdengar derap suara
langkah kaki. Deasy dan Adrian sangat mengenali suara derap langkah kaki itu. Dengan
ngeri mereka membalikkan badan.
Tampak Abu berdiri tegap, gagah seperti biasanya. Ia
memakai setelan jas berwarna putih-putih, dan sepatu bot berwarna putih. Di
tangannya ia memegang sebuah action
figure Joker dengan tinggi 15 cm yang dibungkus oleh sebuah plastik.
“AYAH!” seru Adrian, ia kemudian berlari dan
menghambur ke pelukan Abu. “Aku tahu Ayah akan kembali! Aku tahu Ayah pasti
akan menepati janji Ayah!” seru Adrian. Abu tersenyum. “Aku tidak akan
mengingkari janjiku untuk yang kedua kali,” bisik Abu. Deasy yang hanya
menonton dari tadi, akhirnya ikut menghambur ke pelukan Abu. Tangis Adrian dan
Deasy pun pecah. “Jangan tinggalkan kami lagi, ku mohon,” bisik Deasy dengan
suara sengau.
Abu kemudian menaruh action figure Joker itu ke dalam tangan Adrian. “Aku tidak bisa
lama-lama,” gumamnya. Abu melepaskan diri dari pelukan Deasy dan Adrian,
kemudian berjalan menuju pintu, melangkah keluar, kemudian dalam sekejap sudah
menghilang. “Lihat Bu! Sudah ku bilang, Ayah pasti kembali! Ayah pasti menepati
janjinya!” seru Adrian sambil mengangkat action
figure Jokernya tinggi-tinggi. Deasy mengangguk, hatinya dipenuhi perasaan
haru.
Adrian membuka plastik yang membungkus action figure Joker itu. Di belakangnya
terdapat tulisan “Jagoan Ayah, ini kado untukmu. Jangan pernah lupakan Ayah ya?”
Entah mengapa Adrian langsung tersenyum melihat tulisan itu. Ia baru sadar,
bahwa sang Ayah akan selalu hidup di dalam jiwa dan raganya.
--TAMAT--
4 komentar:
Wah keren postingannya^^
http://goo.gl/8Uj7FT
makasih udah baca :D
Hai hai ... mampir nih, memenuhi janji ;)
Aku sih nggak pandai nulis cerita, lagi belajar juga :)
Yang kubilang tentang caramu menulis dialog, seharusnya sih dialog itu satu paragraf untuk satu tokoh. Jadi nggak digabung2 dengan tokoh yang lain. Membacanya jadi lebih enak dan gak bingung 'ini siapa yang lagi ngomong?' :)
Trus pada kalimat sapaan, mesti dikasih koma dulu, misalnya, "Lihat Bu! Sudah ku bilang, Ayah pasti kembali! ..."
---> "Lihat, Bu! Sudah kubilang, ayah pasti kembali! ..."
Ada baiknya PRANG gak usah dituliskan. Atau mungkin dibikin gini juga bisa, contoh: PRANG! Tak sengaja Puspa menjatuhkan piring yang ada di tangannya. <--- ini contoh doang :D
Penulisan elipsis atau tanda titik 3 ( ... ) diberi spasi dulu.
Untuk memulai kalimat, sebaiknya nggak menggunakan angka, disebut aja, satu atau dua, dst.
Untuk segi cerita, temanya sederhana, cukup asyik untuk dinikmati. Termasuk cerita anak ya spertinya ... :D
TAPI ada lubang besar dalam cerita, yaitu Abu dikisahkan mengalami kecelakaan saat hujan lebat banget. Lalu setelah itu apa kabar hujannya? Apa saat pak polisi berada di tkp ujannya udah brenti atau gimana? Trus, si ibu lagi menjemur pakaian?
Haiii :D haha oke.. Maksud aku sih biar ga jadi banyak paragrafnya dan ga jadi berat loadingnya.. Iya ceritanya pas di TKP ujannya udah berhenti,lupa nulis.. Si ibu lagi jemur pakaian, kan dia di bandung jd ceritanya ga ujan di bandung.. Kalo si abunya kan lagi mau ke jakarta :D makasih ya kritiknya.. Ditunggu kritiknya untuk cerpen2 aku yang lain :D
Posting Komentar